Minggu, Desember 21, 2008

Le Mythe de Sisype

Tim nasional sepak bola kita yang bertarung di Suzuki AFF Cup 2008 bukanlah Sisipus dalam mitologi Yunani yang ditulis oleh Albert Camus lewat esai besarnya, Le Mythe de Sisype.

Camus - sastrawan Prancis kelahiran Aljazair 7 November 1913 dan mangkat 5 Januari 1961 - menceritakan seorang hamba bernama Sisipus. Oleh karena satu hal, Sisipus dikutuk para dewa. Sisipus dihukum dengan cara mengangkat batu besar ke puncak gunung. Setelah sampai ke puncak, dia harus menggelindingkan batu tersebut ke bawah kaki gunung lalu mengangkatnya lagi ke puncak. Begitulah seterusnya. Le Mythe de Sisype, yang ditulis Camus tahun 1942 menyimpulkan bahwa kehidupan adalah absurd. Kesia-siaan yang permanen.

Camus, yang menolak eksistensi Tuhan, seperti halnya Nietzsche, sah-sah saja punya kesimpulan seperti itu. Tapi tak semua mengaminkan Camus. Tatkala Charis Yulianto dan kawan-kawan kalah 1-2 dari Thailand sekaligus menguburkan mimpi Merah-Putih bertarung di partai puncak, tim kita bukanlah Sisipus yang hanya mendulang kesia-siaan. Memang, kegagalan Charis Yulianto dkk kian memperpanjang rekor tak sedap sepak bola kita di kawasan Asia Tenggara. Sejak AFF Cup digulirkan tahun 1996, Indonesia belum sekalipun merengkuh juara. Di kawasan Asia, terlebih dunia, kita pun dipandang sebelah mata.
Kita tahu, Charis Yulianto dkk telah mengerahkan semua yang mereka punya: elan, tenaga, juga pikiran. Tapi apa boleh buat, masih jauh panggang dari api. Namun, ada baiknya kita mengacungkan dua jempol tangan buat mereka. Kita ingat Mohandas Karamchand Gandhi, Bapak Negara India. Berkatalah Gandhi,"Kepuasan terletak kepada usaha, bukan hasil. Usaha dengan keras adalah kemenangan yang hakiki".

Kegagalan adalah sukses yang tertunda. Demikian kata orang-orangt bijak. Kegagalan mengajari kita agar lebih arif, rendah hati, serta tak takut terhadap rintangan, sebesar apapun itu. "Bukan kekuasaan yang merusak akhlak, tetapi rasa takut," kata pejuang Demokrasi Burma, Aung San Suu Kyi.

Siapa yang takut, baiklah dia menelaah kembali novel klasik Petualangan Kera Sakti karya Wu Cheng-en (1500-1582). Novel ini diilhami dari perjalanan Pendeta Guru Tong Hian-cong ke India guna mencari Kitab Suci Kehidupan. Cong hidup semasa Dinasti Tang (618-907). Cong minta restu Tang, tapi ditampik. Karena tak dapat restu, teman-temannya kemudian meilih mundur. Cong tak patah semangat. Sendiri dia ke India, 17 tahun lamanya. Dia berhasil dan membawa pulang enam ratus lebih jilid Kitab Suci Budha. Dia juga mempelajari bahasa Sansekerta serta menterjemahkan Kitab Suci ke bahasa China. Cong punya andil besar dalam penyebaran agama Budha di China.

Atau, masih ingatkah kita ihwal elan yang dipertontonkan Theodre Roosevelt, Presiden Amerika Serikat ke 26 itu? Roosevelt lahir 27 Oktober 1858. Di masa kecilnya, anak dari pasangan keluarga petani kaya New York ini mengidap penyakit kelainan mata. Kesehatannnya juga buruk. Roosevelt kehilangan keceriaan. Dia tidak bisa mengikuti pendidikan di sekolah dan bermain-main seperti anak normal.

Menyerahkah dia? Tidak! "Aku akan melatih tubuhku sampai menjadi sekuat sorang atlet," katanya. Dengan kondisi keterbatasan, dia membesut otot-ototnya. Dia tumbuh sehat. Kuat. Ia lalu pergi ke barat dan menjadi peternak. Di tempat barunya itu, Roosevelt yang punya nama kecil Teddy, tumbuh menjadi pria dewasa yang punya karisma. Dia juga seorang pekerja keras dan memiliki semangat egaliter. Tak heran jika dia begitu dihormati oleh para peternak lainnya.

Amerika kala itu berada dalam cengkraman Spanyol. Nasionalisme Teddy tumbuh, begitu pula peternak lainnya. Mereka kemudian membentuk resimen kavaleri. Teddy dinobatkan sebagai komandan. Resimen itu terkenal dengan nama 'Penunggang kuda yang gagah berani'. Perang Amerika-Spanyol pecah. Teddy dan pasukannya tak kenal menyerah. Meraka terus merangsek ke depan, tanpa gentar sedikit pun. 17 Juli 1898, Spanyol menyerah. Kuba, Filipina, Puerto Rico, dan Guam yang berada di bawah kekuasaan Spanyol kemudian diserahkan kepada Amerika.

Bercermin kepada Gandhi, Cong, maupun Teddy, kita bukanlah Sisipus dalam esai Le Mythe de Sisype.

Terima kasih, tim Merah-Putih.