Anak-anak muda itu berdiri di depan Sekretariat PSSI Senayan, Jakarta , beberapa saat sebelum duel Bayern Munchenversus tim nasional Indonesia dihelat. Mereka mengacungkan jari tengah lalu berdendang:
…memang aneh sepak bola Indonesia
banyak orang-orang bilang
tak punya uang tak menang…
Mereka terus bernyanyi, tak henti. Wajah-wajah yang merah. Urat-urat leher yang tegang mengeras, melingkar-lingkar, bagai akar.
…suporter bersatu tak bisa dikalahkan
suporter bersatu tak bisa dikalahkan
suporter bersatu tak bisa dikalahkan…
Paduan suara keprihatinan, di tengah ingar-bingar sepak bola Eropa dan Amerika Latin. Hujan prestasi, bertabur bintang. Sementara, di sini, di Republik ini, kita masih berkutat dengan persoalan yang tak kunjung finish. Sepak bola nasional yang runyam. Sepak bola tipu-tipu. Sepak bola, yang -menurut seorang teman- lebih mengedepankan kepentingan politik ketimbang prestasi.
Haruskah diri berdiam? Tidak. Suporter-suporter itu, anak-anak muda yang berdiri itu tak akan berdiam. Mereka terus bergerak, seperti hari-hari kemarin. Terus dan terus, merangsek ke depan. Kesemena-menaan harus segera disudahi. Sampai kapan? Entahlah. Perjuangan toh tak cuma membutuhkan elan yang berapi-api, tapi juga totalitas. Kita ingat anak-anak muda Palestina dan sebuah kata yang mengetarkan: Intifadah.
Intifadah lahir tatkala jalur-jalur diplomasi mandek, juga kesuksesan Revolusi Islam Iran mendongkel kekuasaan Syah Reza Pahlevi, 1979. Dengan kata lain, intifadah, -yang berasal dari bahasa Arab yang berarti menggetarkan atawa mengguncang- merupakan reaksi atas kegagalan metode perjuangan yang dilakukan oleh negara-negara Arab terhadap Israel . Intifadah menyulut nasionalisme, meski peluru tajam dihadapi dengan batu. Anak-anak muda itu tetap berdiri, dengan gigi yang berkertak, di hadapan tank dan panser.
Semangat Revolusi Islam di bawah komando ulama gaek, Ayatullah al Uzhma Ruhullah al Musawi Khomeini, memikat hati pemuda Palestina. Di mata mereka, Khomeini merupakan inspirasi. “Kemenangan Revolusi Islam di Iran,” kata Dr. Fahmi Syaqaqi, Sekretaris Jenderal Organisasi Jihad Islam Palestina, ”mengembalikan keyakinan semua muslim di dunia akan ideologi dan agama, dan membuktikan bahwa Islam adalah kekuatan yang tak terkalahkan. Revolusi Islam telah menghidupkan kekuatan pemberontakan rakyat Palestina”.
Revolusi Islam tak lahir begitu saja. 17 Januari 1978, Reza Pahlevi, lewat sebuah artikel di koran Ittila’at mendiskreditkan Khomeini. Fakta diputarbalikkan. Ribuan pendukung Khomeini marah. Emosi di ubun-ubun. Jalan-jalan protokol di Iran dijejali demonstran. Pahlevi marah. Peluru pun menyalak. Mayat-mayat bergelimpangan. Kematian para syuhada berbuntut demonstrasi lanjutan. Rakyat -tanpa memandang golongan- bersatu, bergandengan tangan. Sejarah lalu mencatat, Pahlevi tumbang, tergusur dari singgasana Tahta Merak-nya yang telah berusia 2.500 tahun.
Anak-anak muda yang marah, yang berdiri di depan Sekretariat PSSI Senayan sana , bagi saya, adalah intifadah dalam ‘ medan pertempuran' lain. Mereka mengingatkan kita bahwa sepak bola nasional harus segera dibenahi. Dan itu membutuhkan komitmen, terlebih keyakinan.
Bercokolnya Israel di Palestina memantik emosi Khomeini. Dalam pertemuan dengan sejumlah perwakilan Arab di Iran, 13 Juni 1982, berkatalah Khomeini:
Apakah jumlah kalian kecil?
Apakah kekayaan kalian sedikit?
Apakah minyak kalian remeh?
Apakah wilayah kalian sempit?
Tidakkah kalian mempunyai pusat-pusat penting yang strategis?
Semua perangkat ada. Hanya satu yang hilang, yaitu keyakinan.
Saya dan seluruh pecinta sepak bola di negara ini berharap, anak-anak muda yang berdiri di Sekretariat PSSI Senayan sana tak akan kehilangan keyakinan. Seperti lagu mereka:
…suporter bersatu tak bisa dikalahkan…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar