Sabtu, Maret 07, 2009

Stigma Ti Pat-kay

Dalam buku Petualangan Kera Sakti karya Wu Cheng-en, tersebutlah seorang tokoh bernama Ti Pat-kay. Dia orang penting di Istana Langit. Jabatannya Marsekal Pasukan Langit. Suatu hari, Ibu Suri merayakan pesta ulang tahunnya secara akbar. Semua petinggi, termasuk para dewa diundang. Di akhir acara semua undangan mabuk, tak terkecuali Pat-kay.

Dengan kondisi mabuk, Pat-kay masuk ke Istana Dewi Rembulan. Menatap kecantikan Dewi Rembulan, Pat-kay gelap mata. Dia menghampiri Dewi Rembulan dan berusaha menggerayanginya. Usaha Pat-kay gagal, sebab Dewi Rembulan lebih dulu mengambil langkah seribu. Pat-kay jengkel bukan main. Tapi apa mau dikata, dia hanya bisa mengelus dada. Pelecehan seksual ini jadi buah bibir. Kaisar Langit murka, merasa dilecehkan anak buahnya sendiri. Hukum harus ditegakkan. Jika tidak, maka akan jadi preseden buruk. Singkat cerita, Pat-kay ditangkap dan dibuang ke bumi, tepatnya di kandang babi. Dia kemudian lahir dengan Wujud manusia berkepala babi.

Pat-kay masygul. Beruntung, Dewi Kasih berempati. Pat-kay diberi kesempatan untuk menebus dosa. Caranya? "Kau akan menjadi murid Pendeta Guru yang akan berziarah mencari Kitab Suci Kehidupan ke Barat," kata Dewi Kasih. Pat-kay tak menampik. Sejak saat itu namanya bukan lagi Pat-kay, melainkan Sang Babi.

Sang Babi kemudian melakoni tugasnya sebagai murid.

Bersama Kera Sakti (Sun Go Kong) dan Pendeta Pasir (Sah-ceng), mereka mengawal Pendeta Guru mencari Kitab Suci Kehidupan. Seperti Kera Sakti dan Pendeta Pasir, Sang Babi tentulah bukan murid sembarangan. Dia sakti, kendati tak sesakti kera. Walau gemuk, dia tetap lincah memainkan jurus-jurus bela diri. Mampu mengubah bentuk sebanyak 36 wujud. Namun, soal mempermainkan wanita, dia tak pernah kapok. Sifat buruknya ini bahkan sampai melupakan tugasnya. Selain itu, Sang Babi pun gampang patah semangat. Sering kabur tatkala berhadapan dengan kesukaran. Dengan kata lain, dia bukan petarung sejati.

Sikap teledornya tak hanya mengantarkan dirinya kepada bahaya, melainkan juga terhadap Pendeta Guru, Kera Sakti, juga Pendeta Pasir. Dia tak bisa mengendalikan diri dan acapkali memaksakan kehendak tanpa memikirkan risikonya. Untuk memuaskan napsu duniawinya, dia tak segan-segan menghasut Pendeta Guru.

Kita tak tahu persis mengapa Cheng-en menggambarkan Sang Babi seperti itu. Kenapa Sang Babi tak laksana Kera Sakti yang, di samping menguasai semua ilmu bela diri, juga memiliki kesetiaan yang kokoh kendati dalam situasi sulit sekalipun. Atau seperti Pendeta Pasir, walau tak selalu menang bertarung melawan musuh, namun patuh terhadap Pendeta Guru dan Kera Sakti sebagai kakak tertua. Kita toh harus berterima kasih terhadap Cheng-en. Lewat Sang Babi, kita diingatkan bahwa ketakjernihan hati - apalagi ketamakan - pasti menimbulkan kesengsaraan.

Simaklah misalnya dalam episode 12 Bukit Macan Putih.

Setelah melewati perjalanan panjang nan meletihkan, Pendeta Guru berserta ketiga muridnya sampai di suatu daerah. Daerah tersebut bernama Bukit Macan Putih. Medan begitu berat, jalan terjal terhampar di depan mata. Perjalanan yang benar-benar menguras tenaga. Lapar dan dahaga menerpa. Pendeta Guru menyuruh Kera Sakti mencari makanan.

"Guru, di manakah aku bisa mencari makanan bila di sini tak ada kehidupan," kata Kera Sakti.

"Pasti ada seseorang yang tinggal di daerah ini," ujar Pendeta Guru. Sang Babi menimpali, mereka harus mengisi perut dulu. Jika tidak, jalan terjal tak akan mungkin bisa dilalui. Kera Sakti terpojok. Dengan kesaktiannya, dia lalu terbang ke awan dan mengamati ke adaan dari ketinggian. Sejauh mata memandang, dia tak menemukan tanda-tanda kehidupan. Dia memutuskan untuk pulang ketempatnya semula.

Begitu sampai dia merasa kaget. Seorang nenek tua berada di antara Pendeta Guru, Sang Babi, dan Pendeta Pasir. Si nenek tua membawa makanan serta minuman. Kera Sakti curiga. Intusinya mengatakan, nenek tua bukanlah manusia melainkan siluman. Tanpa banyak cerita, Kera Sakti langsung menyerang si nenek tua. Pendeta Guru mencegah dan menasihati agar muridnya itu jangan bertindak gegabah.

"Mundurlah guru. Jangan memperlakukannya baik-baik. Sebenarnya dia adalah siluman yang siap memangsa Anda". Pendeta Guru sama sekali tak mengubris. Dia malah membentak agar Kera Sakti bersikap sopan. Bukannya mundur, Kera Sakti malah melayangkan tongkat saktinya ke arah si nenek tua. Si nenek tua spontan melayang ke udara. Kera Sakti benar, si nenak tua merupakan Raja Siluman Tulang Putih. Sayang, guru, Sang Babi, dan Pendeta Pasir tak menyadarinya. Mereka telah tertipu dengan penampilan serta kebaikan.

Menyikapi tindakan murdinya, emosi Pendeta Guru kian membara. Keduanya terlibat adu argumen. Pendeta Guru menuding Kera Sakti telah melakukan pembunuhan. Sementara, Kera Sakti tetap pada keyakinannya kalau si nenek tua adalah siluman.

Cekcok mulut ini sebenarnya bisa diselesaikan baik-baik, jika sekiranya Sang Babi berpikir jernih. Sayang, dia malah menghasut Pendeta Guru agar menghukum Kera Sakti. "Kera Sakti sudah melakukan pembunuhan. Anda sebaiknya membaca mantra, sebagai hukuman terhadap Kera Sakti". Sang Babi sukses memprovokasi gurunya. Pendeta Guru membaca mantra. Kera Sakti mengerang kesakitan. "Hentikan guru, hentikan". Tak tega, Pendeta Guru menghentikan komat-kamitnya.

Si nenek tua yang merasa jengkel kedoknya diketahui Kera Sakti sekali lagi melakukan penyamaran. Namun apa boleh buat, Kera Sakti tak gampang dikibuli. Atas nama kesetiannya terhadap gurunya, Kera Sakti akhirnya mampu meyakinkan Pendeta Guru kalau si nenek tua adalah siluman.

Perjalanan menuju ke Barat kembali dilanjutkan. Dan kita tahu, Sang Babi selalu saja teledor. Dia tak pernah belajar dari sejarah. Tak menjadikan pengalaman sebagai guru terbaik.

(Ti Pat-kay, adakah dia di sekitar Anda?)

1 komentar:

Sebuah Risalah mengatakan...

Bang, aku juga punya blog. namanya Sebuah Risalah. Di ferrildennys.blogspit.com