Sabtu, April 18, 2009

Sembilan Belas April

Kita mengenang Soeratin tak hanya sebagai pendiri dan Ketua I PSSI, tapi juga seorang sepuh yang sakit-sakitan yang mati dalam kemiskinan akut, pada suatu hari di tahun 1959. Suratan akhir hidup Soeratin, benar-benar prihatin. Adik ipar Dr Soetomo -pendiri pergerakan Budi Utomo- itu bahkan tak mampu menebus obat. Rumahnya berukuran 4x6 meter di Jalan Lombok, Bandung, terbuat dari gedek.

Tak ada yang dia tinggalkan, kecuali sebuah elegi dan wejangan yang maknanya keruh buat kita kini: Selama PSSI menjadi bagian dari pergerakan Indonesia, seperti biasa mendapat rintangan di dalam perjalanannya. Rintangan itu macam-macam. Ada yang besar ada yang kecil.

Mundurkah Soeratin? Tidak. Dia terus bergerak, berbuat, mempertaruhkan segalanya.

Sabtu, 19 April 1930.

Soeratin, juga sekelompok pemuda dari VIJ (Voetbal Bond Indonesische Jakarta), BIVB (Bandoengsche Indonesische Voetbal Bond), PSM (Persatuan sepak bola Mataram Yogyakarta), VVB (Vortenlandsche Voetbal Bond Solo), MVB (Madioensche Voetbal Bond), IVBM (Indonesische Voetbal Bond Magelang), dan SIVB (Soerabajasche Indonesische Voetbal Bond), berkumpul di Gedung Handeproyo, Yogyakarta. Satu tekad, satu tujuan, satu pergumulan: PSSI diproklamirkan!

Di luar, tentara belanda lalu lalang dengan bedil di tangan.

Minggu, 19 April 2009.

Nurdin Halid dan kawan-kawan daerahnya berkumpul di Ancol, Jakarta. Kemudian beragam pertanyaanpun muncul: Satu tekad? Satu tujuan? Satu pergumulan? Entahlah...

Di luar, puluhan wartawan lalu lalang dengan pikiran yang bercabang.

--------
Tahun 2006 ada usulan agar Soeratin dianugrahi pahlawan nasional. Toh kita tak tahu kejelasannya sampai sekarang. Persoalannya bukan di situ. Sebab kita yakin, Soeratin tak butuh gelar pahlawan. Yang dia mau, melalui perjuangannya, lahir pahlawan-pahlawan sepakbola nasional. Timnas yang kokoh, PSSI yang berwibawa. Karena tanpa dianugrahi kata pahlawanpun, Soeratin toh sudah jadi pahlawan dalam makna yang sesungguhnya.

Apakah pahlawan itu?

Remy Silado, lewat Puisi Mbeling-nya berkata tentang pahlawan:

yang berjuang dulu
dan mati dalam perang
memang disebut pahlawan
(gambar pejuang tanpa pamrih)

yang berjuang dulu
tapi hidup senang sekarang
ingin juga disebut pahlawan
(gambar pejuang dengan pamrih)


-PSSI, selamat ulang tahun. Selamat merenung, jangan melamun!-

Sabtu, April 11, 2009

Menyoal Kumbakarna

Kita wajar mangkal terhadap sikap Kumbakarna, tapi juga tak harus mati konyol seperti dia. Kita tak tahu persis kenapa Kumbakarna seperti itu. Tapi, demikianlah adanya, seperti yang termaktub dalam wiracarita Ramayana. Satu tempo - saat Kerajaan Alengka belum jatuh ke tangan Rama - Kumbakarna dan kakaknya, Rahwana, melakukan tapa. Doa-doa dipanjatkan, berharap Dewa Brahma segera hadir.

Syahdan, Brahma muncul. "Apa yang kau minta, Rahwana?" Rahwana menjawab," Hamba ingin hidup abadi". Brahma menampik. "Jangan minta itu. Karena keabadian hanya milik para dewa". Sebagai gantinya, Brahma menjadikan Rahwana super sakti dari semua yang ada di surga. Juga terhadap naga, danawa, dan makhluk buas lainnya. Rahwana - si Dasamuka itu - punya resistansi terhadap gempuran musuh. Raja tiga dunia, langit, bumi, dan bawah tanah. Hanya saja dia menganggap remeh manusia dan tak memperhitungkannya sama sekali. Dan kita tahu, Rahwana tewas di tangan Rama, anak sulung Dasarata, Raja Kosala.

Kemudian Brahma melirik Kumbakarna lalu berkata, "Kau Kumbakarna, apa yang kau minta?" Saat hendak berkata, lidahnya dibelokkan oleh Dewi Saraswati -Dewi pengetahuan, kesenian, kebijaksanaan, dan inspirasi. "Hamba minta Nindrasan. Tidur abadi". Brahma tergelak. Permintaan Kumbakarna diluluskan.

Tidur abadi? Ya, tidur abadi. Permintaan Kumbakarna bukan tanpa sebab, tentu saja. Kumbakarna mahfum betul siapa Rahwana, Raja Alengka yang rakus kekuasaan, bengis, dan keras kepala. Memang, sejak merampas Alengka dari tangan Raja Kubera, penduduk tak ada yang kelaparan. Sandang pangan tercukupi. Bahkan, konon, orang yang paling miskin pun punya kendaraan dari emas. Buat Kumbakarna, semua itu tak ada artinya, jika Rahwana tak punya batasan puas. Kumbakarna sebenarnya sudah berkali-kali menasihati kakaknya itu. Tapi, anjing menggonggong kafilah tetap cuek. Dari pada pusing, mending tidur sekalian.

Mendengar permintaan Kumbakarna, Rahwana kontan bereaksi. Biar bagaimana pun, dia perlu bantuan Kumbakarna. Maka dia bujuk adiknya itu, supaya mengurungkan niatnya. Jengkel, Kumbakarna mencabut permohonannya. Brahma tak sudi. Rahwana dan Kumbakarna memohon. Brahma luluh juga, akhirnya. Namun, Brahma tak mungkin membatalkan anugrah yang sudah diberikan. Sebab dewa tak mungkin inkompatibilitas. Tidur baki dicabut. Gantinya, Kumbakarna tidur selama enam bulan, tak bangun-bangun. Enam bulan selanjutnya bangun, tak tidur-tidur. Terus begitu. Capek juga hidup seperti ini. Tidur, bangun. Begitu bangun dihadapkan dengan sosok yang tak disukai, yang hanya mau menang sendiri. Anti kritik, raja tengik.

Toh Kumbakarna tak bisa berbuat apa-apa. Dari luar dia kelihatan sangat digdaya. Pun begitu, dia kurang tegas terhadap kesemena-menaan kakaknya. Dia dituding sebagai tokoh kontroversial dalam ukuran moral. Dia sebenarnya bisa tegas terhadap Rahwana. Namun, dia tak melakukan itu. Dia patuh terhadap perintah Rahwana, kendati hatinya menjerit pilu. Itulah sebabnya, waktu hendak maju bertempur melawan Rama, ada dialog sedih antara Kumbakarna dan Wibisana. Wibisana merupakan adik Rahwana dan Kumbakarna yang memilih membelot kepada Rama.

"Maafkan aku kakanda, sebab adinda berpihak kepada musuh. Adinda melakukan ini lantaran kakanda Rahwana tak lagi mau mendengarkan nasihat kita. Kakanda Rahwana asyik masyuk dengan dirinya. Ampunilah aku kakanda. Bila kakanda ingin membunuhku, bunuhlah".

Kumbakarna terhenyak. Dadanya bergetar. Dia terharu. "Kau tidak salah, adinda. Kau benar, kebenaran harus ditegakkan, walau itu harus meninggalkan negara. Tapi aku tidak seperti kau adinda. Sepertimu, aku juga menasihati Kakanda Rahwana agar mengembalikan Sita kepada Rama , sebab tidak mungkin kita mengalahkan titisan Brahma, pembela kebenaran".

Jika kakanda sadar bahwa Rama tak mungkin kalah, kenapa kau tetap maju ke medan perang, Kumbakarna? "Asal kau tahu, Wibisana, aku maju melawan Rama bukan lantaran keinginan hati, tapi kewajibanku sebagai pahlawan Alengka".

Kita tahu, Kumbakarna maju tanpa takut. Dia membunuh banyak hanara, manusia berekor monyet dan melukai pahlawan pilihan Rama, Anggada, Sugriwa, Hanoman, serta Nila. Dia terus merangsek maju, sebelum akhirnya tewas di tangan Rama.

Wibisana menangis...

Indonesia dipenuhi "Rahwana", menohok di semua sisi. Para penguasa menari-nari di atas penderitaan rakyat. Obral janji. Berbuat sesuatu tanpa hati, yang ujung-ujungnya meninggikan diri. Tak tulus, bulus!

Lalu rakyat menatap "Kumbakarna", berharap melakukan sesuatu. Kumbakarna tak punya sikap, diam, membiarkan. Malah memilih tidur, acuh. Saat bangun, tetap diam, menyumbat nurani. Ironis, dia lebih memilih mati bersama gunjingan orang.

Tak ada yang menangis...

(Lembaga-lembaga di negara kita adalah "Kumbakarna" bertopeng. Jangan berharap banyak kepadanya)