Arthur Ashe bukan pemain sepak bola. Tapi, jika Anda ingin menghayati makna kerendahan hati, baiklah menjadikannya sebagai referensi. Ashe - laki-laki berkulit gelap itu – merupakan petenis cemerlang Amerika. Dia menyabet tiga gelar bergengsi, Grand Slam, yakni Amerika Open (1968), Australia Open (1970), juga Wimbledon (1975).
1979, dia terkena serangan jantung dan mengharuskannya menjalani operasi jantung, by pass. Ashe pasrah, tergolek di atas kasur. Dia tak berontak, bersungut-sungut apalagi. Operasi pertama bergulir sonder hasil. Demikian pula operasi kedua. Bahkan, Ashe kudu menerima kenyataan pahit: terinfeksi virus HIV melalui transfusi darah yang dia terima.
Seorang penggemarnya tak bisa terima, lalu melayangkan sepucuk surat. “Mengapa Tuhan memilihmu untuk menderita penyakit itu?” Ashe menjawab. “Di dunia ini” tulisnya, ”Ada 50 juta anak yang ingin bermain tenis. Lima juta di antaranya bisa belajar bermain tenis. Lima ratus ribu belajar menjadi pemain tenis profesional. Lima puluh ribu datang ke arena untuk bertanding. Lima ribu mencapai turnamen Grand Slam. Lima puluh orang berhasil sampai ke Wimbledon. Empat orang sampai semifinal. Dua orang berlaga di final. Dan ketika aku keluar sebagai juara dan mengangkat trofi Wibledon, aku tak pernah bertanya kepada Tuhan, “Mengapa saya?”.
Paradoks, memang. Namun, adakalanya hambatan atawa persoalan membuat seseorang kian arif merespon hidup. Hidup toh tak melulu linear. Artinya, hidup, dengan segala ritme yang disuguhkannya semacam solusi jitu guna menyadarkan hati yang angkuh. Keangkuhan tak hanya mendekatkan seseorang ke tubir kemalangan, tapi juga pengucilan.
Berkaca kepada Ashe, lamunan saya sontak menuju kepada pengurus-pengurus PSSI. Bagaimana tidak. Beberapa waktu lalu, PSSI menunda pertemuan dengan badan sepak bola dunia, FIFA, di Zurich, Swiss. Seyogyanya, pertemuan berlangsung 18 Agustus 2008, sesuai permintaan PSSI. Agendanya, terkait draf revisi pedoman dasar yang diminta FIFA. Persoalan internal PSSI yang tak kunjung padam memantik perhatian FIFA, setelah Nurdin Halid masuk bui lantaran korupsi. Tak ada kepastian, kapan PSSI akan berangkat ke Zurich. Terbetik kabar, pengurus berangkat 25 Agustus.
PSSI, seiring berjalannya waktu, kian kehilangan wibawa. Tak punya kerendahan hati. Tak menjadikan persoalan, seperti kata Mao Tse Tung,” sebagai batu loncatan ke depan”. Lemah diperencanaan. Padahal, di awal-awal PSSI terbentuk, Soeratin - founding father yang juga Ketua Umum I PSSI - dalam Kongres Sewindu PSSI di Solo, 3 Juni 1938 meminta agar PSSI menjadikan pengalaman - apa pun bentuknya - sebagai pelajaran berharga.
“Kalau kami menengok ke belakang,” kata Soeratin,”Bolehlah kami mengucapkan syukur. Sebab dari semua kejadian, baik yang pahit, pedas dan getir maupun yang manis, sedap dan nyaman, kami dapat menarik pelajaran yang amat berharga”.
Apa mau dikata. Waktu terus bergerak, membentuk zaman. Dan tatkala zaman berganti, motivasi pun menjadi pertanyaan.
Kita ingat sepenggal tembang lawas Jawa, Dhandanggula:
Sepi sepen pamrihing diri
Suka paring pepadang
Mring petenge kalbu
Lumuh gawe kapitunan
Wani nglah minangka tebusaneki
Gubuying kang bebrayan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar