Kamis, Februari 19, 2009

Dasamuka dan Kita

Lumayan lama tak bertemu, seorang sahabat menyambut saya dengan segelas kopi susu hangat dan sebuah buku. Judul buku itu Berpihak Kepada Rakyat karya Satyagraha Hoerip. Buku yang dicetak tahun 1996 ini merupakan kumpulan tulisan pendek Hoerip tentang banyak hal.

"Buku ini aku kasih sama kau. Semoga bermanfaat," kata sahabat saya, Erlangga Satya Wardana yang tak lain adalah putra bungsu Hoerip. Erlangga teman kuliah, sekaligus sahabat saya. Setamat kuliah, dia sempat 'mondok' hampir tiga tahun di Amerika Serikat sebelum akhirnya kembali ke Indonesia. Aneh, Erlangga tak sedikit pun mewarisi talenta bapaknya.

Hoerip orang hebat - setidaknya buat saya. Dia lahir di Lamongan, Jawa Timur, 7 April 1943. Hoerip, menurut saya, seorang yang komplet. Dia jurnalis jempolan, pernah bekerja di Koran mingguan Minggu (Yogyakarta), Penerbit Ganaco (Bandung), Harian Kami (1966-1967), Harian Sinar Harapan (1967-1980), Penerbit Sinar Harapan (1980-1984) dan majalah Swasembada (1985-1986). Selain seorang jurnalis, Hoerip juga penulis ulung. Dia tak hanya menulis puluhan cerita pendek, tapi juga novel. Karyanya mendapat pujian dari Majalah sastra Horison, juga diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Belanda, pun Prancis. Dia menulis skenario film Palupi (1970) yang disutradari oleh Asrul Sani serta film Di Antara Dua Dunia (1980) yang disutradarai Teguh Karya. Dia beberapa kali diundang ke luar negeri, apalagi kalau bukan urusan sastra.

Hoerip mangkat 14 Oktober, sepuluh tahun silam. Saya hadir kala itu.

Sebelum membaca tulisan demi tulisan, Hoerip terlebih dulu menyapa saya dengan menukil kata-kata Albert Camus: Kemerdekaan penting bagi setiap bangsa, juga keadilan.

Ada 80 tulisan pendek Hoerip. Dari semua itu, satu yang saya suka tulisan bertajuk HIDUP MENEROBOS ABAD DEPAN. Tulisan ini ditulis tatkala HUT ke-50 RI, 1995.

Sepenggal tulisan Hoerip.

...semua orang Indonesia kelak jangan hanya akrab dengan high technology, high productivity maupun high efficiency dan high profit melulu.
Sebaliknya, mereka harus tetap tegar pada high morality. Syukur diikuti high solidarity. Sepanjang hayat dengan ikhlas mengabdi rakyat.
Yang konstan didanai sehingga bermiliar rupiah ialah Penghayatan/Pengalaman Pancasila. Tapi aneh, ikut berlahiran di mana-mana adalah Dasamuka...

Mengenai Dasamuka, Hoerip tak membeberkan secara gamblang.

Namun, siapa yang tak mengenal Dasamuka? Dia gambaran keserakahan, kelicikan, keangkuhan, playboy sonder nurani. Dia biang kerok. Dalam mitologi Hindu, Ramayana, Dasamuka merupakan nama lain Rahwana, Raja Alengka, negara para raksasa. Disebut Dasamuka, karena dia memiliki 10 wajah. Kesaktiannya luar biasa. Dia memiliki Aji Rawarontek dari Prabu Danaraja dan Aji Pancasona dari Resi Subali.

Putra pasangan Resi Wisrawa-Dewi Sukesi ini juga kesohor soal urusan syahwat. Istrinya banyak, hilir mudik di istananya. Perang Ramayana, seperti halnya perang Troya, pecah lantaran seorang perempuan: Sita. Sita merupakan istri Rama, putra Raja Dasarata dari Ayodhya.

Perang sebenarnya tak perlu terjadi, jika saja Dasamuka mau mendengarkan nasihat adiknya, Kumbakarna. "Sudahlah kakanda. Kembalikan Sita kepada Rama. Kita tak mungkin bisa mengalahkan titisan Batara Wisnu, sang pembela kebenaran".

Dasamuka emoh mengaminkan nasihat Kumbakarna. Apa boleh buat, Rama dan pasukannya menyambangi Alengka dengan marah menggumpal di dada. Pertempuran tak dapat dielakkan. Dasamuka akhirnya meregang nyawa, setelah panah Brahma Astra yang dilepaskan Rama menghunjam dada raksasa nan tegar tengkuk tersebut. Alengka takluk. Sita kembali ke pelukan Rama dan mereka kembali ke Ayodhya.

Dasamuka memang sudah mati. Tapi, 'Dasamuka' dalam wujud lain - jika kita mengacu kepada tulisan Hoerip - masih banyak berseliweran di lingkungan kita, di sekitar kita. Itulah sebabnya, Hoerip menyudahi tulisannya dengan pertanyaan, yang, menurut saya, semacam erangan: apakah itu lantaran kita rapuh iman? Lemah etika? Ataukah, produk tulen zaman edan?

Entahlah.

(Olahraga kita tak akan pernah maju, kalau begini. Hanya buang-buang waktu, juga duit)

Senin, Februari 09, 2009

Parodi Sufi

Lupakan soal rencana Indonesia yang ingin menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022. Tak ada yang perlu dikagetkan. Ini menjelang pemilu, Bung. Dan semua politisi berhak mengumbar mimpi. Kita toh telah terbiasa seperti itu, hadir di keseharian kita. Kita melihatnya secara transparan di media massa serta di sepanjang jalan: para calon legislatif - dengan foto diri tentu saja - masyuk mengumbar mimpi.

Lupakan para politisi, mari rileks sejenak dengan kisah-kisah lucu Nasrudin Affandi dalam Humor Sufi. Humor Sufi merupakan karangan Maulana Nasrudin. Di wilayah Uighur, Asia Tengah, namanya ditambah Affandi. Affandi bukan nama sembarangan. Nama ini menandakan ia seorang yang dihormati.

Sebagaimana cerita 1001 malam, Humor Sufi semacam satire yang sangat terkenal di planet bumi ini. Bahkan, di Iran dan Turki, Humor Sufi dijadikan sebagai bahan pelajaran di sekolah.

Inilah tiga dari sekian banyak satire Nasrudin.

Pada suatu hari, Nasrudin Affandi pergi ke pasar. Dia ingin menjual enam ekor keledainya. Hari begitu cerah, secerah hati Nasrudin yang sebentar lagi bakal mendapat uang banyak. Belum lama berjalan, Nasrudin merasa lelah dan segera menaiki seekor keledai. Pasar masih jauh. Keledai-keledai berjalan santai. Iseng-iseng dia menghitung keledainya.

Nasrudin kaget bukan kepalang. Soalnya, dia menghitung keledainya ada lima ekor. Nasrudin spontan melompat dari keledai yang dinaikinya. Dengan cermat, dia menghitung ulang. Dia merasa puas, karena keledainya berjumlah enam ekor. Nasrudin kembali menaiki keledainya, perlahan-lahan menuju pasar. Untuk kedua kali, Nasrudin menghitung binatang bawaanya. Dia lagi-lagi kaget bercampur bingung. "Kok, keledaiku hanya ada lima? Satu lagi ke mana?," gumamnya. Nasrudin turun dari punggung keledai kemudian menghitung.

Seorang rekan Nasrudin melintas di jalan yang sama.

"Dari rumah aku membawa enam ekor keledai. Keenamnya ingin kujual ke pasar. Dalam perjalanan aku menghitung. Waktu kuhitung kok jumlahnya berganti-ganti. Kadang enam, lantas lima, lalu enam, dan coba hitung ini: satu, dua, tiga, empat, lima..."

Teman Nasrudin kemudian berkata,"Bukankah yang satu lagi kau naiki, Nasrudin? Sebenarnya keledaimu bukan enam, tapi tujuh".

"Tujuh? Satu lagi mana?," tanya Nasrudin.

"Keledai yang ketujuh adalah kau!," jawab temannya.

Masih tentang Nasrudin.

Ketika Nasrudin masih muda, ibunya pergi ke suatu tempat dalam waktu yang tak terlalu lama. Sebelum pergi ia memberi pesan, "Nasrudin. Selama kau tinggal sendiri di rumah, jagalah pintu baik - baik. Jangan sampai ada orang masuk. Sekarang ini banyak sekali pencuri."

Meresponi wejangan sang ibu, Nasrudin lantas duduk dekat pintu. Tak lama berselang pamannya datang, hendak beranjangsana. Paman dan keponakan terlibat pembicaraan.

"Ibumu ada di rumah?"
"Tidak ada. Ibu pergi"
"Kalau begitu sampaikan kepada ibumu, petang nanti kami sekeluarga ingin bertemu dengannya. Tolong sampaikan agar ibumu jangan ke mana-mana"

Pamannya kemudian pergi. Nasrudin dilanda kebingungan. Di satu sisi, ibunya memerintahkan supaya dia menjaga pintu rumah baik-baik. Di sisi lain, pamannya minta tolong agar dia menyampaikan kepada ibunya kalau paman dan keluarga mau bertemu. Tanpa pikir panjang, Nasrudin segera membongkar pintu rumah. Pintu rumah itu dia pikul dan selanjutnya pergi menemui ibunya.

Humor Sufi Nasrudin Affandi tak melulu berakhir lucu yang membuat kita tertawa atau geleng-geleng kepala, tapi juga mengingatkan kita bahwa kekuasaan dan jabatan - jika digunakan untuk membodoh-bodohi rakyat - cepat atau lambat pasti runtuh. Tak percaya? Simaklah kisah Nasrudin di bawah ini.

Dalam pengembaraannya, Nasrudin singgah di ibukota kerajaan. Terbetik kabar, Nasrudin menguasai bahasa burung-burung. Kabar tersebut sampai ke telinga raja. Sang raja kemudian memanggil Nasrudin ke istananya yang megah.

Saat itu kebetulan ada seekor burung hantu yang sering berteriak di dekat istana. Bertanyalah raja pada Nasrudin, “Coba katakan, apa yang diucapkan burung hantu itu!”

Nasrudin menatap raja lalu berkata,"Burung hantu itu mengatakan, kalau raja tidak berhenti menyengsarakan rakyat, maka kerajaan baginda akan segera runtuh".

(Hehehe. Para penguasa, berhentilah menyengsarakan rakyat, karena 'burung hantu' ada di sekitar Anda)

Senin, Februari 02, 2009

Ambisi Gandari

Indonesia berniat menjadi tuan rumah Piala Dunia 2018 atau 2022. Saya tertawa lalu membaca kisah Perang Bharatayuddha.
--------------------------

Ambisi tanpa hati yang jernih selalu saja membawa petaka. Dan kita ingat satu nama dalam Mahabharata, Gandari. Gandari adalah sosok krusial Mahabharata, wiracarita Hindu yang kesohor itu. Perang Mahabharata sebenarnya tak perlu terjadi jika Gandari - puteri Subala, Raja Gandhara - tak haus kekuasaan.

Gandari merupakan istri Dretarastra, pangeran tertua kerajaan Kuru. Dia gagal menjadi raja lantaran buta sejak lahir. Dretarastra tak meratapi nasibnya. Dia tak menyalahi ibunya, Ambika. Beberapa saat sebelum lahir, Ambika dianjurkan untuk menemui Resi Byasa di ruangan khusus. Ambika tak kuat melihat wajah Resi Byasa yang memancarkan sinar terang benderang. Ambika menutup matanya. Dan Dretarastra pun terlahir buta. Sebagai bentuk pengorbanan terhadap suaminya, Gandarai sengaja menutup matanya hingga matahari terbenam.

Raja kemudian dijabat oleh adiknya, yakni Pandu yang dibantu oleh Widura. Pandu bukan raja sembarangan. Dia memiliki kesaktian yang luar biasa, di samping apik dalam hal memanah. Pada suatu hari, Pandu berburu ke hutan. Tanpa sengaja dia memanah rusa yang tengah bersenggama. Ternyata rusa tersebut jelmaan seorang resi. Sang resi kemudian mengutuk Pandu. "Jika kau bersetubuh dengan istrimu, maka kau pasti mati," kata sang resi.

Pandu bermuram durja. Kutukan itu sangat berat, mengingat sebagai raja dia harus punya ahli waris. Tak kuat menahan siksa, Pandu alienasi ke hutan. Ditemani istrinya, Kunti - puteri Raja Kuntibhoja dari Wangsa Wresni - dan Madri - puteri Raja Madra - Pandu melewati hari demi hari bak seorang pertapa. Sebelum melakoni takdir, jabatan raja dia serahkan kepada Dretarastra.

Gandari senang bukan main.

Sayang, Gandari belum punya anak. Dia mendatangi Byasa. Di hadapan resi sakti itu, Gandari memohon agar diberi anak. "Kau akan punya seratus anak," janji Byasa. Gandari pulang dengan riang. Dia berharap, kekuasaan yang ada di genggaman Dretarastra akan langgeng.

Namun, waktu melahirkan, Gandari bukannya melahirkan 100 anak melainkan segumpal daging. Untuk kedua kalinya Gandari bersujud di hadapan Byasa. Byasa kemudian membelah-belah daging tersebut menjadi seratus potong, dan dimasukkan ke dalam guci kemudian dikubur selama setahun. Setelah guci-guci digali kembali, dari setiap potongan daging itu kemudian tumbuh seorang anak, yang kemudian menjadi Korawa. Duryodana merupakan anak tertua. Bersama Dursasana, Duryodana adalah tokoh antagonis dalam Mahabharata.

Sementara, jauh di dalam hutan, Pandu hidup tersiksa. Dia memang dikarunia lima anak yang kelak disebut Pandawa. Hanya saja kelimanya bukan darah dagingnya melainkan pemberian para dewa. Kunti membaca mantra Adityahredaya. Dia memanggil tiga dewa, yaitu Yama, Bayu, dan Indra. Kepada masing-masing dewa ini, Kunti meminta satu orang anak. Ketiganya adalah Yudistira, Bima, serta Arjuna. Madri tak mau ketinggalan. Dia memanggil dewa Aswin. Aswin mengaminkan pinta Madri dengan memeberinya anak kembar, Nakula dan Sadewa.

Pandu hanya bisa menatap kedua istrinya tanpa bisa melepaskan birahi. Pandu kalah. Dia tak tahan bertarak. Dia menghampiri Madri. Sewaktu mencoba bersenggama, Pandu tewas. Kutukan sang resi ternyata bukan gertak sambal. Madri tak kuasa menahan duka. Dia menitipkan Nakula dan Sadewa kepada Kunti lalu membakar dirinya.

Tiba saatnya Dretarastra mengalihkan tampuk kekuasaan. Kepada siapa tongkat estafet akan dia berikan? Kepada Duryodana atau kepada Yudistira?

Sebagai seorang ayah, Dretarastra menginginkan Duryodana menjadi raja. Hanya saja, Dretarastra juga sadar bahwa Yudistiralah yang pantas mendapatkannya. Selain memang anak raja yang sah, Yudistira sosok yang tenang dan lebih dewasa. Sedangkan Duryodana mewarisi sifat ambisius ibunya.

Dretarastra benar-benar dilematis. Dia minta nasihat Bisma - kakek dari Korawa dan Pandawa. Bisma menyarankan agar kerajaan Kuru dibagi dua. Duryodana mendapat Hastinapura, sedangkan Yudistira diberikan wilayah yang kering, miskin, dan berpenduduk jarang, yang dikenal sebagai Kandawaprasta. Atas bantuan dari sepupu Yudistira, yaitu Kresna dan Baladewa, mereka mengubah daerah gersang tersebut menjadi makmur dan megah, dan dikenal sebagai Indraprastha.

Yudistira lalu dicalonkan sebagai Raja Hastinapura. Duryodana berang. Perang Bharatayuddha pun pecah. Kedua kubu saling baku bunuh selama 18 hari. Seratus anak Dretarastra dan Gandari meregang nyawa. Yudistira akhirnya menjadi raja. Setelah beberapa lama, Yudistira menyerahkan tampuk kekuasaannya kepada Parikesit, cucu Arjuna. Yudistira dan keempat adiknya, juga Dropadi - istri Pandawa - mendaki gunung Himalaya, mencari tujuan akhir: Surga.

(Hati-hati dengan ambisi, Bung)