Aku ini May, sebuah gunung berapi kecil yang kawahnya sudah tertutup. Andaikan aku mampu menulis sesuatu yang indah dan hebat, aku akan sembuh sama sekali. Andaikan aku bisa menjerit, kesehatanku akan pulih kembali.
Tapi apa boleh buat, Kahlil Gibran tak jua sembuh. Penyair cemerlang kelahiran Bisharri, Libanon, 6 Januari 1883 itu akhirnya menghembuskan napas terakhirnya pada suatu hari di tahun 1931 di kota New York, AS, dalam usia 48 tahun.
Seniman bohemian itu, seperti ditulis dalam biografinya berjudul Man and Poet oleh Suheil Bushrui dan Joe Jenkis, Gibran terkena penyakit sirosis hati dan tuberkulosisi di sebelah paru-parunya.
Kematian Gibran adalah sebuah keironisan, jika ditilik dari perspektif percintaan. Tulisan-tulisan Gibran menjadi inspirasi jutaan orang tentang cinta.
Hubungan asmaranya dengan May Ziadah - seorang sastrawati terkemuka Arab yang tinggal di Mesir – terjalin hanya lewat surat menyurat tanpa pernah bertemu muka sekali pun. Dan itu berlangsung selama 20 tahun!
Berjam-jam lamanya aku memikirkanmu, berbicara denganmu, berusaha menemukan rahasiamu, mencoba menguraikan rahasaia.
Dua puluha tahun bukanlah waktu yang singkat, tentu saja. Terlebih bagi mereka yang dibekap cinta. Kegetiran cinta Gibran – maaf kalau saya agak berlebihan – seumpama nasib sepak bola kita kini: amburadul. Kita tak lagi disegani, jangankan di level Asia , di Asia Tenggara saja kita sudah tak dipandang. Prestasi terbaik kita di Asia Tenggara tertoreh tahun 1991 dengan merebut medali emas. Sedangkan di Asia, tahun 1987. Saat itu, Ricky Yacobi dan kawan-kawan bertenger di peringkat empat Asian Games. Pascaitu, prestasi Indonesia terjun bebas.
Ini adalah sebuah keironisan, mengingat kita memiliki segalanya. Kita punya sumber daya manusia, dari Sabang hingga Merauke. Stadion-stadion yang cukup bagus yang terdapat di hampir seluruh provinsi. Dana yang melimpah. Sayang, semua ini tak didukung dengan kinerja baik pengurus-pengurus PSSI. Boro-boro mau meningkatkan prestasi, Nurdin Halid, Ketua Umum PSSI malah meringkuk di bui. Eksistensi PSSI era Nurdin Halid benar-benar minus, tak hanya di mata pecinta sepak bola nasional, tapi juga badan tertinggi sepak bola dunia, FIFA.
Apa sebenarnya yang kau cari, Nurdin? “Mimpi saya adalah membuat pemain-pemain muda Indonesia bisa bermain di klub eropa, sehingga Indonesia bisa maju ke pentas dunia 2014,” kata Nurdin Halid, dalam buku panduan Piala Asia 2007.
Mimpi memang mengasyikkan, tapi sekaligus menggelisahkan. Dengan kata lain, bila mimpi itu berbuah kenyataan tentulah mendatangkan kegirangan dan damai sejahtera yang meluap-luap. Akan tetapi, kalau gagal, betapa menyakitkan. Belum lagi mimpi terealisasi, Nurdin Halid malah masuk penjara. Bahkan, kursi yang ditinggalkannya jadi rebutan.
Mau ke mana sebenarnya sepak bola nasional kita? Pertanyaan sederhana namun butuh kontemplasi panjang guna menjawabnya. Semua pecinta sepak bola di Republik ini tentu ingin kedigdayaan tim Merah Putih beberapa tahun lalu kembali tercipta, bahkah mentas di Piala Dunia. Tapi, dengan kondisi seperti sekarang, dapatkah itu terwujud? Jawabnya tentu tidak. Kita harus realistis.
Dan ketika kenyataan menjelma menjadi jarak yang terbantahkan, May Ziadah pun melayangkan sepucuk surut buat Gibran: Surya tenggelam di bawah cakrawala nun jauh di sana, dan di sela awan-awan senja yang aneh bentuknya dan mempesona, muncullah sekunar bintang, Bintang Johar, Dewi Cinta. Dalam hati aku bertanya, apakah bintang ini juga dihuni oleh insane seperti kita yang saling mencinta dan memendam rindu…?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar