Minggu, Oktober 26, 2008

Risalah Gandhi (Dan Stadion Brawijaya pun Terbakar)

Bagaimanakah caranya menyikapi kebencian dengan arif? Mungkin kita butuh Gandhi, lewat sebuah risalah lawas yang tak lekang dimakan waktu. “Kebencian,” kata Gandhi,” hanya bisa diselesaikan dengan cinta”. Gandhi – yang oleh penyair India terkenal Rabindranath Tagore diberi gelar Mahatma (jiwa besar di rumah petani) – bersama cinta yang dia yakini kebenarannya maju ke depan, mengusung gerakan Ahimsa: menantang, berhadap-hadapan dengan tirani. Dan kita tahu, Gandhi menang, meski ribuan orang meregang nyawa.
Gandhi adalah buah bibir ketika kita menjadikan kebencian sebagai kebenaran yang absolut. Apa yang kita peroleh dari kebencian? “Tidak ada”, kata Gandhi. Satu tindakan buruk dari satu pihak, menurut Gandhi, tidak merupakan justifikasi bagi tindakan serupa dari pihak lawannya. Itulah sebabnya, ketika Inggris mengirimkan keangkaramurkaan ke India, Gandhi - yang mati ditembak Nathuram Vinayak Godse, seorang ekstrimis Hindu – tak membalas kebencian dengan kebencian. Sikap diam yang dipertontonkan Gandhi malah menjadi semacam satir buat pemerintah Inggris untuk kembali merenungkan ajaran Yesus yang sering mereka dengar di gedung-gedung gereja: kasihilah musuhmu sama seperti dirimu sendiri.
Namun, apa boleh buat memang. Semua orang toh tak lahir seperti Gandhi. Seorang yang welas asih. Seorang yang mengedepankan cinta. Seorang yang mampu mendiamkan nyalak dan keangkeran seribu bedil. Atau, sudah hilangkah makna cinta kini? Kalau iya, maka apa yang terjadi di Stadion Brawijaya, Kediri, beberapa waktu lalu merupakan ‘teguran’ buat kita, betapa lamanya kita tertidur.
Amuk massa di Stadion Brawijaya tersebut bukanlah yang pertama dalam kancah persepakbolaan nasional kita. Apa yang terjadi di sana tak hanya menambah daftar catatan kelam bagi Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) melainkan juga mencoreng citra Aremania sebagai salah satu komunitas suporter terbaik di Indonesia.
Suporter dan kesebelasan sepakbola ibarat gula dengan semut. Keduanya tak dapat dipisahkan, saling membutuhkan, pun saling melengkapi. Dari sini kemudian timbul rasa memiliki yang amat sangat. Lalu muncul idiom: Suporter, roh ke-12 suatu kesebelasan. Membanggakan memang, tapi sekaligus menggelisahkan. Di saat timnya merasa dicurangi, tak pelak kemarahan pun menjadi legitimasi. Akhir dari semua itu: Bakar...bakar...bakar...
Ketika kemarahan menyeruak ke seantero Stadion Brawijaya, saya tertawa miris. Saya tak berada di sana. Saya melihatnya dari televisi, berulang-ulang. Heran juga, tiga gol Arema ke gawang Persiwa Wamena dianulir wasit. Gol dianggap tak wajar lantaran off side. Jajat Sudrajat, wasit yang memimpin pertandingan, dalam perspektif PSSI,dalam hal ini Badan Liga Indonesia (BLI) selaku penyelenggara sepakbola nonamatir di Tanah Air bersikukuh bahwa mereka telah menugaskan seorang wasit terbaiknya.
Saya jadi ingat kericuhan pada pembukaan Liga Indonesia 2006. Persipura Jayapura, selaku kampiun liga 2005 menjamu tamunya Persela Lamongan. Stadion Mandala Papua dijejali ribuan penonton, yang tentu saja berdiri di belakang tuan rumah. Saya lupa siapa wasitnya. Yang pasti, namanya tak sementereng Jimmy Napitupulu atawa Purwanto. Dia dituding tak becus (dan memang demikianlah kebenarannya). Keputusan-keputusannya acapkali beraroma kontroversi. Tuan rumah protes, merasa dizalimi. Suasana panas. Emosi penonton sampai ke ubun-ubun. Batu-batu, atau apa saja yang bisa dilempar berterbangan, mendarat ke lapangan. Di bawah teror penonton yang marah, pertandingan tetap dilanjutkan, walau sempat beberapa kali dihentikan. Saya tak ingat berapa skor akhirnya. Yang saya ingat, Persipura kecewa. Mereka protes atas kepemimpinan wasit.
Saat meninggalkan stadion, saya menghampiri Direktur BLI, Andi Darussalam Tabusala dan mengatakan kenapa BLI tak menugaskan wasit sarat pengalaman dan tegas serta berwibawa. Andi Darussalam waktu itu mengatakan bahwa pihaknya telah melakukan yang terbaik, termasuk menunjuk wasit yang memimpin pertandingan.
Tapi apakah gerangan yang ‘baik’ itu? Makna ‘baik’ bagi Nurdin Halid dan kroni-kroninya termasuk Andi Darussalam bisa berbeda dengan orang kebanyakan. Dengan kata lain, ‘baik’ menurut PSSI apakah baik juga bagi kesebelasan, suporter, terlebih jutaan pecinta sepakbola nasional di Tanah Air?
Jadi, bila Stadion Brawijaya terbakar, baiklah kita kontemplasi sejenak: ada sesuatu yang harus kita bereskan sesegera mungkin. Biar bagaimanapun – atas nama sepakbola nasional – kita harus berbenah, bangkit menjadi pemenang, baik di dalam maupun di luar lapangan. Risalah Gandhi tentang hanya cinta yang bisa melumat kebencian adalah harga mati yang tak dapat ditawar. Tak mudah tentu saja. Banyak aral yang kan menghadang. Soal ini kemudian kita ingat kata-kata Bapak Komunis Vietnam, Ho Chi Minh,”Kita harus menghadapi banyak kesulitan untuk mencapai kemenangan akhir”.

Tidak ada komentar: