Ini cerita tentang ketegasan. Dahulu kala, di China, pada masa Confucius, di zaman dinasti Raja He Lu hiduplah seorang laki-laki bernama Sun Tzu. Dia ini bukan seperti orang kebanyakan, melainkan ahli strategi jempolan pertama dalam sejarah China . Sun Tzu bukan cuma tegas, tapi juga menjunjung tinggi integritas. Dan demikianlah cerita itu bergulir, menembus waktu, dan menjadi referensi kita dalam bersikap.
Pada suatu hari Sun Tzu dipanggil Raja He Lu.
“Aku telah membaca dengan saksama buku seni berperang karanganmu itu.Bisakah kau melatih beberapa prajurit sebagai uji coba?” kata Lu.
“Tentu saja, tuanku,” jawab Tzu.
“Bisakah dicoba pada kaum wanita?” Tanya Lu.
“Jika itu yang tuan inginkan,” jawab Tzu
Syahdan, raja memanggil 180 orang dayang istana dan Sun Tzu membaginya menjadi dua kelompok. Masing-masing kelompok dipimpin oleh seorang selir kesayangan raja. Sun Tzu meminta agar kedua kelompok para dayang itu dipersenjatai tombak dan perisai. Setelah itu ia berkata, “Apakah kalian telah memahami bedanya depan dan belakang, kiri dan kanan?”
“Ya,” jawab kedua kelompok itu bersamaan.
“Jika kukatakan ‘maju’, maka kalian harus melangkah maju. Jika kukatakan ‘kiri’, maka kalian harus menghadap kiri. Jika kukatakan ‘kanan’, maka kalian harus menghadap ke kanan, atau jika kukatakan ‘mundur’, maka kalian harus berbalik arah”.
“Mengerti,” jawab mereka serempak.
Setelah memberikan petunjuk tersebut, ia meminta pedang dan kampak algojo disiapkan, lalu mengulanginya hingga empat kali. Dengan iringan bunyi genderang Sun Tzu mulai memberi perintah, “Hadap kanan!” Serempak kedua kelompok dayang itu tertawa tanpa bergerak mengikuti perintah. Sun Tzu berkata, “Jika peraturan kurang jelas atau perintah yang disampaikan tidak dipahami berarti panglimalah yang salah”. Sun Tzu kembali menjelaskan petunjuknya hingga empat kali kemudian membunyikan genderang sambil memberi perintah untuk menghadap ke kiri. Lagi-lagi para dayang itu hanya tertawa.
Lalu Sun Tzu pun berkata, “Jika peraturan kurang jelas dan perintah tak dapat dimengerti, panglimalah yang salah. Tapi jika perintah sudah jelas dan tetap tidak dipatuhi, itu adalah kesalahan perwira pemimpin pasukan”. Ia bersiap-siap untuk menghukum mati kedua pemimpin pasukan itu.
Raja He Lu yang sedang memperhatikan latihan tersebut sangat terkejut melihat kedua selir kesayangannya akan dihukum mati. “Aku sudah dapat melihat kemampuanmu dalam memimpin. Tapi jika aku kehilangan kedua selirku itu aku akan kehilangan selera makan dan minum. Aku mohon mereka dibebaskan,” pinta raja. Sun Tzu menjawab, “Aku telah ditunjuk sebagai panglima pasukan dan seorang panglima di medan perang tidak dibatasi oleh perintah dari penguasa pemerintahan”. Maka Sun Tzu memerintahkan agar kedua selir raja dihukum mati.
Ingat Sun Tzu, saya jadi ingat PSSI. Salah satu ‘penyakit’ akut PSSI adalah soal ketegasan. Lembaga ini dinilai mandul dalam bersikap. Komisi Disiplin (Komdis) PSSI yang dibentuk untuk menegakkan disiplin disetiap kompetisi bak ayam jantan kehilangan jalu. Lumrah, jika banyak penggemar sepakbola nasional menganggap Nurdin Halid dkk tak punya wibawa. Menyedihkan, memang. Tapi apa daya. Sepakbola kita adalah sepakbola yang amburadul tanpa rambu-rambu yang jelas. Pemukulan terhadap wasit, perkelahian sesama pemain, serta bentrok antar suporter masih saja terus terjadi.
Jadi, selama PSSI tak punya ketegasan, jangan harap sepakbola nasional kita maju.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar