Minggu, Oktober 26, 2008

Revolusi Mao

Revolusi, kata Mao Tse Tung, bukanlah sebuah pesta makan. Syahdan, puluhan tahun lalu di China, Mao menggerakkan ribuan orang lewat long march 10.000 km, bertempur melawan tentara Chiang Kai Shek. Demi terwujudnya impian, Mao dan pengikutnya menguyah sepatu, minum air kencing, tenggelam di rawa, salju, gurun, seraya bertempur, siang malam, belasan tahun. Mereka menang dan Republik Komunis China – kita tahu – hingga kini masih eksis.

China terbentang jauh dari Indonesia . Namun, revolusi Mao dapat dijadikan sebagai ‘pembakar’ semangat oleh pengurus-pengurus PSSI yang akan datang guna membenahi sepakbola Indonesia . Dengan kata lain, semangat dan totalitas serta mau berkorban sangat dibutuhkan demi masa depan sepakbola Indonesia .

Kisruh yang terjadi di tubuh PSSI belakangan sungguh memprihatinkan. Desakan badan tertinggi sepakbola dunia, FIFA, terhadap PSSI mengindikasikan betapa seriusnya permasalahan yang kita hadapi. Kita juga bisa melihat dengan jelas bahwa segelintir pengurus masih tetap ingin mempertahankan kekuasaannya. Ada yang terang-terangan mengatakannya, tak sedikit yang berpura-pura diam namun tengah mempersiapkan aneka manuver.

Ada sindirian tentang orang-orang yang rakus kekuasaan. Dan Brian Cavanaugh, lewat bukunya RANGKAIAN KISAH BERMAKNA, 100 CERITA BIJAK, membeberkannya secara fabel. Ceritanya jenaka namun berakhir tragis. Di situ, di buku yang dicetak Penerbit OBOR tahun 1995 itu, diceritakan cara orang India menangkap monyet.

Sang pemburu membuat sebuah lubang di kotak kayu yang cukup kuat. Kacang kemudian diserak. Lubang itu, tulis Cavanaugh, cukup lebar untuk tangan monyet, tapi begitu tangannya menggenggam kacang maka sangat sulit untuk ditarik ke luar. Monyet punya dua pilihan. Pertama, dia bisa lolos dari perangkap asalkan melepaskan kacang yang ada di tangannya. Kedua, dia pasti tertangkap jika tetap ‘ngotot’ dan enggan merelakan kacang lepas dari tangan.

Sulitkah memajukan sepakbola Indonesia ? Tidak, kata saya. Kita punya banyak talenta-talenta muda serta romantisme masa lalu yang cemerlang sekaligus menggetarkan. Ini hanya persoalan mau atau tidak. Kalau kita mau dan serius, pasti ada jalan. Singkirkan kepentingan pribadi, pun golongan. Jangan jadikan sepakbola sebagai kendaraan politik. Enyahkan semua yang tak perlu. Satu tekad, satu hati. Bukankah tak ada yang mustahil bagi orang yang percaya? Lihat Korea , tengok negara-negara jiran. Dua dasawarsa silam, mereka tak ada apa-apanya. Kini, setelah belajar dari kesalahan dan bahu membahu sepakbola mereka, pelan namun pasti, mengalami kemajuan pesat. Sementera kita terus terpuruk.

Soe Hok Gie, aktivis mahasiswa rezim Orde Lama, sebelum meregang nyawa di Gunung Semeru mengatakan… “Buat apa menghindar? Cepat atau lambat, suka atau tidak, perubahan hanya soal waktu. Semua boleh berubah, semua boleh baru, tapi satu yang harus dipegang: Kepercayaan.

Jika konteksnya sepakbola nasional, Gie, saya tak setuju. Setidaknya sampai tulisan ini saya turunkan. Prestasi terbaik Indonesia di SEA Games tertoreh tahun 1991 di Manila . Kita, waktu itu, menyabet medali emas sepakbola. Tahun 1986, peringkat empat Asian Games. Habis itu mati suri. Perubahan sih ada, tapi perubahan yang kian buruk. Pentas sepakbola nasional berjalan sonder arah.

Kepercayaan, Gie? Siapa yang bisa dipercaya kini? PSSI mengalami krisis kepercayaan, bukan cuma dari dalam tapi juga dari luar. Tak punya wibawa. Bahkan, saking jengkelnya, saya pernah melihat salah satu kelompok suporter menghina PSSI dengan kata-kata sarkasme di kaus oblongya bahkan sampai membakar simbol-simbol PSSI. Ironisnya – seperti kata pepatah – anjing menggonggong kafilah tetap berlalu.

Tak ada pilihan lain, kita harus segera berbenah. Kita harus melakukan revolusi dalam arti positif. Sepakbola nasional harus bangkit, menuju pentas dunia. Untuk tujuan adiluhung itulah, PSSI harus diisi oleh orang-orang yang punya elan baja. Bravo sepakbola nasional!

Tidak ada komentar: