Rabu, Juli 01, 2009

Stadion Gelora Sriwijaya Palembang, 28 Juni 2009

Seorang teman memberitakan dari Stadion Gelora Sriwijaya Palembang: Persipura Jayapura emoh meneruskan pertandingan. Sriwijaya FC dinobatkan sebagai juara Copa Dji Sam Soe untuk yang kedua kalinya.

Saya tak kaget dan melanjutkan membaca buku The Mafia's Greatest Hits karya David H Jacobs yang saya beli di Pesta Buku Jakarta 2009 di Istora Senayan Jakarta, sehari sebelumnya.

......

Pembunuhan itu berlangsung apik dan tanpa jejak. Tak seorangpun yang mengetahui siapa pelakunya, bahkan polisi. Yang tinggal hanya tanda tanya, juga purbasangka yang tak berujung. Semua berlangsung sangat cepat, di sore hari 11 Mei 1920. Jim Colosimo mafia kelas kakap asal Calabria, Italia, yang mengendalikan prostitusi di Chicago, AS, melangkah enteng ke Colosimo's Cafe di South Wabash Avenue. Di tempat favoritnya itu, seseorang ingin bertemu dengannya. Colosimo - yang beken dengan nama Big Jim - yang mengawali karier dunia hitamnya sebagai penyapu jalanan mengiyakan dan menanti dengan setia. Dia sama sekali tak menyimpan kecurigaan. Ini adalah istananya, dimana pengawal bersenjata api wara wiri di setiap pojok.

Tamu tak jua datang. Sementara jarum jam di tangan terus berdetak, bergerak. Kepada pengawal dia tak menyebutkan siapa tamunya. Yang pasti, ada seseorang yang ingin menemuinya sore itu. Baru selangkah dia melangkah ke pintu luar, seseorang melepaskan tembakan: DOR-DOR-DOR. Sebutir peluru menembus kepalanya, peluru lain meleset. Big Jim tersungkur, terkapar, lalu meregang nyawa. Darah mafianya mengalir, membasahi ubin. Para pengawal berhamburan, panik. Sementara si pembunuh hilang bak angin. Kapan datang, kapan perginya, tak satupun yang tahu.

Siapa yang membunuh Big Jim? Siapa pula yang memerintahkannya? Tak ada jawaban. Polisi kehilangan jejak. Yang mereka tahu pembunuhan itu berlangsung mulus, begitu elementer. Pelaku tak hanya menguasai situasi dan kondisi, tapi juga medan.

Dalam dunia mafia, segala sesuatu bisa terjadi. Seperti politik, semua berjalan tanpa kepastian. Dengan kata lain, tak ada kawan atawa lawan abadi. Yang ada hanya kepentingan. Dan untuk menggaet kepentingan, segala sesuatu tak lagi tabu. Semua dikorbankan, juga nurani.

Tahukan Anda cerita tentang pembunuhan Yohanes Pembabtis? Herodes Antipas, kaki tangan Kekaisaran Romawi di Galilea dan Perea, Israel, beberapa abad silam memenggal kepala Yohanes dan menaruhnya di atas talam. Penyebabnya, Yohanes menegur Herodes lantaran mengawini Herodias, istri Filipus yang masih saudara dekat dengan Herodes. "Tak halal engkau mengambil Herodias!," kata Yohanes. Herodes geram. Dia ingin membunuh Yohanes, tapi takut karena di mata orang Yahudi Yohanes adalah seorang nabi.

Pucuk dinanti ulam tiba. Herodes ulang tahun. Anak perempuan Herodias menari, meliuk-liuk, berputar-putar bak ular. Herodes senang dan berjanji akan memberikan apa saja yang diminta sang penari. Setelah dihasut Herodias, berkatalah anak perempuan itu: "Berikanlah kepadaku kepala Yohanes dan taruh di atas talam ini".

Herodes kaget.

Dia memang ingin membunuh Yohanes, namun bukan dengan cara seperti itu. Tapi apa boleh buat, nurani tersumbat. Herodes - yang dijuluki Yesus "si serigala itu" - kemudian memerintahkan algojonya untuk segera melakukan eksekusi. Tak lama, kepala Yohanes putus. Kepala yang berlumuran darah itu, yang berada di atas talam, diberikan kepada Herodias. Herodias senang, Herodes tenang.

Ketika Big Jim mangkat, mafia tetap hidup. Johny Torrio naik takhta. Bersama Al Capone, tangan kanannya, mereka menguasai apa yang ingin mereka kuasai. Torrio mati, Al Capone juga. Generasi yang satu pergi, generasi baru menggantikan. Tak ada yang berubah. Mafia tetap jaya, bahkan lebih halus, lebih santun. Kita dikepung, benar-benar dikepung. Terjepit!

Setamsil film, kita terus berharap sang mesias segera datang dan menyudahi keangkaramurkaan. Apa daya, hidup toh bukan film, dimana kekejian selalu kalah di akhir cerita - meski sang jagoan harus berdarah-darah terlebih dahulu.

Tak ada yang perlu ditunggu, sebenarnya.

Dalam novel KEBANGKITAN karya Leo Tolstoi - sastrawan cemerlang Rusia yang mangkat tahun 1910 - tokoh Nekhlyudov coba menawarkan solusi. Nekhlyudov menyimpulkan bahwa ketertiban pada umumnya bukan disebabkan oleh adanya penjahat-penjahat yang sah menurut hukum dan kerjanya mengadili dan menghukum orang lain, melainkan karena manusia pada dasarnya saling mengasihi dan mencintai, sekalipun jiwa mereka sudah rusak.

Ketika nurani nyaris dilumat kemunafikan, Nekhlyudov sontak insyaf. Berkatalah dia," Akan kurobek-robek kebohongan yang menjerat diriku betapapun susahnya. Dan kepada semua orang kunyatakan kebenaran".

......

(Menangiskah kita untuk final Copa Dji Sam Soe itu?)

Tidak ada komentar: