26 Juli 1953. Serangan ke Moncada Barrack, Santiago, Cuba, itu gagal total. Tadinya, serangan tersebut diharapkan dapat menyulut pemberontakan terhadap sang penguasa, Jenderal Fulgencio Batista. Batista dianggap telah melanggar UU 1970 dan menobatkan dirinya sebagai tiran, setelah berhasil mendongkel kekuasaan Presiden Carlos Prio Socarras.
Syahdan, Fidel Castro, aktor intelektual di balik serangan Moncada Barrack, ditangkap. Dia - melalui pengadilan yang berpihak kepada penguasa, tentu saja - dijatuhi hukuman 15 tahun penjara. Tentang ini, Castro berkata,”La historia meabsolvera”. Sejarah akan membebaskan aku!
Castro tak asal ucap. Benar saja. Tahun 1955 dia dibebaskan, berdasarkan amnesti. Penjara tak membuat nyali Castro ciut. Dia galang kebencian anti Batista. Dan berhasil. Desember 1958, El Commandante berhasil menggebug tentara Batista, lewat perjuangan berselimut elan yang tak putus-putus serta yel-yel patriotisme: Patri O Muerte Venceremos. Tanah Air atau Mati, Kita Pasti Menang.
Batista terjungkal, hengkang ke Dominika. Castro, ditemani Ernesto Che Guevara - sahabat seperjuangannya – masuk Havana dengan langkah kemenangan. Cuba, negara penghasil tebu, mendeklarasikan diri sebagai negara sosialis. Cuba berbenah. Pemerintahan revolusioner menasionalisasikan bank-bank swasta asing dan dalam negeri, termasuk 382 perusahaan industri raksasa dalam negeri.
Sesuatu yang asing tak melulu menggairahkan, memang. Dengan kata lain, dia dapat melemahkan. Bahkan menggerogoti. Tak hanya Castro yang alergi. Soekarno pun melakukan kebijakan itu. Soekarno pernah mengeluarkan UU Nomor 86/1958 tentang Nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing, termasuk di sektor pertambangan. Lalu UU No 44/1960 yang mempertegas pengelolaan minyak dalam kontrol negara, menyerahkan skema profit-sharing agreement (PSA) 60:40.
Haruskan yang asing dijauhi? Bisa ya, bisa bisa tidak. Tergantung untung rugi dan sikap pemerintah yang tengah berkuasa. Tatkala Malaysia mengeluarklan maklumat, bahwa pemain asing tak lagi diperbolehkan bermain di liga sepak bola domestik mulai musim mendatang, kita, di sini, tersentak. Negara serumpun itu, tak hanya mengagetkan kita ihwal Tenaga Kerja Indonesia (TKI) atawa klaim mereka tentang reog dan rendang, pun perairan Ambalat, tapi juga soal pemain sepak bola asing.
Berkatalah Khairy Jamaluddin, Wakil Feferasi Sepak Bola Malaysia,”Kehadiran pemain asing mematikan bakat pemain lokal. Pemain lokal jadi tak berkembang. Sebelum kian terpuruk, ini harus segera dihentikan”. Alasan lain, kata Jamaluddin, di samping untuk menyelamatkan keuangan negara, pemain asing menyusahkan klub-klub dalam segi finansial.
Indonesia, bagaimana? Sepak bola Indonesia merupakan ladang rezeki bagi puluhan pemain asing, sejak Liga Indonesia digelindingkan tahun 1994. Boleh dibilang, hampir semua klub Divisi Utama memiliki legiun asing. Beberapa di antara mereka mengantongi gaji lebih besar dari pemain lokal. Perlakuan klub terhadap mereka juga lebih mencolok. Soal kualitas, pemain lokal tak kalah, sebenarnya. Tapi apa mau dikata. Kita toh telah terlena dengan sesuatu yang import.
Padahal, kalau mau jujur, made in lokal tak kalah hebat. Castro pernah menelepon seorang perempuan Cuba yang telah menjadi warga negara Prancis. “Apa komentar Anda tentang camembert (keju model Prancis) yang dibuat di Cuba?”. Si perempuan menjawab sumir,”Terlalu asin”. Dua bulan kemudian, El Commandante kembali menelepon si perempuan. “Wah, Anda salah. Saya sudah mendatangkan keju buatan Prancis. Ternyata lebih asin dari keju buatan Cuba”.
Bagaimana, Pak Nurdin Halid?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar