Penyesalan memang selalu datang terlambat. Dan ketika tim nasional Indonesia dinyatakan menang WO (3-1) atas Libya di ajang Piala Kemerdekaan 2008 beberapa waktu lalu, tak banyak yang bertepuk tangan untuk Charis Yulianto dkk. Libya, yang lebih dulu unggul 0-1 lewat gol Abdalla Mohamed dimenit 14, memutuskan emoh melanjutkan pertandingan babak kedua setelah Gamal Adeen M Nowara, pelatih Libya, mengaku dipukul salah seorang ofisial Indonesia. Insiden dipicu dari persoalan sepele: Nowara merasa keberatan atas kepemimpinan wasit Shahabuddin Moh Hamiddin, asal Brunai Darussalam, yang ditudingnya memihak Indonesia.
Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Demikian pepatah lawas. Protes Nowara malah memantik emosi salah seorang ofisial Indonesia. Singkat kata, tindakan tak terpuji itu pun terjadi. Citra Indonesia sebagai tuan rumah tercoreng, meninggalkan catatan yang tak sedap untuk dikenang. “Kita menang hambar,” kata Benny Dollo, pelatih Indonesia.
Jamak, kalau pelatih yang akrab disapa Bendol ini sedih. Sebagai coach, Bendol ingin seperti Bertje Matulapelwa, atawa Nandar Iskandar. Bertje sukses membawa skuad Merah Putih juara Piala Kemerdekaan 1987. Tim besutan Bertje menggebuk Aljazair, 2-1. Kedua gol Indonesia dicetak Ricky Yakob serta Ribut Waidi. Gol tunggal Aljazair diceploskan Kabrane Amar. Tahun 2000, giliran Nandar. Kala itu, Indonesia melumat Irak dengan skor 3-1. Ketiga gol disarangkan Aji Santoso, Bima Sakti, dan Gendut Doni.
Piala Kemerdekaan pertama kali digelar tahun 1985. Cili mengukuhkan diri sebagai juara. Kemudian tahun 1986. Aljazair mengukuhkan diri sebagai yang terbaik. Setahun kemudian Indonesia. 1988 China. 1990 Australia. Selanjutnya tahun 1992 Malaysia, tahun 1994 Thailand, dan terakhir tahun 2000.
Tadinya, pecinta sepak bola di Tanah Air berharap, Bendol dapat mengulangi pencapaian Bertje maupun Nandar. Di tengah kemelut demi kemelut yang terjadi di tubuh PSSI era Nurdin Halid kini serta prestasi timnas yang jeblok, Piala Kemerdekaan diharapkan semacam oase di padang pasir. Selain itu, Piala Kemerdekaan merupakan 'candradimuka' pra Piala AFF, Desember 2008. Tapi apa mau dikata. Nasi sudah menjadi bubur. Seperti Bendol, jutaan pendukung Merah Putih pun berkata sama: “Kita menang hambar”.
Jika saja insiden pemukulan itu tak terjadi, kita tak mungkin menanggung malu seperti ini. Katakanlah kita kalah, namun kalah secara terhormat. Demikan halnya kalau menang. Karena kalah atawa menang dalam palagan olahraga merupakan hal yang lumrah. Itulah sebabnya, waktu Charis Yulianto dkk mengangkat piala tinggi-tinggi, tak semua kita bangga. Soalnya, proses menuju kepada kemenangan tersebut abnormal.
Penyesalan memang selalu datang terlambat. Kita ingat Henry Tandey, dalam konteks yang lain, tentu saja. Tandey adalah anggota Resimen Duke Wellington Angkatan Darat Inggris. Perang Dunia I berkecamuk. Tandey berangkat ke sebuh negara yang jauh, Marcoing, Prancis, di suatu hari di bulan September 1918. Beban yang dipikul Resimen Duke Wellington tak main-main: Merebut desa Marcoing dari cengkraman Jerman.
Tentara Inggris terhadang jembatan yang rusak. Jembatan ini harus diperbaiki. Tapi siapa yang berani? “Aku”, kata Tandey. Tandey segera berlari di antara desingan pelor musuh. Dengan gerakan terlatih juga cepat, Tandey menaruh kayu-kayu di atas jembatan. Pasukan Inggris berhasil masuk. Pertempuran jarak dekat terjadi. Pasukan Jerman terdesak. Kocar-kacir. Dari sini kemudian sejarah itu terjadi. Sejarah yang tak pernah dilupakan Tandey, sampai dia meninggal tahun 1977 dalam usia 86.
Tandey membidikkan senapannya kepada seorang tentara Jerman. Tentara itu terluka, berjalan tertatih-tatih, menatap moncong senjata Tandey dengan pasrah. Tandey tak tega. Tentara Jerman itu mengangguk tanda terima kasih lalu berlalu dari hadapan Tandey.
Atas jasanya tersebut, 17 Desemeber 1919, bertempat di Istana Buckingham, Raja George V menganugrahi Tandey medali Victoria Cross. Harian London, Gazette, menurunkan laporan perihal penyematan medali itu disertai lukisan yang menampilkan Tandey memapah rekannya yang terluka pascapertempuran di Ypres. Sebuah lukisan yang dramatis hasil karya seniman Italia, Fortunino Matania.
Tentara Jerman yang beruntung itu tak lain adalah Adolf Hitler. Ia sendiri tak pernah melupakan peristiwa itu. Setelah menjadi Kanselir Jerman pada tahun 1933, ia memerintahkan stafnya mendapatkan copy lukisan Fortunino Matania dan memajangnya di rumah peristirahatannya di puncak gunung Berchtesgaden.
Kepada semua tamunya, termasuk Perdana Menteri Inggris Neville Chamberlain yang berkunjung ke Jerman tahun 1938 guna merundingkan persoalan Ceko-Slovakia, Hitler mengatakan,” Orang ini bisa menewaskan saya dan saya sudah berpikir tidak bisa melihat Jerman lagi. Kehendak mulia telah menyelamatkan jiwa saya dari tembakan akurat sewaktu pemuda Inggris itu membidik”. Melalui Chamberlain, Hitler menitipkan salam buat Tandey.
Dan kita tahu, sejak saat itu, Hitler mengamuk, meluluh-lantakkan Eropa. Jutaaan orang mati atau dimatikan. “Saya minta ampun kepada Tuhan karena telah membiarkan dia hidup,” sungut Tandey.
Minggu, Oktober 26, 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar