Minggu, Oktober 26, 2008

Bukan Saya, Tapi Cavanaugh dan Iwan Fals

Ada sindirian tentang orang-orang yang rakus kekuasaan. Dan Brian Cavanaugh, lewat bukunya RANGKAIAN KISAH BERMAKNA, 100 CERITA BIJAK, membeberkan sifat manusia secara fabel. Ceritanya jenaka namun berakhir tragis. Di situ, di buku yang dicetak Penerbit OBOR tahun 1995 itu, diceritakan cara orang India menangkap monyet.

Sang pemburu membuat sebuah lubang di kotak kayu yang cukup kuat. Kacang kemudian diserak. Lubang itu, tulis Cavanaugh, cukup lebar untuk tangan monyet, tapi begitu tangannya menggenggam kacang maka sangat sulit untuk ditarik ke luar. Monyet punya dua pilihan. Pertama, dia bisa lolos dari perangkap asalkan melepaskan kacang yang ada di tangannya. Kedua, dia pasti tertangkap jika tetap ‘ngotot’ dan enggan merelakan kacang lepas dari tangan. Monyet memilih yang kedua. Dasar monyet!

Usai melahap cerita Cavanaugh, imajinasi saya melayang liar dan mencoba mengkorelasikannya dengan sikap Nurdin Halid yang emoh meletakkan jabatannya sebagai Ketua Umum PSSI. Harian Kompas, edisi 23 Februari 2008 menyimpulkan bahwa Nurdin, laki-laki kelahiran Watompe, Sulawesi Selatan, 50 tahun lalu yang kini meringkuk di dalam lembaga pemasyarakatan itu sama sekali tak punya itikad baik untuk mundur. Padahal, FIFA, otorita tertinggi sepakbola dunia secara eksplisit mendesak agar PSSI merevisi pedoman dasar PSSI dan melakukan pemilihan ulang. Usul FIFA direspon positif Nugraha Besoes, Sekretaris Jenderal PSSI.

Besoes sadar. Tekanan begitu kuat, betul-betul masif. Posisi Besoes tak jauh beda dengan Harmoko tahun 1998. Kala itu, Soeharto dituntut mundur. Ekonomi morat-marit. Awalnya tuntutan dianggap sepi. Mahasiswa dan rakyat marah. Jalan-jalan Jakarta diwarnai demo, dari waktu ke waktu. Aksi damai berujung amuk massa . Jakarta terbakar, membara. Mahasiswa menduduki gedung DPR, merangsek ke ruangan Harmoko, Ketua MPR/DPR. Harmoko yang dikenal merupakan salah satu loyalis sejati Orde Baru selanjutnya meminta Soeharto mundur. Soeharto akhirnya memang mundur, lengser ke prabon. Kendati begitu, rasa jengkelnya kepada Harmoko tetap bersemi. Terbukti, tatkala Soeharto dirawat di RSPP Jakarta , Harmoko dilarang masuk.

FIFA bukannya pertama kali melayangkan teguran dan Besoes mahfum itu. Oleh sebab itulah, Sabtu pekan silam, Besoes setuju dengan FIFA. Itu berarti, PSSI bakal melakukan reformasi total, termasuk posisi ketua umum. Sayang, hanya berselang satu hari, keputusan Besoes dimentahkan Nurdin. Nurdin tak setuju. Dengan kata lain, dia tetap bertahan sampai 2011. Dan kitapun bertanya dalam hati: bagaimana masa depan sepakbola Indonesia ke depan?

Dalam buku panduan Piala Asia 2007, Nurdin mengatakan tentang mimpinya. “Mimpi saya adalah membuat pemain-pemain muda Indonesia bisa bermain di klub Eropa. Sehingga Indonesia bisa maju ke pentas dunia 2014”.

Ini tentu menjadi dilema, tak hanya buat politisi dari Partai Golongan Karya itu tapi juga bagi jutaan masyarakat Indonesia , teristimewa pecinta sepakbola nasional. Jika Nurdin mengedepankan egonya, otomatis eksistensinya tak diakui FIFA. Ini berarti, timnas kita tak boleh mengikuti event internasional. Sebaliknya, apabila Nurdin rendah hati mau mundur dan PSSI diisi oleh pengurus-pengurus baru yang punya keterbebanan memajukan sepakbola Indonesia , bukan tidak mungkin mimpi Nurdin - yang juga merupakan mimpi kita bersama - dapat terwujud.

Sulitkah memajukan sepakbola Indonesia ? Tidak, kata saya. Kita punya banyak talenta-talenta muda serta romantisme masa lalu yang cemerlang sekaligus menggetarkan. Ini hanya persoalan mau atau tidak. Kalau kita mau dan serius, pasti ada jalan. Singkirkan kepentingan pribadi, pun golongan. Jangan jadikan sepakbola sebagai kendaraan politik. Enyahkan semua yang tak perlu. Satu tekad, satu hati. Bukankah tak ada yang mustahil bagi orang yang percaya? Lihat Korea , tengok negara-negara jiran. Dua dasawarsa silam, mereka tak ada apa-apanya. Kini, setelah belajar dari kesalahan dan bahu membahu sepakbola mereka, pelan namun pasti, mengalami kemajuan pesat. Sementera kita terus terpuruk.

Soe Hok Gie, aktivis mahasiswa rezim Orde Lama, sebelum meregang nyawa di Gunung Semeru mengatakan… “Buat apa menghindar? Cepat atau lambat, suka atau tidak, perubahan hanya soal waktu. Semua boleh berubah, semua boleh baru, tapi satu yang harus dipegang: Kepercayaan.

Jika konteksnya sepakbola nasional, Gie, saya tak setuju. Setidaknya sampai tulisan ini saya turunkan. Prestasi terbaik Indonesia di SEA Games tertoreh tahun 1991 di Manila . Kita, waktu itu, menyabet medali emas sepakbola. Tahun 1986, peringkat empat Asia Games. Habis itu mati suri. Perubahan sih ada, tapi perubahan yang kian buruk. Pentas sepakbola nasional berjalan sonder arah.

Kepercayaan, Gie? Siapa yang bisa dipercaya kini? PSSI mengalami krisis kepercayaan, bukan cuma dari dalam tapi juga dari luar . Tak punya wibawa. Bahkan, saking jengkelnya, saya pernah melihat salah satu kelompok suporter menghina PSSI dengan kata-kata sarkasme di kaus oblongya bahkan sampai membakar simbol-simbol PSSI. Ironisnya – seperti kata pepatah – anjing menggonggong kafilah tetap berlalu.

Manusia memang bukan monyet, kendati Descartes mendefinisikan manusia adalah binatang yang berpikir. Namun, dalam hal meraih atau mempertahankan kekuasaan, jika kita mengacu kepada buku Cavanaugh, manusia terkadang -maaf- seperti monyet. Itulah mungkin, beberapa tahun yang lalu Iwan Fals pernah berdendang begini, ”…Manusia sama saja dengan binatang selalu perlu makan. Namun caranya berbeda dalam memperoleh makanan. Binatang tak mempunyai akal dan pikiran. Segala cara halalkan demi perut kenyang. Binatang tak pernah tahu rasa belas kasihan. Padahal semua tahu dia serba berkecupan…”

Sifat rakus memang menggelisahkan!

Tidak ada komentar: