Copa Dji Sam Soe 2008 digulirkan di tengah keprihatinan, juga segepok harapan. Lebih kurang 52 klub di seluruh Tanah Air bertarung, berikhtiar menjadi yang terbaik. Tema yang diusung tak main-main: Indonesia Satu. Tentang ini, berkatalah Stephanus Kurniadi, Brand Manager Dji Sam Soe," Copa Dji Sam Soe sebagai salah satu upaya pemersatu bangsa".
Tak ada yang salah dengan kalimat Stephanus Kurniadi. Tapi bisakah? Kita toh jago dalam menghapal, namun jeblok dalam tindakan. Kita ingat kerusahan demi kerusuhan yang terjadi, sambung menyambung tak kunjung usai. Caci maki antar suporter: Kebencian disemai sedemikan rupa. Darah tumpah, nyawa melayang.
Indonesia Satu, jika kita mengedepankan semangat egaliter, adalah suatu kesatuan yang utuh. Tak melihat suku, ras, terlebih keyakinanan. Kita ingat anak-anak muda tahun 1920-an. Jong Java, Jong Sumatera, Jong Bataks, Perkumpulan Kaoem Betawi, Sekar Roekoen Sunda, Jong Jelebes, dan Jong Ambon melebur dan kemudian memproklamirkan Sumpah Pemuda yang menggetarkan itu, 28 Oktober 1928.
Tak hanya sekadar jargon. Bung Hatta, di depan hakim-hakim pengadilan Den Haag 1928, dalam pledoi berjudul Indonesia Vrij mengutip pujangga Belgia Rene de Clercq:
Er is maar een land
dat mijn land kan zijn,
Het groeit met de daad,
En die daad is mijn.
Hanya ada satu negara,
yang menjadi negaraku
Ia tumbuh dengan perbuatan,
dan perbuatan itu perbuatanku.
Dari waktu ke waktu, makna persatuan kian hambar. Yang ada hanyalah komunitas-komunitas dengan uniform yang melahirkan sekat. Kita pun telah terbiasa dengan kata 'kami' atawa 'kalian'. Dari sini lalu muncul keakuan, fanatisme, serta reaksi yang cenderung negatif yang emoh menerima kenyataan. Dengan kata lain, kita kian alergi terhadap persatuan, di mana semua kepentingan kelompok serta pribadi disalibkan.
Copa Dji Sam Soe, jelas, bukan sekadar pesta sepak bola terakbar di Indonesia. Ini juga bukan soal uang Rp 7,67 miliar, Bung! Ini tentang nation yang kehilangan 'roh' nasionalismenya. "Manusia tak hanya hidup dari roti saja," bentak Yesus kepada kaum hipokrit Jahudi, beratus-ratus abad lampau. Uang dan roti merupakan perkara sekunder. Yang terpenting, bagaimana Indonesia Satu dapat segera terwujud. Bukanlah suatu kebetulan jika tema Copa kali ini bertajuk Indonesia Satu. Ini mengingatkan kita semua bahwa ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang hilang itu yakni suara hati. Suara hati sebagai satu bangsa.
Tatkala suara hati hilang, kita tak cuma berbenturan dengan konfikl, melainkan juga susah untuk berpikir cerdas. Syahdan, kita ingat Buddha Gotama. Kata Gotama, sengketa dan konflik timbul dari pandangan yang sempit. "Terikat pada pandangan sempit, orang jadi begitu kusut sehingga tak lagi mengijinkan terbukanya pintu kebenaran".
Bagaimana caranya menjadi satu? Kita mungkin bisa memetik elan kerinduan pemuda-pemuda Indonesia tahun 1920-an tentang Indonesia Satu yang terekam dalam puisi Sanusi Pane:
O, balam tawanan, lihat burung di puncak kayu
Bunyinya riang, berlompat-lompat bersuka diri
Kebebasan jiwa, kelepasan badan, itulah cita
Sabtu, November 08, 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar