Beberapa saat sebelum tahun 2007 pergi, saya bercakap-cakap dengan salah seorang legenda sepakbola Indonesia, Ricky Yacobi. Kami membahas tentang peluang dan asa timnas di tahun 2008. "Jangan terlampau banyak berharap," kata laki-laki kelahiran Medan, 44 tahun silam itu.
Menurut eks punggawa PSMS Medan dan Arseto Solo tersebut, selama PSSI tak melakukan revolusi kebijakan dengan cara menggalakkan turnamen-turneman di daerah di seluruh Indonesia maka bicara tentang prestasi dan timnas yang kuat hanyalah angan-angan belaka.
"Seharusnya PSSI mensosialisasikan turnemen-turnamen melalui pengurus-pengurus darah (Pengda). Dari sini kemudian akan banyak lahir bibit-bibit muda yang nantinya distok buat timnas. Cara seperti ini sudah pernah dilakukan di zaman saya, seperti Suratin cup dan lain-lain." ujarnya.
Mantan striker timnas era 1980-an yang juga pernah merumput bersama klub sepakbola profesional Jepang, Matsushita Electric, tak kuasa menahan jengkelnya. Sebab, kata dia, perekrutan pemain timnas kini tak berjalan fair. "Jangan mentang-mentang dia anak orang kaya lantas langsung bisa masuk timnas. Kalau memang kualitasnya di bawah rata-rata, ya jangan dipilih dong," sungut Ricky yang pada tahun 1986 ikut meyumbang medali emas SEA Games dan setahun kemudian membawa tim Merah Putih bertenger di peringkat empat Asian Games.
Soal pelatih? "Menurut saya, pelatihnya jangan tanggung-tanggung. Kontrak saja pelatih asing yang sudah punya nama. Si pelatih ini dikasih target, baik di kawasan Asia Tenggara dan Asia. Asistennya boleh lokal. Si asisten ini akan belajar banyak dari sang pelatih," katanya.
Saya setuju. Boleh dibilang, Ricky bukanlah orang pertama yang geram terhadap kinerja jajaran Nurdin Halid cs. Ibarat kata pepatah, anjing menggongging kafilah berlalu. Meski begitu, kebenaran haruslah tetap dikumandangkan. Soalnya, kebenaran adalah kebenaran itu sendiri. Dan biar waktu yang menjawab.
Tentang ini, saya teringat sebuah cerita yang terdapat di dalam buku Para SUFI AGUNG, KISAH DAN LEGENDA yang ditulis secara apik oleh Mojdeh Dayat dan Mohammad Ali Jamnia.
Adalah seorang sufi bernama al-Husain Ibn Mansur al-Hallaj. Lahir di kota Tur, Bayda, Iran Tenggara tahun 866 M dan merupakan sufi paling kesohor di abad 9 dan 10. Umur 18, al-Hallaj mengepak koper lalu hijrah ke Irak. Di negara asal Abraham -Bapak leluhur Yahudi- inilah dia mencapai asketisisme. al-Hallaj ditakdirkan mati di tiang gantungan, di mana makna kebenaran berbenturan kepada purbasangka.
Usai menunaikan ibadah haji yang ketiga pada tahun 913, setelah 892 dan 903, al-Hallaj menemukan kesadaran tentang kebenaran. "Ana al-Haqq", katanya, lantang. Kalimat yang berarti Akulah Kebenaran tersebut sontak menuai protes. Kaum ulama Salaf yang ortodoks menyimpulkan al-Hallaj sesat dan ajaranya merupakan bidah yang harus dijauhi. Islam eksoteris, kata para ulama Salaf, menampik seorang manusia dapat menjadi satu dengan Allah.
Tak hanya ulama, tentu saja. Rekan-rekan al-Hallaj juga tak habis pikir dengan pernyataan itu. Mereka meyakini, seorang sufi seharusnya tidak mengungkapkan pengalaman-pengalaman pribadinya kepada orang lain.
Sebaliknya, pernyataan al-Hallaj justru membangkitkan gairahnya untuk mempertontonkan cinta kasih Ilahi bagi kemanusiaan, tak hanya muslim tapi seluruh manusia. "Hei, muslim semuanya, tolonglah aku! Selamatkan aku dari Dia! Oh, umat sekalian, Dia telah izinkan kalian untuk mencucurkan darahku. Bunuhlah aku. Aku mau keparat ini (sambil menunjuk dirinya sendiri) dibunuh". Dia juga berkata,"Ampuni mereka semua. Hukumlah aku atas dosa-dosa mereka". Al-Hallaj diseret ke pengadilan. Dia dianggap bersalah. Tak ubahnya tahanan politik, al-Hallaj diawasi secara ketat.
Al-Hallaj sebenarnya bukan tanpa pengikut. Meski dianggap 'sedeng', sufi ini memiliki banyak pengagum. Bahkan, dari sekian muridnya, beberapa di antaranya bercokol di golongan oposisi serta pemrintah yang tengah berkuasa. Celakanya, sang guru dijadikan obyek politik. Memang, golongan oposisi menganggap al-Hallaj adalah sosok Iman Mahdi. Tapi ini hanya untuk menciptakan huru hara di tengah masyarakat yang masih memperdebatkan siapa sebenarnya Iman Mahdi. Sedangkan pengikut al-Hallaj di pemerintahan memanfaatkan gurunya untuk melakukan reformasi sosial. Tak pelak, al-Hallaj terjebak di antara perselisihan murid-murid dan musuhnya.
Perselisihan ini, apa boleh buat, melahirkan pemberontakan yang berakhir kepada kudeta. Beruntung, situasi dapat dikendalikan oleh penguasa. Gampang ditebak, al-Hallaj dinobatkan sebagai biang kerok. Wazir Khalifah, di hadapan sidang majelis dan penguasa menuntut supaya al-Hallaj dieksekusi. Usulan diterima. Wazir Khalifah tersenyum, puas.
Sang sufi diarak ke tiang gantungan, dipertontonkan kepada ribuan orang. Saat berjalan ke tiang gantungan, wajah al-Hallaj sama sekali tak memancarkan takut, gentar apalagi. Dia tetap tenang. "Kenapa engkau berjalan dengan begitu bangganya, seakan tidak terjadi apa-apa?", tanya orang-orang. al-Hallaj menjawab,"Aku bangga karena aku sedang berjalan menuju tempat penjagalan".
Para algojo menyambuk tubuh al-Hallaj berkali-kali. Darah menetes, tak berhenti. Sebelum meregang nyawa, dia menatap kerumunan yang ada di depannya lalu berseru "Haqq, haqq, haqq, Ana al-Haqq". Tubuh yang tak berjiwa itu lalu dimasukkan ke baskom besar direbus di dalam minyak mendidih. Selanjutnya dibakar.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar