Minggu, Oktober 26, 2008

Senandung Tagore

RABINDRANATH Tagore, penyair cemerlang India itu lahir di Calcutta 1861 dan mangkat 1941. Tagore, jika ditilik dari kesehariannya, tak hanya seorang penyendiri, tapi juga anti kekerasan. Pada 1919, ia mengembalikan gelar bangsawan "Sir" kepada Kerajaan Inggris sebagai protes terhadap kekejaman imperial Inggris dalam memadamkan pemberontakan di Amritsar, India.Tentang ini, Tagore - Orang pertama Asia yang meraih Nobel 1913 lewat Gitanjali – mengatakan lewat sepenggal pusi:

Hati manusia cemas oleh bara kegelisahan,

Oleh racun kepentingan diri,

Oleh dahaga tak kenal akhir

Tagore tak sampai di situ. Seperti air, dia terus bergerak, menjadi makna, sekaligus inspirasi. Di Indonesia, Tagore memikat Ki Hadjar Dewantara. Ki Hadjar, yang juga kita kenal lewat karya apiknya berjudul Als ik eens Nederlander was kemudian mendirikan Taman Siswa karena terpengaruh perguruan Santi Niketan yang didirikan Tagore pada 1901, yang, pada tahun 1922 berkembang menjadi Universitas Visva-Bharati. Visva-Bharati mengedepankan pembangunan pedesaan dengan menghidupkan kebudayaan dan pertukangan kerajinan India.

Tagore tak punya afiliasi dengan sepak bola. Dia, dengan kata lain, tak seheboh legenda sepak bola dunia, katakanlah seperti Pele atawa Maradona. Kendati begitu, Tagore mengajarkan kita tentang substansi dari sepak bola itu sendiri, yakni legowo menerima kegagalan.

Janjikanlah padaku agar aku tidak menjadi seorang pengecut: Tidak hanya sanggup

merasakan keagunganMu dalam keberhasilanku tetapi juga dapat merasakan

genggamanMu di dalam kegagalanku

KEGAGALAN! Sebuah kata yang menyesakkan. Namun, jika kita mau sedikit arif, kegagalan adalah password menuju gemilang. Dalam makna lain, seperti yang acapkali kita dengar dari generasi ke generasi, kegagalan adalah sukses yang tertunda. Dan menggapai keberhasilan, tentu saja tak mudah. Butuh kerja keras, pun totalitas. “Revolusi bukanlah sebuah jamuan pesta makan”, kata Mao Tse Tung. Revolusi Mao mendorong gerakan rektifikasi yang menjungkirbalikkan supremasi yang sebelumnya tidak bisa diganggu-gugat. 1 Oktober 1949 Negara komunis China berdiri, setelah bertempur habis-habisan dalam long march yang berliku-liku dengan tentara Chiang Kai Sek.

Kegagalan juga mengajarkan kita untuk menentukan arah. Kalau Anda bertanya soal arah pembinaan sepak bola nasional kepada pengurus PSSI kini, saya yakin seyakin-yakinnya, mereka pasti gagap. Tak punya jawaban. Lumrah jika sepak bola nasional jadi wadah untuk hal-hal yang tidak-tidak yang ujung-ujungnya mencederai hati pecinta sepak bola nasional.

Apa yang harus kita perbuat? Kita ingat Wiji Thukul. Ketika keangkaramurkaan merajela dan hati nurani dibekap, Thukul berteriak lantang : Lawan. Aktivis asal Solo, Jawa Tengah itu, yang tahun 2002 dianugrahi Yap Thiam Hien Award, memang mati atau dimatikan oleh rezim Orde Baru, 1998. Thukul – kendati tak banyak yang tafakur untuknya - mengajarkan kita bahwa kesemena-menaan harus dilawan. Bukankah, Vox Populi Vox Dei?

Vox Populi Vox Dei

Tidak ada komentar: