Chairil Anwar menciptakan sajak dan ia berkata,”Aku ingin hidup seribu tahun lagi”. Tapi siapa yang ingin hidup selama itu di I ndonesia kini? Kita lalu ingat Ranggawarsita lewat Serat Kalidata, dari satu masa nun jauh di belakang:
Mangkya darajating praja
Kawuryan wus sunyaruri
Rurah pangrehing ukara
Karana tanpa palupi
Atilar silastuti
Sujana sarja kelu
Kalulum kalatida
Tidhem tandhaning dumadi
Ardayengrat dene karoban rubeda
Dunia tak semakin baik, juga Indonesia . Dekadensi moral. Ketidakpastian. Aksi tipu-tipu yang melembaga. Hipokrisi. Kemapanan yang goyah. “Aku tak ingin hidup di atas usia 27 tahun,” kata Kurt Cobain. Dan kita pun tahu, vokalis Nirvana itu meregang nyawa di rumahnya, 171 Lake Washington Boulevard , 5 April 1994. Charles R Cross, penulis biografi Kurt Cobain, Heavier Than Heaven, menuliskan, kepala Cobain hancur berantakan dihantam beberapa timah panas yang ditembakkannya sendiri. Tragedi Cobain membawa pikiran kita terbang kepada tragedi sebelumnya. Janis Joplin, Jimi Hendrix, Jim Morrison.
Hidup, dengan segala variabelnya, memang acapkali menggelisahkan. Kita tahu siapa Cobain. Dia punya segalanya: nama tenar dan harta yang melimpah.
Kematian Cobain mengingatkan kita, nama beken dan harta yang melimpah tak menjamin kualitas hidup seseorang cemerlang dan selalu tanpa aral. Itulah sebabnya, Yesus pernah berkata,” Buat apa seseorang memiliki dunia dengan segala isinya tapi kehilangan nyawanya?”
Siapa yang ingin menyikapi hidup dengan arif, baiklah dia bercermin kepada Cobain, juga Margaux, cucu Hemingway, sastrawan paling ternama di abad 20. 28 Juli 1996, Margaux bunuh diri dengan cara menenggak pil tidur secara berlebihan. Usianya 41 tahun. Sebagai model papan atas, tubuh dan wajahnya mulai peot digerus waktu. Secara finansial dia juga bangkrut. Margaux depresi. Dia kemudian lari dari kenyataan.
Tatkala memulai kariernya di pentas modeling, Margaux panen puja-puji. Juga materi. Majalah Matra, lewat suplemen BONUS tahun 1997 yang bertajuk Bunuh Diri, Kegilaan dan Proses Kreatif Seniman menurunkan intro tentang Margaux: Ia setinggi enam kaki (sekitar 183 sentimeter) jika berdiri di atas kaki telanjang. Wajahnya begitu memukau. Kehadirannya amat menggetarkan hati. Namanya sangat memikat. Jika dia masuk ke sebuah ruangan, semua percakapan terhenti. Bila dia menjabat tanganmu, kau akan merasa pergelangan tanganmu seakan menciut.
Cobain, juga Margaux, adalah gambaran sepakbola kita yang runyam. Menggelinding tanpa arah. Seribu wajah. Seribu topeng.
Berkatalah Pangeran Jayabaya:
Kukum lan yuda nagara
Pan nora na kang nglabeti
Aretu patraping adil
Kang bener-bener kontit
Kang bandhol-bandhol pan tulus
Kang lurus-lurus rampas
Setan mindha wahyu sami
Akeh lali mring Gusti miwah wong tuwa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar