Minggu, Oktober 26, 2008

Surat untuk Nurdin Halid

Tatkala saya menulis surat ini Pak Nurdin, gerimis merinjis di Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Lewat loud speaker komputerku, Ebit G Ade berdendang: ... engkau tahu, aku mulai bosan bercumbu dengan bayang-bayang. Bantulah aku temukan diri, menyambut pagi membuang sepi..

Jujur, sore ini saya dilumat kemasygulan yang amat sangat. Bukan lantaran PSMS Medan, klub asal daerahku gagal sebagai yang terbaik di Liga Indonesia 2007 setelah dikalahkan Sriwijaya FC Palembang 3-1 di Stadion Jalak Harupat, Bandung, beberapa waktu lalu. Bukan pula lantaran harga tempe di warung di ujung gang kontrakanku yang mahal, pun bukan lantaran harga minyak tanah yang lebih mahal dari premium sepeda motor bebek bututku.

Pak Nurdin, di balik sukses Sriwijaya FC yang berhasil menoreh sejarah di blantika sepakbola nasional kita dengan menyabet dua gelar bergengsi sekaligus, yakni juara copa dan liga, aku justru melihat betapa kurang paripurnanya kebahagiaan itu karena Sriwijaya FC - klub yang memulai debutnya di Divisi Utama tahun 2005 - tersebut tak dapat tampil di Piala Champion Asia 2008 lantaran persoalan demi persoalan yang terjadi di PSSI - lembaga yang Anda pimpin - tak sejalan dengan kebijakan federasi sepakbola Asia, AFC.

Final kemarin pun tak disaksikan kedua suporter. Ini buntut dari tewasnya Fathul Mulyadin, supoter Persija Jakarta yang dianiaya sekelompok pemuda yang marah yang memakai kostum Persipura Jayapura di Pintu I Senayan, Jakarta Pusat, 6 Februari silam. Kematian Fathul, Pak Nurdin, kian mempertegas wajah sepakbola kita yang amburadul.

Final juga meninggalkan kesedihan di hati saya, entah bagi Anda. Pertama, empat gol yang tercipta tak satupun dilesakkan pemain lokal. Satu James Koko dan Keith Kayamba Gums serta dua gol Zah Rahan. Kedua, striker import Persik Kediri, Christian Gonzales terpilih sebagai topskor, menyingkirkan pemain lokal. Dan ketiga, Zah Rahan dinobatkan sebagai pemain terbaik. Menurut Herdimen Koto - wartawan sekaligus komentator sepakbola nasional - Rahan merupakan pemain asing pertama yang mendapat penghargaan bergengsi itu sejak Liga Indonesia digelendingkan tahun 1994. Artinya, sebelum Rahan, pemain terbaik selalu disabet pemain lokal.

Ihwal sepakbola nasional kini, apa sebenarnya yang pantas kita banggakan, Pak Nurdin? Tak ada. Apa sebenarnya yang kita cari? Tak ada. Kalaupun ada, itu semua semu. Ibarat orang bercinta, kita dapat tubuhnya tapi hatinya tidak.

Pak Nurdin, juara copa dan liga kita (maaf, kalau saya agak berlebihan), tak jauh beda dengan cerita film Born on the Fourth of July. Di film ini – film yang diproduksi tahun 1989 – tersebutlah seorang pemuda bernama Ron Kovic. Kovic, yang diperankan oleh Tom Cruise, berasal dari udik yang jauh dari ingar bingar kota , Massapequa, Long Island . Saat itu, di tahun 1960-an hingga 1970-an, Amerika Serikat tengah berperang dengan dirinya sendiri: Vietnam . Ribuan orang Amerika mati atau dimatikan.

Kovic, dengan semangat nasionalisme tinggi tentu saja, berangkat ke kancah perang. Dia bangga. Di sana , di negara yang jauh itu – yang sangat asing baginya -, Kovic terlibat perang terbuka dengan tentara Vietnam Utara, Vietkong. Kakinya tertembak. Dia lumpuh. Dan yang paling menyakitkan alat kelaminnya tak lagi berfungsi dan Kovic - pemuda nan gagah perkasa yang digandrungi banyak kembang desa itu - menjadi ‘penghuni’ kursi roda selamanya. Dia lalu dipulangkan ke kampungnya dan disambut dingin di sana sini. Demonstrasi anti perang berkecamuk. Kovic gelisah. Terpinggirkan. Dia marah, benar-benar marah.

Tapi Kovic toh harus realistis. Ketika Richard Nixon kembali mencalonkan diri sebagai Presiden AS , pada kampanye disuatu hari di tahun 1972, Kovic spontan bergabung dengan para demonstran, suatu sikap yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya. Kovic dengan kursi roda, ditemani beberapa veteran korban perang Vietnam yang juga cacat serta ratusan aktivis merangsek ke depan, menembus pagar betis Secret Service, tameng hidup Nixon yang berwajah kaku. Kovic dihadang. “Saya veteran perang vietnam ,” katanya seraya memegang medali tanda jasa. Namun dia tak digubris, diusir. Cekcok mulut pecah. Kovic murka, merasa dikhianati negaranya, negara yang pernah dia bela eksistensinya. “Pemerintahan ini merupakan sekumpulan orang-orang yang korupsi. Hentikan perang,” teriaknya, berkali-kali.

Film ini, Pak Nurdin, memang tak melulu soal Kovic yang frustasi. Di akhir cerita, sutradara Oliver Stone – seperti kebanyakan film Hollywood lainnya – berpihak kepada Kovic : Dia kemudian menjadi penulis buku dan orator ulung anti perang. Namun, dia kehilangan segalanya.

Kovic tak sendiri. Steven Spielberg lewat film Memoirs of Geisha juga menyuguhkan kegelisahan yang sama. Chiyo - gadis kecil dari tepi pantai - yang diperankan dengan apik oleh Suzuka Ohgo dipaksa berangkat ke sebuah wilayah yang jauh, di mana identitas menjadi persoalan yang tak berujung jawab : Geisha. Sebab, Geisha, bukanlah seorang pelacur bukan pula seorang istri.

Berkatalah Chiyo

...Ibu mengatakan aku seperti air. Air bisa mengukir jalannya, bahkan menembus batu. Dan ketika air terjebak, air membuat jalan baru...

Adakah jalan baru itu? Ada , walau tak menentramkan. Chiyo kecil tumbuh menjadi remaja ranum : Nitta Sayuri. Sayuri yang juga diperankan dengan ciamik oleh Ziyi Zhang akhirnya menemui takdirnya, menjadi seorang Geisha, lewat sebuah proses yang ‘berdarah-darah’. Dia bangga sekaligus gelisah. Dia tersenyum sekaligus getir.

Pak Nurdin, apa yang terjadi di sepakbola kita setamsil bencana alam yang datang bertubi-tubi. Ironisnya, kita tak pernah kontemplasi bahwa benca itu merupakan isyarat kalau kita sebenarnya telah jauh melangkah dari rel. Sayang, kita tak peka. Sayang, kita tak berkaca.

FIFA, badan tertinggi sepakbola sejagad itu, terang-terangan meminta agar konco-konco Anda di Kantor PSSI di Senayan sana melakukan pemilahan ulang ketua umum PSSI. Dalam tempo tiga bulan, PSSI diminta menyusun statuta baru.

Disaat negara-negara jiran merapatkan barisan guna menghadapi event di Asia Tenggara atawa Asia , bahkan dunia kita masih saja berkutat dengan persoalan demi persoalan yang tak kunjung bertepi.

Ah, Pak Nurdin. Kapan kegelisahan ini tuntas...?

Tidak ada komentar: