Armand Maulana, vokalis band GIGI berjingkrak-jingkrak di atas panggung mengikuti irama yang menghentak. “...ini hanya mimpi”, teriaknya melantunkan sepenggal lagu yang dia nyanyikan. Tapi, bagi Ricardo Salampessy dan kawan-kawan apa yang terjadi malam itu, 13 Januari 2007, bukanlah mimpi. Tim mereka, Persipura Jayapura, baru saja dikalahkan Sriwjaya FC Palembang lewat drama adu penalti 0-3 setelah bermain imbang 1-1 dalam partai final yang berlangsung seru di Gelora Bung Karno Jakarta diajang Copa Dji Sam Soe.
Tak ada yang bermimpi malam itu. Tak ada. Bisa jadi, di sebuah kamar berjeruji besi nun jauh di sana, orang No. 1 di PSSI, Nurdin Halid, tengah bermimpi tentang kebebasannya kembali, laiknya hari-hari kemarin. Atau banyak orang berharap ada keajaiban bagi Soeharto, jenderal bintang lima yang memerintah Indonesia selama 32 tahun yang tengah berjuang antara hidup dan mati di RS Pusat Pertamina Jakarta .
Lupakan sejenak Nurdin Halid. Sepakbola adalah kenyataan. Dia setamsil medan perang: ada yang menang, ada yang kalah. Rinus Michels, arsitek tim Belanda era 1970-an sangat menggandrungi istilah tersebut. Itulah sebabnya, setiap kali akan berjibaku di lapangan hijau, dia selalu mengatakan kepada anak-anak asuhnya dengan sederet kalimat bersayap: jangan pernah melumpuhkan lawan dengan pedang, jika kamu dapat menggilasnya dengan tank. Dari sini lalu muncul istilah total-football yang kesohor itu.
Saya tak tahu persis apakah Michels seorang Machiavellisme. Niccolo’ Machiavelli – ahli teori politik abad pertengahan yang juga sastrawan cemerlang Italia – memegang teguh prinsip perang, berikut kelicikan-kelicikannya. Lewat buku The Art of War yang belakangan dijadikan Napoleon Bonaparte sebagai ‘kitab suci’ dalam menaklukkan Eropa, Machiavelli memproklamirkan bahwa perang adalah perang. Dan kemenangan menjadi tujuan utama yang menundukkan segala pertimbangan.
Tapi benarkah Machivelli? Tidak! Setidaknya buat seorang Rahmad Darmawan, pun Raja Isa. Pelatih Sriwijaya dan Persipura ini, sepanjang pertandingan tak menginstruksikan pemainnya agar melakukan segala cara demi menggapai kemenangan. Pertandingan memang berjalan keras namun masih dalam koridor fair play. Partai final ini tak hanya mengajarkan kita etika kesantunan dalam bersaing, melainkan juga mematahkan pandangan sebagaian besar masyarakat Indonesia yang terlanjur sinis kalau fair play hanya sebatas jargon.
Bagaiama caranya mengejawantahkan fair play? “Bermainlah dengan hati. Inilah yang selalu saya instruksikan kepada anak-anak, dimanapun saya melatih,” kata Rahmad Darmawan. Saya menangkap definisi bermain dengan hati yang dimaksud Rahmad berarti bermain lepas, bebas. Lihat saja hasilnya. Ferry Rotinsulu dkk mampu bermain stabil, kendati sempat tertinggal 0-1, menyamakan kedudukan sampai akhirnya keluar sebagai juara. Semangat juang punggawa-punggawa Wong Kito setebal beton jembatan Ampera di atas sungai Musi.
“Kekalahan adalah sebuah hal yang biasa dalam sepakbola. Saya bangga, anak-anak bermain maksimal,” kata Raja Isa.
Air mata setiap insan asin rasanya. Ini kata Siddhatta Gotama, beratus-ratus abad yang lampau, setelah dia mendapatkan pencerahan pascapertapaan yang panjang. Seperti halnya usia, air mata tak dapat disembunyikan. Air mata tak mengenal kasta. Tak mengenal tempat. Tak mengenal warna kulit. Tak mengenal keyakinan. Air mata merupakan ‘buah-buah’ perasaan, baik suka atau duka. Eduard Ivakdalam, Kapten Persipura tak kuasa menahan kesedihannya. Memang, pada tahun 2005, pemain yang akrab disapa Edu ini ikut mengantarkan Mutiara Hitam menjadi kampiun liga. Sayang, setahun kemudian, Persipura gagal menjinakkan Singo Edan Arema Malang di partai final Copa. Dan kini, kendati awalnya diunggulkan, toh Edu harus berbesar hati lantaran masih jauh panggang dari api.
Jadi, kalau anak-anak Palembang menangis bahagia, biarlah begitu, jangan diganggu. Biarlah mereka berpesta. Pesta kemenangan, kemenangan dari sebuah penantian yang panjang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar