Jumat, Juli 17, 2009

Marxisme dan Rooney

Surat itu ditulis dari pusat penjara Naini, 26 September 1933. Penulisnya Jawaharlal Nehru, Perdana Menteri India yang pertama. Sebelum India merdeka, 15 Agustus 1947, Nehru sang "Resolusi Avadi" sempat mendekam di bui lantaran sikap kritisnya terhadap Inggris.

Surat itu dia tujukan buat putrinya, Indira Priyadarshini yang masih berusia 16 tahun - Indira lahir 19 November 1917 dan mangkat 31 Oktober 1984.

Lewat surat berjudul Datangnja Mesin Besar, Nehru menulis:

Tetapi mesin besar dan segala perserikatannja tidaklah semuanja melimpahkan karunia. Kalau mesin telah mendorong tumbuhnja peradaban, mesin djuga telah mendorong timbulnja kebiadaban oleh karena dihasilkannja djuga sendjata2 dahsjat peperangan dan pembinasaan. Demikian djuga kalau mesin telah menghasilkan limpahan karunia, maka karunia ini semata2 teruntuk bagi beberapa orang sadja, dan bukan untuk chalajak ramai. Mesin telah mengadakan perbedaan antara kerojalan golongan kaja dan penderitaan kaum miskin, bahkan lebis besar lagi dari zaman silam. (Teks ini sesuai dengan yang termaktub di buku LINTASAN SEDJARAH DUNIA II - Kumpulan Surat-surat Kepada Anaknja Jang Perempuan. Ditulis Dalam Pendjara. Balai Pustaka Djakarta 1951)

Nehru bicara ihwal Revolusi industri yang melanda Inggris, 1760-1830. John Kay, James Hargreaves, Richard Arkwright, Edmund Cartwright, dan James Watt membuat segalanya menjadi lebih praktis. Mesin-mesin bergerak, ribuan orang di PHK. Kapitalisme muncul, berkembang, lalu menjadi "hantu" yang menakutkan. Adam Smith - ekonom - menawarkan ekonomi liberal. Kesenjangan sosial terjadi, melahirkan komunisme sosialisme. Kemapanan digugat, dihujat.

Kapitalisme terus berkembang, meski Francois Noel Babeuf (1760-1797), seorang radikal dalam Revolusi Prancis berteriak lantang:

Kami akan membuktikan bahwa tanah dan bumi bukan milik pribadi melainkan milik semua. Kami akan membuktikan bahwa apa yang diambil darinya oleh seseorang melebihi kebutuhan makanannya merupakan pencurian terhadap masyarakat.

Babeuf ditangkap. Kepalanya dipenggal.

Selanjutnya Karl Marx. Bersama Friedrich Engels, mereka menerbitkan Manifesto Komunis, 21 Februari 1848. Setelah itu, Marx datang dengan kitab tebal nan rumit: Das Kapital. Buku ini merupakan suatu analisis kritis terhadap kapitalisme. Jilid pertamanya terbit 1867. Tiga tahun sebelumnya, di London, wakil buruh Prancis dan Inggris memproklamirkan Asosisiasi Buruh Internasional yang keren dengan nama Internasionale. Marx didaulat untuk menulis anggaran dasarnya.

Marx - yang mati dalam kemiskinan dan kesepian tahun 1883 - memikat Vladimir Ilyich Ulyanov. Revolusi Bolshevik pecah di Rusia, Oktober 1917. Lenin menggerakkan massa. Rezim Tsar terguling. Nicholas II dimakzulkan lalu dieksekusi. Uni Soviet berdiri. Lenin menerapkan Marxisme. Roda kehidupan berjalan kaku, di bawah tatapan polisi-polisi rahasia. 1991 Uni Soviet runtuh, terkoyak.

Marx dan Lenin mati, kapitalisme terus menggurita. Bahkan, masyarakat tanpa kelas yang diimpikan Marx dituding hanya sebatas utopia.

...

Sepakbola kini menjadi industri, terlebih di Eropa. Kementerengan dipertontonkan secara blak-blakan. Kita, di sini, terkesiap dengan semua yang menyangkut Cristiano Ronaldo, Ricardo Kaka, Zlatan Ibrahimovic, Lionel Messi, Adebayor, John Terry, dan Wayne Rooney. Di sini tak ada istilah "sama rasa sama rata". Benar-benar glamor, juga eksklusif.

Makanya, kita tak perlu kaget dengan kemewahan yang disuguhkan buat seorang Rooney selama di Jakarta. Striker Manchester United dan timnas Inggris itu menginap di Presidential Suite di Hotel Ritz Charlton, Mega Kuningan, Jakarta. Per malam, harganya 5.800 dollar AS atau sekitar Rp 60 juta. Ini belum termasuk fasilitas maupun akomodasi yang tentu saja membuat sebagian besar masyarakat Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan menggeleng-gelengkan kepala.

Kehadiran Rooney dan kawan-kawannya itu tak hanya membuat kita heboh, tapi juga bersusah hati. Mereka hadir saat kita masygul dengan kompetisi sepakbola nasional: Stadion-stadion yang runyam, gaji telat, tawuran, kepemimpinan wasit yang amburadul, krisis kepercayaan, dll. Sepakbola kita, yang sebagian besar dibiayai dari APBD belum menjadi industri dalam arti yang sesungguhnya.

Semoga kedatangan Rooney dkk yang menghabiskan biaya miliaran rupiah memantik kesadaran kita, terlebih pelaku-pelaku sepakbola nasional - tanpa kecuali - untuk segera berbenah.

...

Tak ada yang salah dalam revolusi industri. Nehru melanjutkan suratnya:

Kesalahan sebenarnya disebabkan oleh manusia sendiri, jang salah menggunakannja.

.......................

(Awalnya, tulisan ini berjudul Marxisme dan Rooney. Namun lantaran Rooney dan kawan-kawan urung datang ke Jakarta lantaran bom di kawasan Kuningan Jakarta Selatan, saya mengubah menjadi Tak Ada Judul)

Rabu, Juli 01, 2009

Stadion Gelora Sriwijaya Palembang, 28 Juni 2009

Seorang teman memberitakan dari Stadion Gelora Sriwijaya Palembang: Persipura Jayapura emoh meneruskan pertandingan. Sriwijaya FC dinobatkan sebagai juara Copa Dji Sam Soe untuk yang kedua kalinya.

Saya tak kaget dan melanjutkan membaca buku The Mafia's Greatest Hits karya David H Jacobs yang saya beli di Pesta Buku Jakarta 2009 di Istora Senayan Jakarta, sehari sebelumnya.

......

Pembunuhan itu berlangsung apik dan tanpa jejak. Tak seorangpun yang mengetahui siapa pelakunya, bahkan polisi. Yang tinggal hanya tanda tanya, juga purbasangka yang tak berujung. Semua berlangsung sangat cepat, di sore hari 11 Mei 1920. Jim Colosimo mafia kelas kakap asal Calabria, Italia, yang mengendalikan prostitusi di Chicago, AS, melangkah enteng ke Colosimo's Cafe di South Wabash Avenue. Di tempat favoritnya itu, seseorang ingin bertemu dengannya. Colosimo - yang beken dengan nama Big Jim - yang mengawali karier dunia hitamnya sebagai penyapu jalanan mengiyakan dan menanti dengan setia. Dia sama sekali tak menyimpan kecurigaan. Ini adalah istananya, dimana pengawal bersenjata api wara wiri di setiap pojok.

Tamu tak jua datang. Sementara jarum jam di tangan terus berdetak, bergerak. Kepada pengawal dia tak menyebutkan siapa tamunya. Yang pasti, ada seseorang yang ingin menemuinya sore itu. Baru selangkah dia melangkah ke pintu luar, seseorang melepaskan tembakan: DOR-DOR-DOR. Sebutir peluru menembus kepalanya, peluru lain meleset. Big Jim tersungkur, terkapar, lalu meregang nyawa. Darah mafianya mengalir, membasahi ubin. Para pengawal berhamburan, panik. Sementara si pembunuh hilang bak angin. Kapan datang, kapan perginya, tak satupun yang tahu.

Siapa yang membunuh Big Jim? Siapa pula yang memerintahkannya? Tak ada jawaban. Polisi kehilangan jejak. Yang mereka tahu pembunuhan itu berlangsung mulus, begitu elementer. Pelaku tak hanya menguasai situasi dan kondisi, tapi juga medan.

Dalam dunia mafia, segala sesuatu bisa terjadi. Seperti politik, semua berjalan tanpa kepastian. Dengan kata lain, tak ada kawan atawa lawan abadi. Yang ada hanya kepentingan. Dan untuk menggaet kepentingan, segala sesuatu tak lagi tabu. Semua dikorbankan, juga nurani.

Tahukan Anda cerita tentang pembunuhan Yohanes Pembabtis? Herodes Antipas, kaki tangan Kekaisaran Romawi di Galilea dan Perea, Israel, beberapa abad silam memenggal kepala Yohanes dan menaruhnya di atas talam. Penyebabnya, Yohanes menegur Herodes lantaran mengawini Herodias, istri Filipus yang masih saudara dekat dengan Herodes. "Tak halal engkau mengambil Herodias!," kata Yohanes. Herodes geram. Dia ingin membunuh Yohanes, tapi takut karena di mata orang Yahudi Yohanes adalah seorang nabi.

Pucuk dinanti ulam tiba. Herodes ulang tahun. Anak perempuan Herodias menari, meliuk-liuk, berputar-putar bak ular. Herodes senang dan berjanji akan memberikan apa saja yang diminta sang penari. Setelah dihasut Herodias, berkatalah anak perempuan itu: "Berikanlah kepadaku kepala Yohanes dan taruh di atas talam ini".

Herodes kaget.

Dia memang ingin membunuh Yohanes, namun bukan dengan cara seperti itu. Tapi apa boleh buat, nurani tersumbat. Herodes - yang dijuluki Yesus "si serigala itu" - kemudian memerintahkan algojonya untuk segera melakukan eksekusi. Tak lama, kepala Yohanes putus. Kepala yang berlumuran darah itu, yang berada di atas talam, diberikan kepada Herodias. Herodias senang, Herodes tenang.

Ketika Big Jim mangkat, mafia tetap hidup. Johny Torrio naik takhta. Bersama Al Capone, tangan kanannya, mereka menguasai apa yang ingin mereka kuasai. Torrio mati, Al Capone juga. Generasi yang satu pergi, generasi baru menggantikan. Tak ada yang berubah. Mafia tetap jaya, bahkan lebih halus, lebih santun. Kita dikepung, benar-benar dikepung. Terjepit!

Setamsil film, kita terus berharap sang mesias segera datang dan menyudahi keangkaramurkaan. Apa daya, hidup toh bukan film, dimana kekejian selalu kalah di akhir cerita - meski sang jagoan harus berdarah-darah terlebih dahulu.

Tak ada yang perlu ditunggu, sebenarnya.

Dalam novel KEBANGKITAN karya Leo Tolstoi - sastrawan cemerlang Rusia yang mangkat tahun 1910 - tokoh Nekhlyudov coba menawarkan solusi. Nekhlyudov menyimpulkan bahwa ketertiban pada umumnya bukan disebabkan oleh adanya penjahat-penjahat yang sah menurut hukum dan kerjanya mengadili dan menghukum orang lain, melainkan karena manusia pada dasarnya saling mengasihi dan mencintai, sekalipun jiwa mereka sudah rusak.

Ketika nurani nyaris dilumat kemunafikan, Nekhlyudov sontak insyaf. Berkatalah dia," Akan kurobek-robek kebohongan yang menjerat diriku betapapun susahnya. Dan kepada semua orang kunyatakan kebenaran".

......

(Menangiskah kita untuk final Copa Dji Sam Soe itu?)

Kamis, Juni 18, 2009

Sepakbola Nasional, Apa Sebenarnya Yang Kau Cari?

Perang Mahabharata tak akan pernah terjadi jika saja Santanu - Raja Hastinapura - bisa menahan nafsi erotismenya. Suatu hari, Santanu berjalan-jalan di tepi sungai Yamuna. Bayu berhembus, membawa keharuman nan amat sangat. Santanu menelusuri jalan setapak demi setapak guna mencari sumber keharuman. Tak lama, dia berhasil bersua dengan sumber keharuman yang tak lain berasal dari tubuh seorang perempuan yang cantik jelita.

Dada Santanu bergetar menahan hasrat, darahnya mengalir deras. Sejak ditinggal Dewi Gangga - istri pertamanya yang memberikan dia seorang putra bernama Dewabrata - Santanu memang berjanji untuk tidak jatuh cinta. Dia bertarak, mengutamakan kebajikan seraya menyiapkan Dewabrata sebagai penggantinya kelak.

Tapi kecantikan, pun komelekan gadis itu membuatnya alpa terhadap tapabrata-nya.

"Siapakah namamu, duhai gadis jelita? Dari mana asalmu? Maukah engkau kupersunting menjadi istriku?"

"Daulat tuanku. Namaku Satyawati. Hamba seorang penangkap ikan. Ayahanda kepala kampung nelayan di sini. Hamba persilhkan Paduka membicarakan permintaan itu kepada ayahanda. Semoga dia menyetujuinya"

Syahdan, Santanu menyampaikan isi hatinya itu kepada ayahanda si Jelita. Lamaran diterima, tapi dengan syarat. "Jika anak hamba melahirkan seorang anak laki-laki, Paduka harus menobatkannya sebagai putra mahkota"

Santanu galau, masygul. Syarat itu begitu berat. Jika dia amini, betapa terlukanya hati Dewabrata. Namun dia tak bisa menampik, si Jelita telah merampok hatinya. Santanu pulang ke istana, bermuram durja berhari-hari. Benar-benar dilema, pikirnya.

Dewabrata penasaran dan mencoba mencari tahu. Dari sais kereta ayahnya, Dewabrata akhirnya memahami persoalan yang melumat sanubari Santanu. Diam-diam, dia menemui ayah Satyawati dan menyetujui semua syarat yang diminta.

"Baiklah. Ingat baik-baik. Jika anakmu melahirkan seorang anak laki-laki, anak itu kelak akan dinobatkan sebagai raja. Aku rela turun takhta demi keinginan ayahanda untuk melanjutkan keturunannya"

Mendengar kata-kata Dewabrata, ayah Satyawati kontan terperangah. Belum lagi rasa kagumnya hilang, Dewabrata melanjutkan nazarnya. "Aku berjanji tak akan kawin. Hidupku kupersembahkan untuk rakyat, kerajaan, juga kesucian".

Sejak saat itu Dewabrata menanggalkan gelar yuwaraja atau putra mahkota lalu memilih jadi bhisma : He of Terrible Oath. Dia bersumpah akan setia kepada raja pengganti ayahnya dan rela mati demi Hastinapura.

Dewabrata membawa Satyawati kehadapan ayahnya. Luar biasa kagetnya Santanu. Dia sama sekali tak menyangka anaknya sudi menyerahkan gelar putra mahkota kepada anak laki-laki yang akan dilahirkan ibu tirinya.

Dan demikianlah. Waktu berjalan, membentuk zaman. Satyawati melahirkan dua putra, Chitranggada serta Wichitrawirya. Takdir berkata lain. Chitranggada tak berumur panjang. Calon raja itu mangkat dalam pertempuran. Karena tak punya anak, Wichitrawirya akhirnya dikukuhkan sebagai raja.

Wichitrawirya punya dua orang anak yang dia peroleh dari dua orang istrinya, Ambika dan Ambalika, yakni Dritarastra dan Pandu. Dritarastra menikahi Gandari, putri Subala, Raja Gandhara. Pasangan ini punya 100 anak yang kemudian dikenal dengan keluarga Korawa. Pandu menikahi Kunti, puteri Raja Kuntibhoja dan Madri, puteri Raja Madra. Dari kedua perempuan ini, Pandu memiliki lima anak yakni Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa. Kelimanya dikenal dengan Pandawa.

Dari sini, kita tahu, perang Mahabharata pecah di medan Kurusetra.

.........

Kompetisi Indonesia Super League musim ini berakhir sudah. Persipura Jayapura tampil sebagai juara dengan persoalan baru: Stadion Mandala Papua tak layak untuk perhelatan Liga Champion Asia. Persiwa Wamena di peringkat kedua, juga dengan pergumulan yang sama. Persib Bandung di peringkat ketiga, meninggalkan konflik internal. Persija Jakarta terkapar, gagal di semua lini. PSMS ngenes, menangis di tubir degradasi. PSIS Semarang meradang, mengais-ngais iba. Persebaya Surabaya tak jua beranjak dari pertikaian. Persitara Jakarta Utara berduka, terancam dijual. Mafia wasit. Jadwal yang amburadul. Tawuran antar suporter, pemain baku hantam di lapangan. Pers melempen, rubuh, tak lagi jadi pilar juga pijar: Kokoh tapi keropos, Menyala tapi tapi tak membakar.

Sponsor mengancam kabur!

Semua itu sebenarnya tak perlu terjadi jika saja Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia, tak hanya sekadar punya wibawa, tapi juga memiliki kerendahan hati dan lebih mementingkan kepentingan bangsa.

(Sepakbola nasional, apa sebenarnya yang kau cari?)


-Tulisan Menyehatkan Seperti ini bisa Anda ikuti di Kalam Hati, www.warungolahraga.com-

Sabtu, April 18, 2009

Sembilan Belas April

Kita mengenang Soeratin tak hanya sebagai pendiri dan Ketua I PSSI, tapi juga seorang sepuh yang sakit-sakitan yang mati dalam kemiskinan akut, pada suatu hari di tahun 1959. Suratan akhir hidup Soeratin, benar-benar prihatin. Adik ipar Dr Soetomo -pendiri pergerakan Budi Utomo- itu bahkan tak mampu menebus obat. Rumahnya berukuran 4x6 meter di Jalan Lombok, Bandung, terbuat dari gedek.

Tak ada yang dia tinggalkan, kecuali sebuah elegi dan wejangan yang maknanya keruh buat kita kini: Selama PSSI menjadi bagian dari pergerakan Indonesia, seperti biasa mendapat rintangan di dalam perjalanannya. Rintangan itu macam-macam. Ada yang besar ada yang kecil.

Mundurkah Soeratin? Tidak. Dia terus bergerak, berbuat, mempertaruhkan segalanya.

Sabtu, 19 April 1930.

Soeratin, juga sekelompok pemuda dari VIJ (Voetbal Bond Indonesische Jakarta), BIVB (Bandoengsche Indonesische Voetbal Bond), PSM (Persatuan sepak bola Mataram Yogyakarta), VVB (Vortenlandsche Voetbal Bond Solo), MVB (Madioensche Voetbal Bond), IVBM (Indonesische Voetbal Bond Magelang), dan SIVB (Soerabajasche Indonesische Voetbal Bond), berkumpul di Gedung Handeproyo, Yogyakarta. Satu tekad, satu tujuan, satu pergumulan: PSSI diproklamirkan!

Di luar, tentara belanda lalu lalang dengan bedil di tangan.

Minggu, 19 April 2009.

Nurdin Halid dan kawan-kawan daerahnya berkumpul di Ancol, Jakarta. Kemudian beragam pertanyaanpun muncul: Satu tekad? Satu tujuan? Satu pergumulan? Entahlah...

Di luar, puluhan wartawan lalu lalang dengan pikiran yang bercabang.

--------
Tahun 2006 ada usulan agar Soeratin dianugrahi pahlawan nasional. Toh kita tak tahu kejelasannya sampai sekarang. Persoalannya bukan di situ. Sebab kita yakin, Soeratin tak butuh gelar pahlawan. Yang dia mau, melalui perjuangannya, lahir pahlawan-pahlawan sepakbola nasional. Timnas yang kokoh, PSSI yang berwibawa. Karena tanpa dianugrahi kata pahlawanpun, Soeratin toh sudah jadi pahlawan dalam makna yang sesungguhnya.

Apakah pahlawan itu?

Remy Silado, lewat Puisi Mbeling-nya berkata tentang pahlawan:

yang berjuang dulu
dan mati dalam perang
memang disebut pahlawan
(gambar pejuang tanpa pamrih)

yang berjuang dulu
tapi hidup senang sekarang
ingin juga disebut pahlawan
(gambar pejuang dengan pamrih)


-PSSI, selamat ulang tahun. Selamat merenung, jangan melamun!-

Sabtu, April 11, 2009

Menyoal Kumbakarna

Kita wajar mangkal terhadap sikap Kumbakarna, tapi juga tak harus mati konyol seperti dia. Kita tak tahu persis kenapa Kumbakarna seperti itu. Tapi, demikianlah adanya, seperti yang termaktub dalam wiracarita Ramayana. Satu tempo - saat Kerajaan Alengka belum jatuh ke tangan Rama - Kumbakarna dan kakaknya, Rahwana, melakukan tapa. Doa-doa dipanjatkan, berharap Dewa Brahma segera hadir.

Syahdan, Brahma muncul. "Apa yang kau minta, Rahwana?" Rahwana menjawab," Hamba ingin hidup abadi". Brahma menampik. "Jangan minta itu. Karena keabadian hanya milik para dewa". Sebagai gantinya, Brahma menjadikan Rahwana super sakti dari semua yang ada di surga. Juga terhadap naga, danawa, dan makhluk buas lainnya. Rahwana - si Dasamuka itu - punya resistansi terhadap gempuran musuh. Raja tiga dunia, langit, bumi, dan bawah tanah. Hanya saja dia menganggap remeh manusia dan tak memperhitungkannya sama sekali. Dan kita tahu, Rahwana tewas di tangan Rama, anak sulung Dasarata, Raja Kosala.

Kemudian Brahma melirik Kumbakarna lalu berkata, "Kau Kumbakarna, apa yang kau minta?" Saat hendak berkata, lidahnya dibelokkan oleh Dewi Saraswati -Dewi pengetahuan, kesenian, kebijaksanaan, dan inspirasi. "Hamba minta Nindrasan. Tidur abadi". Brahma tergelak. Permintaan Kumbakarna diluluskan.

Tidur abadi? Ya, tidur abadi. Permintaan Kumbakarna bukan tanpa sebab, tentu saja. Kumbakarna mahfum betul siapa Rahwana, Raja Alengka yang rakus kekuasaan, bengis, dan keras kepala. Memang, sejak merampas Alengka dari tangan Raja Kubera, penduduk tak ada yang kelaparan. Sandang pangan tercukupi. Bahkan, konon, orang yang paling miskin pun punya kendaraan dari emas. Buat Kumbakarna, semua itu tak ada artinya, jika Rahwana tak punya batasan puas. Kumbakarna sebenarnya sudah berkali-kali menasihati kakaknya itu. Tapi, anjing menggonggong kafilah tetap cuek. Dari pada pusing, mending tidur sekalian.

Mendengar permintaan Kumbakarna, Rahwana kontan bereaksi. Biar bagaimana pun, dia perlu bantuan Kumbakarna. Maka dia bujuk adiknya itu, supaya mengurungkan niatnya. Jengkel, Kumbakarna mencabut permohonannya. Brahma tak sudi. Rahwana dan Kumbakarna memohon. Brahma luluh juga, akhirnya. Namun, Brahma tak mungkin membatalkan anugrah yang sudah diberikan. Sebab dewa tak mungkin inkompatibilitas. Tidur baki dicabut. Gantinya, Kumbakarna tidur selama enam bulan, tak bangun-bangun. Enam bulan selanjutnya bangun, tak tidur-tidur. Terus begitu. Capek juga hidup seperti ini. Tidur, bangun. Begitu bangun dihadapkan dengan sosok yang tak disukai, yang hanya mau menang sendiri. Anti kritik, raja tengik.

Toh Kumbakarna tak bisa berbuat apa-apa. Dari luar dia kelihatan sangat digdaya. Pun begitu, dia kurang tegas terhadap kesemena-menaan kakaknya. Dia dituding sebagai tokoh kontroversial dalam ukuran moral. Dia sebenarnya bisa tegas terhadap Rahwana. Namun, dia tak melakukan itu. Dia patuh terhadap perintah Rahwana, kendati hatinya menjerit pilu. Itulah sebabnya, waktu hendak maju bertempur melawan Rama, ada dialog sedih antara Kumbakarna dan Wibisana. Wibisana merupakan adik Rahwana dan Kumbakarna yang memilih membelot kepada Rama.

"Maafkan aku kakanda, sebab adinda berpihak kepada musuh. Adinda melakukan ini lantaran kakanda Rahwana tak lagi mau mendengarkan nasihat kita. Kakanda Rahwana asyik masyuk dengan dirinya. Ampunilah aku kakanda. Bila kakanda ingin membunuhku, bunuhlah".

Kumbakarna terhenyak. Dadanya bergetar. Dia terharu. "Kau tidak salah, adinda. Kau benar, kebenaran harus ditegakkan, walau itu harus meninggalkan negara. Tapi aku tidak seperti kau adinda. Sepertimu, aku juga menasihati Kakanda Rahwana agar mengembalikan Sita kepada Rama , sebab tidak mungkin kita mengalahkan titisan Brahma, pembela kebenaran".

Jika kakanda sadar bahwa Rama tak mungkin kalah, kenapa kau tetap maju ke medan perang, Kumbakarna? "Asal kau tahu, Wibisana, aku maju melawan Rama bukan lantaran keinginan hati, tapi kewajibanku sebagai pahlawan Alengka".

Kita tahu, Kumbakarna maju tanpa takut. Dia membunuh banyak hanara, manusia berekor monyet dan melukai pahlawan pilihan Rama, Anggada, Sugriwa, Hanoman, serta Nila. Dia terus merangsek maju, sebelum akhirnya tewas di tangan Rama.

Wibisana menangis...

Indonesia dipenuhi "Rahwana", menohok di semua sisi. Para penguasa menari-nari di atas penderitaan rakyat. Obral janji. Berbuat sesuatu tanpa hati, yang ujung-ujungnya meninggikan diri. Tak tulus, bulus!

Lalu rakyat menatap "Kumbakarna", berharap melakukan sesuatu. Kumbakarna tak punya sikap, diam, membiarkan. Malah memilih tidur, acuh. Saat bangun, tetap diam, menyumbat nurani. Ironis, dia lebih memilih mati bersama gunjingan orang.

Tak ada yang menangis...

(Lembaga-lembaga di negara kita adalah "Kumbakarna" bertopeng. Jangan berharap banyak kepadanya)

Sabtu, Maret 07, 2009

Stigma Ti Pat-kay

Dalam buku Petualangan Kera Sakti karya Wu Cheng-en, tersebutlah seorang tokoh bernama Ti Pat-kay. Dia orang penting di Istana Langit. Jabatannya Marsekal Pasukan Langit. Suatu hari, Ibu Suri merayakan pesta ulang tahunnya secara akbar. Semua petinggi, termasuk para dewa diundang. Di akhir acara semua undangan mabuk, tak terkecuali Pat-kay.

Dengan kondisi mabuk, Pat-kay masuk ke Istana Dewi Rembulan. Menatap kecantikan Dewi Rembulan, Pat-kay gelap mata. Dia menghampiri Dewi Rembulan dan berusaha menggerayanginya. Usaha Pat-kay gagal, sebab Dewi Rembulan lebih dulu mengambil langkah seribu. Pat-kay jengkel bukan main. Tapi apa mau dikata, dia hanya bisa mengelus dada. Pelecehan seksual ini jadi buah bibir. Kaisar Langit murka, merasa dilecehkan anak buahnya sendiri. Hukum harus ditegakkan. Jika tidak, maka akan jadi preseden buruk. Singkat cerita, Pat-kay ditangkap dan dibuang ke bumi, tepatnya di kandang babi. Dia kemudian lahir dengan Wujud manusia berkepala babi.

Pat-kay masygul. Beruntung, Dewi Kasih berempati. Pat-kay diberi kesempatan untuk menebus dosa. Caranya? "Kau akan menjadi murid Pendeta Guru yang akan berziarah mencari Kitab Suci Kehidupan ke Barat," kata Dewi Kasih. Pat-kay tak menampik. Sejak saat itu namanya bukan lagi Pat-kay, melainkan Sang Babi.

Sang Babi kemudian melakoni tugasnya sebagai murid.

Bersama Kera Sakti (Sun Go Kong) dan Pendeta Pasir (Sah-ceng), mereka mengawal Pendeta Guru mencari Kitab Suci Kehidupan. Seperti Kera Sakti dan Pendeta Pasir, Sang Babi tentulah bukan murid sembarangan. Dia sakti, kendati tak sesakti kera. Walau gemuk, dia tetap lincah memainkan jurus-jurus bela diri. Mampu mengubah bentuk sebanyak 36 wujud. Namun, soal mempermainkan wanita, dia tak pernah kapok. Sifat buruknya ini bahkan sampai melupakan tugasnya. Selain itu, Sang Babi pun gampang patah semangat. Sering kabur tatkala berhadapan dengan kesukaran. Dengan kata lain, dia bukan petarung sejati.

Sikap teledornya tak hanya mengantarkan dirinya kepada bahaya, melainkan juga terhadap Pendeta Guru, Kera Sakti, juga Pendeta Pasir. Dia tak bisa mengendalikan diri dan acapkali memaksakan kehendak tanpa memikirkan risikonya. Untuk memuaskan napsu duniawinya, dia tak segan-segan menghasut Pendeta Guru.

Kita tak tahu persis mengapa Cheng-en menggambarkan Sang Babi seperti itu. Kenapa Sang Babi tak laksana Kera Sakti yang, di samping menguasai semua ilmu bela diri, juga memiliki kesetiaan yang kokoh kendati dalam situasi sulit sekalipun. Atau seperti Pendeta Pasir, walau tak selalu menang bertarung melawan musuh, namun patuh terhadap Pendeta Guru dan Kera Sakti sebagai kakak tertua. Kita toh harus berterima kasih terhadap Cheng-en. Lewat Sang Babi, kita diingatkan bahwa ketakjernihan hati - apalagi ketamakan - pasti menimbulkan kesengsaraan.

Simaklah misalnya dalam episode 12 Bukit Macan Putih.

Setelah melewati perjalanan panjang nan meletihkan, Pendeta Guru berserta ketiga muridnya sampai di suatu daerah. Daerah tersebut bernama Bukit Macan Putih. Medan begitu berat, jalan terjal terhampar di depan mata. Perjalanan yang benar-benar menguras tenaga. Lapar dan dahaga menerpa. Pendeta Guru menyuruh Kera Sakti mencari makanan.

"Guru, di manakah aku bisa mencari makanan bila di sini tak ada kehidupan," kata Kera Sakti.

"Pasti ada seseorang yang tinggal di daerah ini," ujar Pendeta Guru. Sang Babi menimpali, mereka harus mengisi perut dulu. Jika tidak, jalan terjal tak akan mungkin bisa dilalui. Kera Sakti terpojok. Dengan kesaktiannya, dia lalu terbang ke awan dan mengamati ke adaan dari ketinggian. Sejauh mata memandang, dia tak menemukan tanda-tanda kehidupan. Dia memutuskan untuk pulang ketempatnya semula.

Begitu sampai dia merasa kaget. Seorang nenek tua berada di antara Pendeta Guru, Sang Babi, dan Pendeta Pasir. Si nenek tua membawa makanan serta minuman. Kera Sakti curiga. Intusinya mengatakan, nenek tua bukanlah manusia melainkan siluman. Tanpa banyak cerita, Kera Sakti langsung menyerang si nenek tua. Pendeta Guru mencegah dan menasihati agar muridnya itu jangan bertindak gegabah.

"Mundurlah guru. Jangan memperlakukannya baik-baik. Sebenarnya dia adalah siluman yang siap memangsa Anda". Pendeta Guru sama sekali tak mengubris. Dia malah membentak agar Kera Sakti bersikap sopan. Bukannya mundur, Kera Sakti malah melayangkan tongkat saktinya ke arah si nenek tua. Si nenek tua spontan melayang ke udara. Kera Sakti benar, si nenak tua merupakan Raja Siluman Tulang Putih. Sayang, guru, Sang Babi, dan Pendeta Pasir tak menyadarinya. Mereka telah tertipu dengan penampilan serta kebaikan.

Menyikapi tindakan murdinya, emosi Pendeta Guru kian membara. Keduanya terlibat adu argumen. Pendeta Guru menuding Kera Sakti telah melakukan pembunuhan. Sementara, Kera Sakti tetap pada keyakinannya kalau si nenek tua adalah siluman.

Cekcok mulut ini sebenarnya bisa diselesaikan baik-baik, jika sekiranya Sang Babi berpikir jernih. Sayang, dia malah menghasut Pendeta Guru agar menghukum Kera Sakti. "Kera Sakti sudah melakukan pembunuhan. Anda sebaiknya membaca mantra, sebagai hukuman terhadap Kera Sakti". Sang Babi sukses memprovokasi gurunya. Pendeta Guru membaca mantra. Kera Sakti mengerang kesakitan. "Hentikan guru, hentikan". Tak tega, Pendeta Guru menghentikan komat-kamitnya.

Si nenek tua yang merasa jengkel kedoknya diketahui Kera Sakti sekali lagi melakukan penyamaran. Namun apa boleh buat, Kera Sakti tak gampang dikibuli. Atas nama kesetiannya terhadap gurunya, Kera Sakti akhirnya mampu meyakinkan Pendeta Guru kalau si nenek tua adalah siluman.

Perjalanan menuju ke Barat kembali dilanjutkan. Dan kita tahu, Sang Babi selalu saja teledor. Dia tak pernah belajar dari sejarah. Tak menjadikan pengalaman sebagai guru terbaik.

(Ti Pat-kay, adakah dia di sekitar Anda?)

Kamis, Februari 19, 2009

Dasamuka dan Kita

Lumayan lama tak bertemu, seorang sahabat menyambut saya dengan segelas kopi susu hangat dan sebuah buku. Judul buku itu Berpihak Kepada Rakyat karya Satyagraha Hoerip. Buku yang dicetak tahun 1996 ini merupakan kumpulan tulisan pendek Hoerip tentang banyak hal.

"Buku ini aku kasih sama kau. Semoga bermanfaat," kata sahabat saya, Erlangga Satya Wardana yang tak lain adalah putra bungsu Hoerip. Erlangga teman kuliah, sekaligus sahabat saya. Setamat kuliah, dia sempat 'mondok' hampir tiga tahun di Amerika Serikat sebelum akhirnya kembali ke Indonesia. Aneh, Erlangga tak sedikit pun mewarisi talenta bapaknya.

Hoerip orang hebat - setidaknya buat saya. Dia lahir di Lamongan, Jawa Timur, 7 April 1943. Hoerip, menurut saya, seorang yang komplet. Dia jurnalis jempolan, pernah bekerja di Koran mingguan Minggu (Yogyakarta), Penerbit Ganaco (Bandung), Harian Kami (1966-1967), Harian Sinar Harapan (1967-1980), Penerbit Sinar Harapan (1980-1984) dan majalah Swasembada (1985-1986). Selain seorang jurnalis, Hoerip juga penulis ulung. Dia tak hanya menulis puluhan cerita pendek, tapi juga novel. Karyanya mendapat pujian dari Majalah sastra Horison, juga diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Belanda, pun Prancis. Dia menulis skenario film Palupi (1970) yang disutradari oleh Asrul Sani serta film Di Antara Dua Dunia (1980) yang disutradarai Teguh Karya. Dia beberapa kali diundang ke luar negeri, apalagi kalau bukan urusan sastra.

Hoerip mangkat 14 Oktober, sepuluh tahun silam. Saya hadir kala itu.

Sebelum membaca tulisan demi tulisan, Hoerip terlebih dulu menyapa saya dengan menukil kata-kata Albert Camus: Kemerdekaan penting bagi setiap bangsa, juga keadilan.

Ada 80 tulisan pendek Hoerip. Dari semua itu, satu yang saya suka tulisan bertajuk HIDUP MENEROBOS ABAD DEPAN. Tulisan ini ditulis tatkala HUT ke-50 RI, 1995.

Sepenggal tulisan Hoerip.

...semua orang Indonesia kelak jangan hanya akrab dengan high technology, high productivity maupun high efficiency dan high profit melulu.
Sebaliknya, mereka harus tetap tegar pada high morality. Syukur diikuti high solidarity. Sepanjang hayat dengan ikhlas mengabdi rakyat.
Yang konstan didanai sehingga bermiliar rupiah ialah Penghayatan/Pengalaman Pancasila. Tapi aneh, ikut berlahiran di mana-mana adalah Dasamuka...

Mengenai Dasamuka, Hoerip tak membeberkan secara gamblang.

Namun, siapa yang tak mengenal Dasamuka? Dia gambaran keserakahan, kelicikan, keangkuhan, playboy sonder nurani. Dia biang kerok. Dalam mitologi Hindu, Ramayana, Dasamuka merupakan nama lain Rahwana, Raja Alengka, negara para raksasa. Disebut Dasamuka, karena dia memiliki 10 wajah. Kesaktiannya luar biasa. Dia memiliki Aji Rawarontek dari Prabu Danaraja dan Aji Pancasona dari Resi Subali.

Putra pasangan Resi Wisrawa-Dewi Sukesi ini juga kesohor soal urusan syahwat. Istrinya banyak, hilir mudik di istananya. Perang Ramayana, seperti halnya perang Troya, pecah lantaran seorang perempuan: Sita. Sita merupakan istri Rama, putra Raja Dasarata dari Ayodhya.

Perang sebenarnya tak perlu terjadi, jika saja Dasamuka mau mendengarkan nasihat adiknya, Kumbakarna. "Sudahlah kakanda. Kembalikan Sita kepada Rama. Kita tak mungkin bisa mengalahkan titisan Batara Wisnu, sang pembela kebenaran".

Dasamuka emoh mengaminkan nasihat Kumbakarna. Apa boleh buat, Rama dan pasukannya menyambangi Alengka dengan marah menggumpal di dada. Pertempuran tak dapat dielakkan. Dasamuka akhirnya meregang nyawa, setelah panah Brahma Astra yang dilepaskan Rama menghunjam dada raksasa nan tegar tengkuk tersebut. Alengka takluk. Sita kembali ke pelukan Rama dan mereka kembali ke Ayodhya.

Dasamuka memang sudah mati. Tapi, 'Dasamuka' dalam wujud lain - jika kita mengacu kepada tulisan Hoerip - masih banyak berseliweran di lingkungan kita, di sekitar kita. Itulah sebabnya, Hoerip menyudahi tulisannya dengan pertanyaan, yang, menurut saya, semacam erangan: apakah itu lantaran kita rapuh iman? Lemah etika? Ataukah, produk tulen zaman edan?

Entahlah.

(Olahraga kita tak akan pernah maju, kalau begini. Hanya buang-buang waktu, juga duit)

Senin, Februari 09, 2009

Parodi Sufi

Lupakan soal rencana Indonesia yang ingin menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022. Tak ada yang perlu dikagetkan. Ini menjelang pemilu, Bung. Dan semua politisi berhak mengumbar mimpi. Kita toh telah terbiasa seperti itu, hadir di keseharian kita. Kita melihatnya secara transparan di media massa serta di sepanjang jalan: para calon legislatif - dengan foto diri tentu saja - masyuk mengumbar mimpi.

Lupakan para politisi, mari rileks sejenak dengan kisah-kisah lucu Nasrudin Affandi dalam Humor Sufi. Humor Sufi merupakan karangan Maulana Nasrudin. Di wilayah Uighur, Asia Tengah, namanya ditambah Affandi. Affandi bukan nama sembarangan. Nama ini menandakan ia seorang yang dihormati.

Sebagaimana cerita 1001 malam, Humor Sufi semacam satire yang sangat terkenal di planet bumi ini. Bahkan, di Iran dan Turki, Humor Sufi dijadikan sebagai bahan pelajaran di sekolah.

Inilah tiga dari sekian banyak satire Nasrudin.

Pada suatu hari, Nasrudin Affandi pergi ke pasar. Dia ingin menjual enam ekor keledainya. Hari begitu cerah, secerah hati Nasrudin yang sebentar lagi bakal mendapat uang banyak. Belum lama berjalan, Nasrudin merasa lelah dan segera menaiki seekor keledai. Pasar masih jauh. Keledai-keledai berjalan santai. Iseng-iseng dia menghitung keledainya.

Nasrudin kaget bukan kepalang. Soalnya, dia menghitung keledainya ada lima ekor. Nasrudin spontan melompat dari keledai yang dinaikinya. Dengan cermat, dia menghitung ulang. Dia merasa puas, karena keledainya berjumlah enam ekor. Nasrudin kembali menaiki keledainya, perlahan-lahan menuju pasar. Untuk kedua kali, Nasrudin menghitung binatang bawaanya. Dia lagi-lagi kaget bercampur bingung. "Kok, keledaiku hanya ada lima? Satu lagi ke mana?," gumamnya. Nasrudin turun dari punggung keledai kemudian menghitung.

Seorang rekan Nasrudin melintas di jalan yang sama.

"Dari rumah aku membawa enam ekor keledai. Keenamnya ingin kujual ke pasar. Dalam perjalanan aku menghitung. Waktu kuhitung kok jumlahnya berganti-ganti. Kadang enam, lantas lima, lalu enam, dan coba hitung ini: satu, dua, tiga, empat, lima..."

Teman Nasrudin kemudian berkata,"Bukankah yang satu lagi kau naiki, Nasrudin? Sebenarnya keledaimu bukan enam, tapi tujuh".

"Tujuh? Satu lagi mana?," tanya Nasrudin.

"Keledai yang ketujuh adalah kau!," jawab temannya.

Masih tentang Nasrudin.

Ketika Nasrudin masih muda, ibunya pergi ke suatu tempat dalam waktu yang tak terlalu lama. Sebelum pergi ia memberi pesan, "Nasrudin. Selama kau tinggal sendiri di rumah, jagalah pintu baik - baik. Jangan sampai ada orang masuk. Sekarang ini banyak sekali pencuri."

Meresponi wejangan sang ibu, Nasrudin lantas duduk dekat pintu. Tak lama berselang pamannya datang, hendak beranjangsana. Paman dan keponakan terlibat pembicaraan.

"Ibumu ada di rumah?"
"Tidak ada. Ibu pergi"
"Kalau begitu sampaikan kepada ibumu, petang nanti kami sekeluarga ingin bertemu dengannya. Tolong sampaikan agar ibumu jangan ke mana-mana"

Pamannya kemudian pergi. Nasrudin dilanda kebingungan. Di satu sisi, ibunya memerintahkan supaya dia menjaga pintu rumah baik-baik. Di sisi lain, pamannya minta tolong agar dia menyampaikan kepada ibunya kalau paman dan keluarga mau bertemu. Tanpa pikir panjang, Nasrudin segera membongkar pintu rumah. Pintu rumah itu dia pikul dan selanjutnya pergi menemui ibunya.

Humor Sufi Nasrudin Affandi tak melulu berakhir lucu yang membuat kita tertawa atau geleng-geleng kepala, tapi juga mengingatkan kita bahwa kekuasaan dan jabatan - jika digunakan untuk membodoh-bodohi rakyat - cepat atau lambat pasti runtuh. Tak percaya? Simaklah kisah Nasrudin di bawah ini.

Dalam pengembaraannya, Nasrudin singgah di ibukota kerajaan. Terbetik kabar, Nasrudin menguasai bahasa burung-burung. Kabar tersebut sampai ke telinga raja. Sang raja kemudian memanggil Nasrudin ke istananya yang megah.

Saat itu kebetulan ada seekor burung hantu yang sering berteriak di dekat istana. Bertanyalah raja pada Nasrudin, “Coba katakan, apa yang diucapkan burung hantu itu!”

Nasrudin menatap raja lalu berkata,"Burung hantu itu mengatakan, kalau raja tidak berhenti menyengsarakan rakyat, maka kerajaan baginda akan segera runtuh".

(Hehehe. Para penguasa, berhentilah menyengsarakan rakyat, karena 'burung hantu' ada di sekitar Anda)

Senin, Februari 02, 2009

Ambisi Gandari

Indonesia berniat menjadi tuan rumah Piala Dunia 2018 atau 2022. Saya tertawa lalu membaca kisah Perang Bharatayuddha.
--------------------------

Ambisi tanpa hati yang jernih selalu saja membawa petaka. Dan kita ingat satu nama dalam Mahabharata, Gandari. Gandari adalah sosok krusial Mahabharata, wiracarita Hindu yang kesohor itu. Perang Mahabharata sebenarnya tak perlu terjadi jika Gandari - puteri Subala, Raja Gandhara - tak haus kekuasaan.

Gandari merupakan istri Dretarastra, pangeran tertua kerajaan Kuru. Dia gagal menjadi raja lantaran buta sejak lahir. Dretarastra tak meratapi nasibnya. Dia tak menyalahi ibunya, Ambika. Beberapa saat sebelum lahir, Ambika dianjurkan untuk menemui Resi Byasa di ruangan khusus. Ambika tak kuat melihat wajah Resi Byasa yang memancarkan sinar terang benderang. Ambika menutup matanya. Dan Dretarastra pun terlahir buta. Sebagai bentuk pengorbanan terhadap suaminya, Gandarai sengaja menutup matanya hingga matahari terbenam.

Raja kemudian dijabat oleh adiknya, yakni Pandu yang dibantu oleh Widura. Pandu bukan raja sembarangan. Dia memiliki kesaktian yang luar biasa, di samping apik dalam hal memanah. Pada suatu hari, Pandu berburu ke hutan. Tanpa sengaja dia memanah rusa yang tengah bersenggama. Ternyata rusa tersebut jelmaan seorang resi. Sang resi kemudian mengutuk Pandu. "Jika kau bersetubuh dengan istrimu, maka kau pasti mati," kata sang resi.

Pandu bermuram durja. Kutukan itu sangat berat, mengingat sebagai raja dia harus punya ahli waris. Tak kuat menahan siksa, Pandu alienasi ke hutan. Ditemani istrinya, Kunti - puteri Raja Kuntibhoja dari Wangsa Wresni - dan Madri - puteri Raja Madra - Pandu melewati hari demi hari bak seorang pertapa. Sebelum melakoni takdir, jabatan raja dia serahkan kepada Dretarastra.

Gandari senang bukan main.

Sayang, Gandari belum punya anak. Dia mendatangi Byasa. Di hadapan resi sakti itu, Gandari memohon agar diberi anak. "Kau akan punya seratus anak," janji Byasa. Gandari pulang dengan riang. Dia berharap, kekuasaan yang ada di genggaman Dretarastra akan langgeng.

Namun, waktu melahirkan, Gandari bukannya melahirkan 100 anak melainkan segumpal daging. Untuk kedua kalinya Gandari bersujud di hadapan Byasa. Byasa kemudian membelah-belah daging tersebut menjadi seratus potong, dan dimasukkan ke dalam guci kemudian dikubur selama setahun. Setelah guci-guci digali kembali, dari setiap potongan daging itu kemudian tumbuh seorang anak, yang kemudian menjadi Korawa. Duryodana merupakan anak tertua. Bersama Dursasana, Duryodana adalah tokoh antagonis dalam Mahabharata.

Sementara, jauh di dalam hutan, Pandu hidup tersiksa. Dia memang dikarunia lima anak yang kelak disebut Pandawa. Hanya saja kelimanya bukan darah dagingnya melainkan pemberian para dewa. Kunti membaca mantra Adityahredaya. Dia memanggil tiga dewa, yaitu Yama, Bayu, dan Indra. Kepada masing-masing dewa ini, Kunti meminta satu orang anak. Ketiganya adalah Yudistira, Bima, serta Arjuna. Madri tak mau ketinggalan. Dia memanggil dewa Aswin. Aswin mengaminkan pinta Madri dengan memeberinya anak kembar, Nakula dan Sadewa.

Pandu hanya bisa menatap kedua istrinya tanpa bisa melepaskan birahi. Pandu kalah. Dia tak tahan bertarak. Dia menghampiri Madri. Sewaktu mencoba bersenggama, Pandu tewas. Kutukan sang resi ternyata bukan gertak sambal. Madri tak kuasa menahan duka. Dia menitipkan Nakula dan Sadewa kepada Kunti lalu membakar dirinya.

Tiba saatnya Dretarastra mengalihkan tampuk kekuasaan. Kepada siapa tongkat estafet akan dia berikan? Kepada Duryodana atau kepada Yudistira?

Sebagai seorang ayah, Dretarastra menginginkan Duryodana menjadi raja. Hanya saja, Dretarastra juga sadar bahwa Yudistiralah yang pantas mendapatkannya. Selain memang anak raja yang sah, Yudistira sosok yang tenang dan lebih dewasa. Sedangkan Duryodana mewarisi sifat ambisius ibunya.

Dretarastra benar-benar dilematis. Dia minta nasihat Bisma - kakek dari Korawa dan Pandawa. Bisma menyarankan agar kerajaan Kuru dibagi dua. Duryodana mendapat Hastinapura, sedangkan Yudistira diberikan wilayah yang kering, miskin, dan berpenduduk jarang, yang dikenal sebagai Kandawaprasta. Atas bantuan dari sepupu Yudistira, yaitu Kresna dan Baladewa, mereka mengubah daerah gersang tersebut menjadi makmur dan megah, dan dikenal sebagai Indraprastha.

Yudistira lalu dicalonkan sebagai Raja Hastinapura. Duryodana berang. Perang Bharatayuddha pun pecah. Kedua kubu saling baku bunuh selama 18 hari. Seratus anak Dretarastra dan Gandari meregang nyawa. Yudistira akhirnya menjadi raja. Setelah beberapa lama, Yudistira menyerahkan tampuk kekuasaannya kepada Parikesit, cucu Arjuna. Yudistira dan keempat adiknya, juga Dropadi - istri Pandawa - mendaki gunung Himalaya, mencari tujuan akhir: Surga.

(Hati-hati dengan ambisi, Bung)

Rabu, Januari 21, 2009

Bendol dan Trojan Horse

Tak banyak yang mengacungkan jempol buat Benny Dollo. Hasil imbang 0-0 melawan Oman di babak kualifikasi Piala Asia 2011 beberapa waktu lalu bukanlah prestasi yang bagus, setidaknya bagi kaum pengkritik. Stamina Oman, kata mereka, belum 100 persen pulih setelah bertanding habis-habisan melawan Arab Saudi dua hari sebelumnya. Oman menang lalu jadi Juara Teluk 2009 dan masih hanyut dalam euforia.

Menghadapi Australia 28 Januari nanti, tak sedikit pula yang skeptis terhadap Benny Dollo. Beban pelatih yang akrab disapa Bendol ini memang maha berat. Kegagalan tim Merah Putih di AFF Suzuki Cup 2008 merupakan apologia bagi kaum pengkritik agar Bendol sukses di Piala Asia.

Australia memang bukan tim setara, jika ditilik dari rangking FIFA. Australia jauh di atas kita. Selain fisik, nilai lebih 'Negara Kangguru' ini adalah, di sana pengelola klub sepakbola menyeleksi pemainnya dengan teori psikoanalisis Sigmund Freud. Jauh-jauh sowan ke Jakarta, tim besutan Pim Verbeek tentu saja tak mau pulang dengan tangan hampa. Sebaliknya, Bendol pun emoh gigit jari di depan pendukung Merah Putih. Kemenangan adalah harga mati.

Bendol harus punya taktik jitu. Harus!

Kita ingat perang Troya lewat lembaran-lembaran sejarah atawa film Troy karya sutradara Wolfgang Petersen, 2004. Film ini dibintangi Brad Pitt, Orlando Bloom, serta Eric Bana.

Demikianlah perang Troya itu terjadi, berdasarkan epos Yunani purba Illiad yang ditulis penyair buta bernama Homerus: Ada seorang perempuan nan cantik jelita. Namanya Helen. Dia istri Menelaus, raja Sparta. Pada suatu hari Raja Priam dari Troya mengirim kedua putranya, Hector dan Paris untuk menemui Menelaus. Saat kunjungan inilah Paris jatuh hati kepada Helen. Cinta Paris tak bertepuk sebelah tangan. Asmara tak terbendung. Hati telah terpaut. Ketika hendak kembali ke Troya, Paris menculik Helen. Menelaus berang bukan kepalang. Manelaus melaporkan kejadian itu kepada Agamemnon, raja Yunani, yang tak lain adalah saudaranya sendiri.

Agamemnon naik pitam. Dia kemudian mengirimkan ribuan tentaranya ke Troya, di bawah pimpinan Achilles. Perang tak dapat dihindarkan. Namun, tak gampang mengalahkan Troya. Perang sudah berlangsung 10 tahun. Ribuan orang meregang nyawa. Troya sangat sulit ditaklukkan karena bentengnya yang kokoh dan prajurit-prajuritnya yang gagah berani.

Tentara Yunani tak mau menyerah. Tapi, bagaimana caranya? Di sinilah taktik berbicara. Achilles beserta tentaranya pura-pura mundur, meninggalkan medan pertempuran. Mereka meninggalkan patung kuda kayu raksasa sebagai hadiah bagi bangsa Troya agar tidak menghambat kepergian mereka.

Tanpa curiga sedikit pun, patung kuda kayu raksasa - yang belakangan kesohor dengan nama Trojan Horse - selanjutnya dibawa masuk ke dalam benteng. Tentara-tentara Troya sama sekali tak menyangka jika di dalam patung kuda raksasa tersebut bersembunyi puluhan tentara terpilih Yunani. Tatkala suasana sepi, mereka segera keluar dari 'perut' patung kuda raksasa serta membuka kunci benteng. Pasukan Yunani masuk dan meluluh-lantakkan Troya.

Sepakbola adalah perang dalam konteks lain, di mana taktik untuk mengalahkan lawan merupakan suatu keharusan. Sebagai pelatih, saya dan pecinta sepakbola nasional di Republik ini berharap Bendol menerapkan taktik 'Trojan Horse'. 'Trojan Horse' bisa berupa pola atau strategi dan siasat lainnya. Hanya saja, 'Trojan Horse' dipraktikkan dalam koridor fair play. Karena sepakbola menentang seruan Niccolo Machiavelli, ahli teori politik Italia (1469-1527) yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.

Maju terus, Merah Putih. Di belakangmu, kami berdiri.

Minggu, Desember 21, 2008

Le Mythe de Sisype

Tim nasional sepak bola kita yang bertarung di Suzuki AFF Cup 2008 bukanlah Sisipus dalam mitologi Yunani yang ditulis oleh Albert Camus lewat esai besarnya, Le Mythe de Sisype.

Camus - sastrawan Prancis kelahiran Aljazair 7 November 1913 dan mangkat 5 Januari 1961 - menceritakan seorang hamba bernama Sisipus. Oleh karena satu hal, Sisipus dikutuk para dewa. Sisipus dihukum dengan cara mengangkat batu besar ke puncak gunung. Setelah sampai ke puncak, dia harus menggelindingkan batu tersebut ke bawah kaki gunung lalu mengangkatnya lagi ke puncak. Begitulah seterusnya. Le Mythe de Sisype, yang ditulis Camus tahun 1942 menyimpulkan bahwa kehidupan adalah absurd. Kesia-siaan yang permanen.

Camus, yang menolak eksistensi Tuhan, seperti halnya Nietzsche, sah-sah saja punya kesimpulan seperti itu. Tapi tak semua mengaminkan Camus. Tatkala Charis Yulianto dan kawan-kawan kalah 1-2 dari Thailand sekaligus menguburkan mimpi Merah-Putih bertarung di partai puncak, tim kita bukanlah Sisipus yang hanya mendulang kesia-siaan. Memang, kegagalan Charis Yulianto dkk kian memperpanjang rekor tak sedap sepak bola kita di kawasan Asia Tenggara. Sejak AFF Cup digulirkan tahun 1996, Indonesia belum sekalipun merengkuh juara. Di kawasan Asia, terlebih dunia, kita pun dipandang sebelah mata.
Kita tahu, Charis Yulianto dkk telah mengerahkan semua yang mereka punya: elan, tenaga, juga pikiran. Tapi apa boleh buat, masih jauh panggang dari api. Namun, ada baiknya kita mengacungkan dua jempol tangan buat mereka. Kita ingat Mohandas Karamchand Gandhi, Bapak Negara India. Berkatalah Gandhi,"Kepuasan terletak kepada usaha, bukan hasil. Usaha dengan keras adalah kemenangan yang hakiki".

Kegagalan adalah sukses yang tertunda. Demikian kata orang-orangt bijak. Kegagalan mengajari kita agar lebih arif, rendah hati, serta tak takut terhadap rintangan, sebesar apapun itu. "Bukan kekuasaan yang merusak akhlak, tetapi rasa takut," kata pejuang Demokrasi Burma, Aung San Suu Kyi.

Siapa yang takut, baiklah dia menelaah kembali novel klasik Petualangan Kera Sakti karya Wu Cheng-en (1500-1582). Novel ini diilhami dari perjalanan Pendeta Guru Tong Hian-cong ke India guna mencari Kitab Suci Kehidupan. Cong hidup semasa Dinasti Tang (618-907). Cong minta restu Tang, tapi ditampik. Karena tak dapat restu, teman-temannya kemudian meilih mundur. Cong tak patah semangat. Sendiri dia ke India, 17 tahun lamanya. Dia berhasil dan membawa pulang enam ratus lebih jilid Kitab Suci Budha. Dia juga mempelajari bahasa Sansekerta serta menterjemahkan Kitab Suci ke bahasa China. Cong punya andil besar dalam penyebaran agama Budha di China.

Atau, masih ingatkah kita ihwal elan yang dipertontonkan Theodre Roosevelt, Presiden Amerika Serikat ke 26 itu? Roosevelt lahir 27 Oktober 1858. Di masa kecilnya, anak dari pasangan keluarga petani kaya New York ini mengidap penyakit kelainan mata. Kesehatannnya juga buruk. Roosevelt kehilangan keceriaan. Dia tidak bisa mengikuti pendidikan di sekolah dan bermain-main seperti anak normal.

Menyerahkah dia? Tidak! "Aku akan melatih tubuhku sampai menjadi sekuat sorang atlet," katanya. Dengan kondisi keterbatasan, dia membesut otot-ototnya. Dia tumbuh sehat. Kuat. Ia lalu pergi ke barat dan menjadi peternak. Di tempat barunya itu, Roosevelt yang punya nama kecil Teddy, tumbuh menjadi pria dewasa yang punya karisma. Dia juga seorang pekerja keras dan memiliki semangat egaliter. Tak heran jika dia begitu dihormati oleh para peternak lainnya.

Amerika kala itu berada dalam cengkraman Spanyol. Nasionalisme Teddy tumbuh, begitu pula peternak lainnya. Mereka kemudian membentuk resimen kavaleri. Teddy dinobatkan sebagai komandan. Resimen itu terkenal dengan nama 'Penunggang kuda yang gagah berani'. Perang Amerika-Spanyol pecah. Teddy dan pasukannya tak kenal menyerah. Meraka terus merangsek ke depan, tanpa gentar sedikit pun. 17 Juli 1898, Spanyol menyerah. Kuba, Filipina, Puerto Rico, dan Guam yang berada di bawah kekuasaan Spanyol kemudian diserahkan kepada Amerika.

Bercermin kepada Gandhi, Cong, maupun Teddy, kita bukanlah Sisipus dalam esai Le Mythe de Sisype.

Terima kasih, tim Merah-Putih.

Jumat, November 28, 2008

Kita: AFF Suzuki Cup 2008

Saya ingin juara, walaupun persiapan tidak sesempurna seperti tim-tim lain. Kita tidak bisa pelatnas jangka panjang mengingat ada kompetisi dalam negeri. - Benny Dollo -


Dia lahir, hidup, mati, kemudian jadi legenda. Melintasi sungai, laut, gunung, lembah, juga pulau-pulau. Tentangnya kemudian, ada sesuatu yang kita petik, yakni, kesuksesan sonder kerja keras dan keyakinan adalah nonsen! Jenghis Khan, tentu saja.

Jenghis Khan, seperti yang ditulis John Man dalam bukunya berjudul Jenghis Khan, Legenda Seorang Penakluk Dari Mongolia, menggambarkan buat kita: Jenghis Ditakdirkan Langit untuk Meraih Kebesaran.

Meski begitu, KEBESARAN Jenghis tidaklah datang begitu saja dari langit, melainkan melalui pergumulan yang panjang. Man - sejarawan Inggris yang menaruh perhatian khusus terhadap Mongolia - menuliskan, saat berusia delapan tahun, Temujin - demikian nama masa kecil Jenghis Khan - dijodohkan oleh ayahnya, Yesugei, dengan Borte, anak pasangan suami istri dari klan Hoelun. Borte setahun lebih tua dari Temujin.

Untuk mengesahkan hubungan itu, Yesugei meninggalkan Temujin bersama calon mertua. Yusugei lalu pulang ke kampungnya, melewati padang rumput yang luas. Di tengah jalan, dia berpapasan dengan sekelompok orang Tatar yang tengah berpesta. Yesugei ditawari makan dan minum. Yesugei tak menampik, mengingat ini adalah keramahtamahan 'ala' padang rumput.

Setiba di rumah, tiga hari berselang, dia jatuh sakit. Tak lama, Yesugei mangkat. Kecurigaan mengarah kepada orang-orang Tatar. Sebelum bersua ajal, Yesugei menyuruh orang memanggil Temujin.

Dari sinilah sejarah itu bergulir...

Hoelun, istri Yesugei, hidup tanpa seorang pelindung, di tengah alam bebas serta ancaman suku-suku lain. Namun, Hoelun seorang perempuan yang penuh elan. Dia menghidupi anaknya dengan buah maupun umbi dari lereng Burkhan Khaldun di sepanjang tepi sungai Onon. Temujin tumbuh di antara perang antar suku. Situasi menempanya menjadi laki-laki pemberani yang mahir memanah, menunggang kuda, berkelahi. Bakat kepemimpinannya, seiring dengan perjalanan waktu, kian kentara.

Suatu hari, saat Temujin berada di perkemahan Borte, suku Taychiut tiba-tiba menyerang. Penyebabnya, Temujin dianggap ancaman di masa datang. Temujin tertangkap, walau sempat menghirup udara bebas selama sembilan hari. Agar tak kabur, orang yang kelak menjadi penguasa seluruh Eurasia ini dipaksa memakai belenggu kayu berat yang dipasang di leher dan pergelangan tangannya. Temujin berhasil kabur, setelah terlebih dulu memperdaya penjaga. Dia berlari sekuat tenaga, masih dengan belunggu yeng menggandul. Dia kemudian membangun pasukan tempurnya. Memenangi banyak peperangan selanjutnya menjadi pemimpin Mongol: Jenghis Khan. Dia pun menikahi Borte, gadis kecilnya.

Saat kematiannya, 1227, Jenghis menguasai Samudera Pasifik hingga Laut Kaspia. Ini, menurut Man, empat kali lebih besar dari imperium Alexander Yang Agun dan dua kali lebih besar dari wilayah taklukan Kekaisaran Romawi. Penerusnya melanjutkan penaklukan, sampai akhirnya kejayaan Mongol berakhir tahun 1337.

Jenghis adalah tipikal pemimpin yang, selain pekerja keras, jago strategi dan tegas, dia - dengan segala keterbatasan, pun tantangan - tak pernah merasa minder. Dengan kata lain, dia yakin mampu melakukan perkara besar, seperti katanya:

Di Khaldun Keramat
Aku adalah seekor kutu
Tapi aku berhasil lolos
Dan nyawaku terselamatkan

Dengan satu kuda
Mengikuti jejak rusa
Membuat tenda dari kulit kayu
Aku mendaki Khaldun

Di Khaldun keramat
Aku adalah seekor burung layang-layang
Tapi aku dilindungi


(Ayo Tim Merah Putih, bangkit dan jadilah pemenang. Bahkan lebih dari pemenang)

Sabtu, November 08, 2008

Copa Bergulir Sudah

Copa Dji Sam Soe 2008 digulirkan di tengah keprihatinan, juga segepok harapan. Lebih kurang 52 klub di seluruh Tanah Air bertarung, berikhtiar menjadi yang terbaik. Tema yang diusung tak main-main: Indonesia Satu. Tentang ini, berkatalah Stephanus Kurniadi, Brand Manager Dji Sam Soe," Copa Dji Sam Soe sebagai salah satu upaya pemersatu bangsa".

Tak ada yang salah dengan kalimat Stephanus Kurniadi. Tapi bisakah? Kita toh jago dalam menghapal, namun jeblok dalam tindakan. Kita ingat kerusahan demi kerusuhan yang terjadi, sambung menyambung tak kunjung usai. Caci maki antar suporter: Kebencian disemai sedemikan rupa. Darah tumpah, nyawa melayang.

Indonesia Satu, jika kita mengedepankan semangat egaliter, adalah suatu kesatuan yang utuh. Tak melihat suku, ras, terlebih keyakinanan. Kita ingat anak-anak muda tahun 1920-an. Jong Java, Jong Sumatera, Jong Bataks, Perkumpulan Kaoem Betawi, Sekar Roekoen Sunda, Jong Jelebes, dan Jong Ambon melebur dan kemudian memproklamirkan Sumpah Pemuda yang menggetarkan itu, 28 Oktober 1928.

Tak hanya sekadar jargon. Bung Hatta, di depan hakim-hakim pengadilan Den Haag 1928, dalam pledoi berjudul Indonesia Vrij mengutip pujangga Belgia Rene de Clercq:

Er is maar een land
dat mijn land kan zijn,
Het groeit met de daad,
En die daad is mijn.

Hanya ada satu negara,
yang menjadi negaraku
Ia tumbuh dengan perbuatan,
dan perbuatan itu perbuatanku.


Dari waktu ke waktu, makna persatuan kian hambar. Yang ada hanyalah komunitas-komunitas dengan uniform yang melahirkan sekat. Kita pun telah terbiasa dengan kata 'kami' atawa 'kalian'. Dari sini lalu muncul keakuan, fanatisme, serta reaksi yang cenderung negatif yang emoh menerima kenyataan. Dengan kata lain, kita kian alergi terhadap persatuan, di mana semua kepentingan kelompok serta pribadi disalibkan.

Copa Dji Sam Soe, jelas, bukan sekadar pesta sepak bola terakbar di Indonesia. Ini juga bukan soal uang Rp 7,67 miliar, Bung! Ini tentang nation yang kehilangan 'roh' nasionalismenya. "Manusia tak hanya hidup dari roti saja," bentak Yesus kepada kaum hipokrit Jahudi, beratus-ratus abad lampau. Uang dan roti merupakan perkara sekunder. Yang terpenting, bagaimana Indonesia Satu dapat segera terwujud. Bukanlah suatu kebetulan jika tema Copa kali ini bertajuk Indonesia Satu. Ini mengingatkan kita semua bahwa ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang hilang itu yakni suara hati. Suara hati sebagai satu bangsa.

Tatkala suara hati hilang, kita tak cuma berbenturan dengan konfikl, melainkan juga susah untuk berpikir cerdas. Syahdan, kita ingat Buddha Gotama. Kata Gotama, sengketa dan konflik timbul dari pandangan yang sempit. "Terikat pada pandangan sempit, orang jadi begitu kusut sehingga tak lagi mengijinkan terbukanya pintu kebenaran".

Bagaimana caranya menjadi satu? Kita mungkin bisa memetik elan kerinduan pemuda-pemuda Indonesia tahun 1920-an tentang Indonesia Satu yang terekam dalam puisi Sanusi Pane:

O, balam tawanan, lihat burung di puncak kayu
Bunyinya riang, berlompat-lompat bersuka diri
Kebebasan jiwa, kelepasan badan, itulah cita

Minggu, Oktober 26, 2008

If

Penyesalan memang selalu datang terlambat. Dan ketika tim nasional Indonesia dinyatakan menang WO (3-1) atas Libya di ajang Piala Kemerdekaan 2008 beberapa waktu lalu, tak banyak yang bertepuk tangan untuk Charis Yulianto dkk. Libya, yang lebih dulu unggul 0-1 lewat gol Abdalla Mohamed dimenit 14, memutuskan emoh melanjutkan pertandingan babak kedua setelah Gamal Adeen M Nowara, pelatih Libya, mengaku dipukul salah seorang ofisial Indonesia. Insiden dipicu dari persoalan sepele: Nowara merasa keberatan atas kepemimpinan wasit Shahabuddin Moh Hamiddin, asal Brunai Darussalam, yang ditudingnya memihak Indonesia.

Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Demikian pepatah lawas. Protes Nowara malah memantik emosi salah seorang ofisial Indonesia. Singkat kata, tindakan tak terpuji itu pun terjadi. Citra Indonesia sebagai tuan rumah tercoreng, meninggalkan catatan yang tak sedap untuk dikenang. “Kita menang hambar,” kata Benny Dollo, pelatih Indonesia.

Jamak, kalau pelatih yang akrab disapa Bendol ini sedih. Sebagai coach, Bendol ingin seperti Bertje Matulapelwa, atawa Nandar Iskandar. Bertje sukses membawa skuad Merah Putih juara Piala Kemerdekaan 1987. Tim besutan Bertje menggebuk Aljazair, 2-1. Kedua gol Indonesia dicetak Ricky Yakob serta Ribut Waidi. Gol tunggal Aljazair diceploskan Kabrane Amar. Tahun 2000, giliran Nandar. Kala itu, Indonesia melumat Irak dengan skor 3-1. Ketiga gol disarangkan Aji Santoso, Bima Sakti, dan Gendut Doni.

Piala Kemerdekaan pertama kali digelar tahun 1985. Cili mengukuhkan diri sebagai juara. Kemudian tahun 1986. Aljazair mengukuhkan diri sebagai yang terbaik. Setahun kemudian Indonesia. 1988 China. 1990 Australia. Selanjutnya tahun 1992 Malaysia, tahun 1994 Thailand, dan terakhir tahun 2000.

Tadinya, pecinta sepak bola di Tanah Air berharap, Bendol dapat mengulangi pencapaian Bertje maupun Nandar. Di tengah kemelut demi kemelut yang terjadi di tubuh PSSI era Nurdin Halid kini serta prestasi timnas yang jeblok, Piala Kemerdekaan diharapkan semacam oase di padang pasir. Selain itu, Piala Kemerdekaan merupakan 'candradimuka' pra Piala AFF, Desember 2008. Tapi apa mau dikata. Nasi sudah menjadi bubur. Seperti Bendol, jutaan pendukung Merah Putih pun berkata sama: “Kita menang hambar”.

Jika saja insiden pemukulan itu tak terjadi, kita tak mungkin menanggung malu seperti ini. Katakanlah kita kalah, namun kalah secara terhormat. Demikan halnya kalau menang. Karena kalah atawa menang dalam palagan olahraga merupakan hal yang lumrah. Itulah sebabnya, waktu Charis Yulianto dkk mengangkat piala tinggi-tinggi, tak semua kita bangga. Soalnya, proses menuju kepada kemenangan tersebut abnormal.

Penyesalan memang selalu datang terlambat. Kita ingat Henry Tandey, dalam konteks yang lain, tentu saja. Tandey adalah anggota Resimen Duke Wellington Angkatan Darat Inggris. Perang Dunia I berkecamuk. Tandey berangkat ke sebuh negara yang jauh, Marcoing, Prancis, di suatu hari di bulan September 1918. Beban yang dipikul Resimen Duke Wellington tak main-main: Merebut desa Marcoing dari cengkraman Jerman.

Tentara Inggris terhadang jembatan yang rusak. Jembatan ini harus diperbaiki. Tapi siapa yang berani? “Aku”, kata Tandey. Tandey segera berlari di antara desingan pelor musuh. Dengan gerakan terlatih juga cepat, Tandey menaruh kayu-kayu di atas jembatan. Pasukan Inggris berhasil masuk. Pertempuran jarak dekat terjadi. Pasukan Jerman terdesak. Kocar-kacir. Dari sini kemudian sejarah itu terjadi. Sejarah yang tak pernah dilupakan Tandey, sampai dia meninggal tahun 1977 dalam usia 86.

Tandey membidikkan senapannya kepada seorang tentara Jerman. Tentara itu terluka, berjalan tertatih-tatih, menatap moncong senjata Tandey dengan pasrah. Tandey tak tega. Tentara Jerman itu mengangguk tanda terima kasih lalu berlalu dari hadapan Tandey.

Atas jasanya tersebut, 17 Desemeber 1919, bertempat di Istana Buckingham, Raja George V menganugrahi Tandey medali Victoria Cross. Harian London, Gazette, menurunkan laporan perihal penyematan medali itu disertai lukisan yang menampilkan Tandey memapah rekannya yang terluka pascapertempuran di Ypres. Sebuah lukisan yang dramatis hasil karya seniman Italia, Fortunino Matania.

Tentara Jerman yang beruntung itu tak lain adalah Adolf Hitler. Ia sendiri tak pernah melupakan peristiwa itu. Setelah menjadi Kanselir Jerman pada tahun 1933, ia memerintahkan stafnya mendapatkan copy lukisan Fortunino Matania dan memajangnya di rumah peristirahatannya di puncak gunung Berchtesgaden.

Kepada semua tamunya, termasuk Perdana Menteri Inggris Neville Chamberlain yang berkunjung ke Jerman tahun 1938 guna merundingkan persoalan Ceko-Slovakia, Hitler mengatakan,” Orang ini bisa menewaskan saya dan saya sudah berpikir tidak bisa melihat Jerman lagi. Kehendak mulia telah menyelamatkan jiwa saya dari tembakan akurat sewaktu pemuda Inggris itu membidik”. Melalui Chamberlain, Hitler menitipkan salam buat Tandey.

Dan kita tahu, sejak saat itu, Hitler mengamuk, meluluh-lantakkan Eropa. Jutaaan orang mati atau dimatikan. “Saya minta ampun kepada Tuhan karena telah membiarkan dia hidup,” sungut Tandey.

Yang Asing

26 Juli 1953. Serangan ke Moncada Barrack, Santiago, Cuba, itu gagal total. Tadinya, serangan tersebut diharapkan dapat menyulut pemberontakan terhadap sang penguasa, Jenderal Fulgencio Batista. Batista dianggap telah melanggar UU 1970 dan menobatkan dirinya sebagai tiran, setelah berhasil mendongkel kekuasaan Presiden Carlos Prio Socarras.

Syahdan, Fidel Castro, aktor intelektual di balik serangan Moncada Barrack, ditangkap. Dia - melalui pengadilan yang berpihak kepada penguasa, tentu saja - dijatuhi hukuman 15 tahun penjara. Tentang ini, Castro berkata,”La historia meabsolvera”. Sejarah akan membebaskan aku!

Castro tak asal ucap. Benar saja. Tahun 1955 dia dibebaskan, berdasarkan amnesti. Penjara tak membuat nyali Castro ciut. Dia galang kebencian anti Batista. Dan berhasil. Desember 1958, El Commandante berhasil menggebug tentara Batista, lewat perjuangan berselimut elan yang tak putus-putus serta yel-yel patriotisme: Patri O Muerte Venceremos. Tanah Air atau Mati, Kita Pasti Menang.

Batista terjungkal, hengkang ke Dominika. Castro, ditemani Ernesto Che Guevara - sahabat seperjuangannya – masuk Havana dengan langkah kemenangan. Cuba, negara penghasil tebu, mendeklarasikan diri sebagai negara sosialis. Cuba berbenah. Pemerintahan revolusioner menasionalisasikan bank-bank swasta asing dan dalam negeri, termasuk 382 perusahaan industri raksasa dalam negeri.

Sesuatu yang asing tak melulu menggairahkan, memang. Dengan kata lain, dia dapat melemahkan. Bahkan menggerogoti. Tak hanya Castro yang alergi. Soekarno pun melakukan kebijakan itu. Soekarno pernah mengeluarkan UU Nomor 86/1958 tentang Nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing, termasuk di sektor pertambangan. Lalu UU No 44/1960 yang mempertegas pengelolaan minyak dalam kontrol negara, menyerahkan skema profit-sharing agreement (PSA) 60:40.

Haruskan yang asing dijauhi? Bisa ya, bisa bisa tidak. Tergantung untung rugi dan sikap pemerintah yang tengah berkuasa. Tatkala Malaysia mengeluarklan maklumat, bahwa pemain asing tak lagi diperbolehkan bermain di liga sepak bola domestik mulai musim mendatang, kita, di sini, tersentak. Negara serumpun itu, tak hanya mengagetkan kita ihwal Tenaga Kerja Indonesia (TKI) atawa klaim mereka tentang reog dan rendang, pun perairan Ambalat, tapi juga soal pemain sepak bola asing.

Berkatalah Khairy Jamaluddin, Wakil Feferasi Sepak Bola Malaysia,”Kehadiran pemain asing mematikan bakat pemain lokal. Pemain lokal jadi tak berkembang. Sebelum kian terpuruk, ini harus segera dihentikan”. Alasan lain, kata Jamaluddin, di samping untuk menyelamatkan keuangan negara, pemain asing menyusahkan klub-klub dalam segi finansial.

Indonesia, bagaimana? Sepak bola Indonesia merupakan ladang rezeki bagi puluhan pemain asing, sejak Liga Indonesia digelindingkan tahun 1994. Boleh dibilang, hampir semua klub Divisi Utama memiliki legiun asing. Beberapa di antara mereka mengantongi gaji lebih besar dari pemain lokal. Perlakuan klub terhadap mereka juga lebih mencolok. Soal kualitas, pemain lokal tak kalah, sebenarnya. Tapi apa mau dikata. Kita toh telah terlena dengan sesuatu yang import.

Padahal, kalau mau jujur, made in lokal tak kalah hebat. Castro pernah menelepon seorang perempuan Cuba yang telah menjadi warga negara Prancis. “Apa komentar Anda tentang camembert (keju model Prancis) yang dibuat di Cuba?”. Si perempuan menjawab sumir,”Terlalu asin”. Dua bulan kemudian, El Commandante kembali menelepon si perempuan. “Wah, Anda salah. Saya sudah mendatangkan keju buatan Prancis. Ternyata lebih asin dari keju buatan Cuba”.

Bagaimana, Pak Nurdin Halid?

PSSI dan Sophia Loren

Siapa yang ingin menjadi Ketua Umum PSSI baiklah dia mampu mengendalikan diri. Dan orang yang mampu mengendalikan diri cenderung mengedepankan kepentingan orang banyak ketimbang kepentingan diri sendiri. Seorang pemimpin juga harus imun godaan. Dengan kata lain, pengendalian diri adalah harga mati.

Ihwal godaan ini, kita ingat sebuah anekdot yang diceritakan Bung Karno kepada Cindy Adams dalam Otobiografi Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia Edisi Revisi 2007: Pada suatu hari, Sophia Loren, bintang film kesayanganku mengetuk pintu sorga sambil merayu St. Petrus. "Aku Sophia Loren. Dapatkah Anda mengizinkan aku masuk sorga?

Sambil mengerutkan alis matanya penuh teka-teki, St. Petrus menjawab,"Tunggu sebentar. Aku akan periksa dulu daftarnya". Kemudian St. Petrus memeriksa dengan teliti gulungan daftar, sambil mulutnya komat-kamit. Dia lalu berkata,"Loren...Loren... S-O-P.... Tidak ada. Aku tidak melihat namamu di dalam catatan. Maaf, engkau tidak bisa masuk".
Dengan sedih, Sophia Loren memohon,"Tolonglah St. Petrus yang baik hati. Izinkanlah aku masuk".

Lalu St. Petrus menghibur. "Ya, aku orang yang bersifat adil. Aku kasih tahu yang harus kau lakukan. Kalau engkau bisa lulus ujian, kami akan memperbolehkanmu masuk. Nah, di sana ada danau dengan sebuah titian yang sangat kecil terentang di atasnya. Kalau engkau bisa selamat meniti ke seberang, aku jamin engkau diterima".
Tanya Sophia,"Tetapi apa kesulitannya untuk menyeberang?" St. Petrus berbisik,"Bagaimanapun, orang-orang yang punya dosa tak akan berhasil. Mereka selalu jatuh ke dalam air".
Maka keduanya berjalan meniti jembatan itu, yang seperti dikatakan St. Petrus, sangat sempit. Mereka harus meniti pelan-pelan dan beriringan. St. Petrus berjalan di belakang tamunya. Sophia yang memiliki bentuk tubuh menggairahkan itu mengenakan baju yang sangat ketat dan diwaktu dia berjalan, dia menggoyang-goyangkan pantatnya hingga menimbulkan rasa birahi. St. Petrus memperhatikannya dari belakang dan tiba-tiba disaat Sophia selamat sampai di seberang terdengar bunyi debur yang keras di belakangnya. St. Petrus tercebur.

Cerita di atas memang hanya anekdot semata. Namun, pesan yang disampaikannya teramat dalam. Kita tahu siapa St. Petrus. Dia – seperti yang termaktub dalam Injil – merupakan satu dari 12 murid Yesus. Pascapenyaliban Yesus, St. Petrus ini, yang dulunya hanya seorang penjala ikan dan kemudian diubahkan menjadi penjala manusia tampil sebagai yang terdepan dalam meneruskan ajaran gurunya. Dan dia sukses luar biasa, kendati bersua ajal di Italia dengan cara disalibkan terbalik : kaki di atas, kepala di bawah.

Dalam penangkapan saya, St. Petrus yang dimaksud Bung Karno semacam kiasan bahwa ‘orang suci’ sekali pun – jika tak dapat mengendalikan diri – bisa tergelincir.

Gonjang-ganjing sepak bola Indonesia, sampai tulisan ini saya turunkan, tak jua selesai. Nurdin Halid, Ketua Umum PSSI, yang kini meringkuk di dalam penjara emoh meletakkan jabatan. Tak hanya sebagian besar pecinta sepak bola nasional, juga otorita sepak bola dunia, FIFA, pun mendesak agar Nurdin legowo mundur.

Yang menggelitik hati saya, desakan mundur yang dialamatkan kepada Nurdin begitu teramat masif. Sayang, hal tersebut tak sepadan dengan calon-calon yang ingin menggantikan posisi Nurdin. Artinya, semua calon saling menunggu guna tampil ke permukaan.

Siapa pun yang jadi orang No.1 di PSSI, saya tak peduli. Seperti yang lain, saya ingin ketua baru kelak adalah seorang yang mampu bertarak dari godaan dan tak menjadikan sepak bola nasional sebagai kendaraan politik.

Tragedi Gibran

Aku ini May, sebuah gunung berapi kecil yang kawahnya sudah tertutup. Andaikan aku mampu menulis sesuatu yang indah dan hebat, aku akan sembuh sama sekali. Andaikan aku bisa menjerit, kesehatanku akan pulih kembali.

Tapi apa boleh buat, Kahlil Gibran tak jua sembuh. Penyair cemerlang kelahiran Bisharri, Libanon, 6 Januari 1883 itu akhirnya menghembuskan napas terakhirnya pada suatu hari di tahun 1931 di kota New York, AS, dalam usia 48 tahun.

Seniman bohemian itu, seperti ditulis dalam biografinya berjudul Man and Poet oleh Suheil Bushrui dan Joe Jenkis, Gibran terkena penyakit sirosis hati dan tuberkulosisi di sebelah paru-parunya.

Kematian Gibran adalah sebuah keironisan, jika ditilik dari perspektif percintaan. Tulisan-tulisan Gibran menjadi inspirasi jutaan orang tentang cinta.

Hubungan asmaranya dengan May Ziadah - seorang sastrawati terkemuka Arab yang tinggal di Mesir – terjalin hanya lewat surat menyurat tanpa pernah bertemu muka sekali pun. Dan itu berlangsung selama 20 tahun!

Berjam-jam lamanya aku memikirkanmu, berbicara denganmu, berusaha menemukan rahasiamu, mencoba menguraikan rahasaia.

Dua puluha tahun bukanlah waktu yang singkat, tentu saja. Terlebih bagi mereka yang dibekap cinta. Kegetiran cinta Gibran – maaf kalau saya agak berlebihan – seumpama nasib sepak bola kita kini: amburadul. Kita tak lagi disegani, jangankan di level Asia , di Asia Tenggara saja kita sudah tak dipandang. Prestasi terbaik kita di Asia Tenggara tertoreh tahun 1991 dengan merebut medali emas. Sedangkan di Asia, tahun 1987. Saat itu, Ricky Yacobi dan kawan-kawan bertenger di peringkat empat Asian Games. Pascaitu, prestasi Indonesia terjun bebas.

Ini adalah sebuah keironisan, mengingat kita memiliki segalanya. Kita punya sumber daya manusia, dari Sabang hingga Merauke. Stadion-stadion yang cukup bagus yang terdapat di hampir seluruh provinsi. Dana yang melimpah. Sayang, semua ini tak didukung dengan kinerja baik pengurus-pengurus PSSI. Boro-boro mau meningkatkan prestasi, Nurdin Halid, Ketua Umum PSSI malah meringkuk di bui. Eksistensi PSSI era Nurdin Halid benar-benar minus, tak hanya di mata pecinta sepak bola nasional, tapi juga badan tertinggi sepak bola dunia, FIFA.

Apa sebenarnya yang kau cari, Nurdin? “Mimpi saya adalah membuat pemain-pemain muda Indonesia bisa bermain di klub eropa, sehingga Indonesia bisa maju ke pentas dunia 2014,” kata Nurdin Halid, dalam buku panduan Piala Asia 2007.

Mimpi memang mengasyikkan, tapi sekaligus menggelisahkan. Dengan kata lain, bila mimpi itu berbuah kenyataan tentulah mendatangkan kegirangan dan damai sejahtera yang meluap-luap. Akan tetapi, kalau gagal, betapa menyakitkan. Belum lagi mimpi terealisasi, Nurdin Halid malah masuk penjara. Bahkan, kursi yang ditinggalkannya jadi rebutan.

Mau ke mana sebenarnya sepak bola nasional kita? Pertanyaan sederhana namun butuh kontemplasi panjang guna menjawabnya. Semua pecinta sepak bola di Republik ini tentu ingin kedigdayaan tim Merah Putih beberapa tahun lalu kembali tercipta, bahkah mentas di Piala Dunia. Tapi, dengan kondisi seperti sekarang, dapatkah itu terwujud? Jawabnya tentu tidak. Kita harus realistis.

Dan ketika kenyataan menjelma menjadi jarak yang terbantahkan, May Ziadah pun melayangkan sepucuk surut buat Gibran: Surya tenggelam di bawah cakrawala nun jauh di sana, dan di sela awan-awan senja yang aneh bentuknya dan mempesona, muncullah sekunar bintang, Bintang Johar, Dewi Cinta. Dalam hati aku bertanya, apakah bintang ini juga dihuni oleh insane seperti kita yang saling mencinta dan memendam rindu…?

Senandung Tagore

RABINDRANATH Tagore, penyair cemerlang India itu lahir di Calcutta 1861 dan mangkat 1941. Tagore, jika ditilik dari kesehariannya, tak hanya seorang penyendiri, tapi juga anti kekerasan. Pada 1919, ia mengembalikan gelar bangsawan "Sir" kepada Kerajaan Inggris sebagai protes terhadap kekejaman imperial Inggris dalam memadamkan pemberontakan di Amritsar, India.Tentang ini, Tagore - Orang pertama Asia yang meraih Nobel 1913 lewat Gitanjali – mengatakan lewat sepenggal pusi:

Hati manusia cemas oleh bara kegelisahan,

Oleh racun kepentingan diri,

Oleh dahaga tak kenal akhir

Tagore tak sampai di situ. Seperti air, dia terus bergerak, menjadi makna, sekaligus inspirasi. Di Indonesia, Tagore memikat Ki Hadjar Dewantara. Ki Hadjar, yang juga kita kenal lewat karya apiknya berjudul Als ik eens Nederlander was kemudian mendirikan Taman Siswa karena terpengaruh perguruan Santi Niketan yang didirikan Tagore pada 1901, yang, pada tahun 1922 berkembang menjadi Universitas Visva-Bharati. Visva-Bharati mengedepankan pembangunan pedesaan dengan menghidupkan kebudayaan dan pertukangan kerajinan India.

Tagore tak punya afiliasi dengan sepak bola. Dia, dengan kata lain, tak seheboh legenda sepak bola dunia, katakanlah seperti Pele atawa Maradona. Kendati begitu, Tagore mengajarkan kita tentang substansi dari sepak bola itu sendiri, yakni legowo menerima kegagalan.

Janjikanlah padaku agar aku tidak menjadi seorang pengecut: Tidak hanya sanggup

merasakan keagunganMu dalam keberhasilanku tetapi juga dapat merasakan

genggamanMu di dalam kegagalanku

KEGAGALAN! Sebuah kata yang menyesakkan. Namun, jika kita mau sedikit arif, kegagalan adalah password menuju gemilang. Dalam makna lain, seperti yang acapkali kita dengar dari generasi ke generasi, kegagalan adalah sukses yang tertunda. Dan menggapai keberhasilan, tentu saja tak mudah. Butuh kerja keras, pun totalitas. “Revolusi bukanlah sebuah jamuan pesta makan”, kata Mao Tse Tung. Revolusi Mao mendorong gerakan rektifikasi yang menjungkirbalikkan supremasi yang sebelumnya tidak bisa diganggu-gugat. 1 Oktober 1949 Negara komunis China berdiri, setelah bertempur habis-habisan dalam long march yang berliku-liku dengan tentara Chiang Kai Sek.

Kegagalan juga mengajarkan kita untuk menentukan arah. Kalau Anda bertanya soal arah pembinaan sepak bola nasional kepada pengurus PSSI kini, saya yakin seyakin-yakinnya, mereka pasti gagap. Tak punya jawaban. Lumrah jika sepak bola nasional jadi wadah untuk hal-hal yang tidak-tidak yang ujung-ujungnya mencederai hati pecinta sepak bola nasional.

Apa yang harus kita perbuat? Kita ingat Wiji Thukul. Ketika keangkaramurkaan merajela dan hati nurani dibekap, Thukul berteriak lantang : Lawan. Aktivis asal Solo, Jawa Tengah itu, yang tahun 2002 dianugrahi Yap Thiam Hien Award, memang mati atau dimatikan oleh rezim Orde Baru, 1998. Thukul – kendati tak banyak yang tafakur untuknya - mengajarkan kita bahwa kesemena-menaan harus dilawan. Bukankah, Vox Populi Vox Dei?

Vox Populi Vox Dei

Intifadah


Anak-anak muda itu berdiri di depan Sekretariat PSSI Senayan, Jakarta , beberapa saat sebelum duel Bayern Munchenversus tim nasional Indonesia dihelat. Mereka mengacungkan jari tengah lalu berdendang:

…memang aneh sepak bola Indonesia

banyak orang-orang bilang

tak punya uang tak menang…

Mereka terus bernyanyi, tak henti. Wajah-wajah yang merah. Urat-urat leher yang tegang mengeras, melingkar-lingkar, bagai akar.

…suporter bersatu tak bisa dikalahkan

suporter bersatu tak bisa dikalahkan

suporter bersatu tak bisa dikalahkan…

Paduan suara keprihatinan, di tengah ingar-bingar sepak bola Eropa dan Amerika Latin. Hujan prestasi, bertabur bintang. Sementara, di sini, di Republik ini, kita masih berkutat dengan persoalan yang tak kunjung finish. Sepak bola nasional yang runyam. Sepak bola tipu-tipu. Sepak bola, yang -menurut seorang teman- lebih mengedepankan kepentingan politik ketimbang prestasi.

Haruskah diri berdiam? Tidak. Suporter-suporter itu, anak-anak muda yang berdiri itu tak akan berdiam. Mereka terus bergerak, seperti hari-hari kemarin. Terus dan terus, merangsek ke depan. Kesemena-menaan harus segera disudahi. Sampai kapan? Entahlah. Perjuangan toh tak cuma membutuhkan elan yang berapi-api, tapi juga totalitas. Kita ingat anak-anak muda Palestina dan sebuah kata yang mengetarkan: Intifadah.

Intifadah lahir tatkala jalur-jalur diplomasi mandek, juga kesuksesan Revolusi Islam Iran mendongkel kekuasaan Syah Reza Pahlevi, 1979. Dengan kata lain, intifadah, -yang berasal dari bahasa Arab yang berarti menggetarkan atawa mengguncang- merupakan reaksi atas kegagalan metode perjuangan yang dilakukan oleh negara-negara Arab terhadap Israel . Intifadah menyulut nasionalisme, meski peluru tajam dihadapi dengan batu. Anak-anak muda itu tetap berdiri, dengan gigi yang berkertak, di hadapan tank dan panser.

Semangat Revolusi Islam di bawah komando ulama gaek, Ayatullah al Uzhma Ruhullah al Musawi Khomeini, memikat hati pemuda Palestina. Di mata mereka, Khomeini merupakan inspirasi. “Kemenangan Revolusi Islam di Iran,” kata Dr. Fahmi Syaqaqi, Sekretaris Jenderal Organisasi Jihad Islam Palestina, ”mengembalikan keyakinan semua muslim di dunia akan ideologi dan agama, dan membuktikan bahwa Islam adalah kekuatan yang tak terkalahkan. Revolusi Islam telah menghidupkan kekuatan pemberontakan rakyat Palestina”.

Revolusi Islam tak lahir begitu saja. 17 Januari 1978, Reza Pahlevi, lewat sebuah artikel di koran Ittila’at mendiskreditkan Khomeini. Fakta diputarbalikkan. Ribuan pendukung Khomeini marah. Emosi di ubun-ubun. Jalan-jalan protokol di Iran dijejali demonstran. Pahlevi marah. Peluru pun menyalak. Mayat-mayat bergelimpangan. Kematian para syuhada berbuntut demonstrasi lanjutan. Rakyat -tanpa memandang golongan- bersatu, bergandengan tangan. Sejarah lalu mencatat, Pahlevi tumbang, tergusur dari singgasana Tahta Merak-nya yang telah berusia 2.500 tahun.

Anak-anak muda yang marah, yang berdiri di depan Sekretariat PSSI Senayan sana , bagi saya, adalah intifadah dalam ‘ medan pertempuran' lain. Mereka mengingatkan kita bahwa sepak bola nasional harus segera dibenahi. Dan itu membutuhkan komitmen, terlebih keyakinan.


Bercokolnya Israel di Palestina memantik emosi Khomeini. Dalam pertemuan dengan sejumlah perwakilan Arab di Iran, 13 Juni 1982, berkatalah Khomeini:

Apakah jumlah kalian kecil?

Apakah kekayaan kalian sedikit?
Apakah minyak kalian remeh?

Apakah wilayah kalian sempit?

Tidakkah kalian mempunyai pusat-pusat penting yang strategis?

Semua perangkat ada. Hanya satu yang hilang, yaitu keyakinan.

Saya dan seluruh pecinta sepak bola di negara ini berharap, anak-anak muda yang berdiri di Sekretariat PSSI Senayan sana tak akan kehilangan keyakinan. Seperti lagu mereka:

suporter bersatu tak bisa dikalahkan


Ashe dan Soeratin

Arthur Ashe bukan pemain sepak bola. Tapi, jika Anda ingin menghayati makna kerendahan hati, baiklah menjadikannya sebagai referensi. Ashe - laki-laki berkulit gelap itu – merupakan petenis cemerlang Amerika. Dia menyabet tiga gelar bergengsi, Grand Slam, yakni Amerika Open (1968), Australia Open (1970), juga Wimbledon (1975).

1979, dia terkena serangan jantung dan mengharuskannya menjalani operasi jantung, by pass. Ashe pasrah, tergolek di atas kasur. Dia tak berontak, bersungut-sungut apalagi. Operasi pertama bergulir sonder hasil. Demikian pula operasi kedua. Bahkan, Ashe kudu menerima kenyataan pahit: terinfeksi virus HIV melalui transfusi darah yang dia terima.

Seorang penggemarnya tak bisa terima, lalu melayangkan sepucuk surat. “Mengapa Tuhan memilihmu untuk menderita penyakit itu?” Ashe menjawab. “Di dunia ini” tulisnya, ”Ada 50 juta anak yang ingin bermain tenis. Lima juta di antaranya bisa belajar bermain tenis. Lima ratus ribu belajar menjadi pemain tenis profesional. Lima puluh ribu datang ke arena untuk bertanding. Lima ribu mencapai turnamen Grand Slam. Lima puluh orang berhasil sampai ke Wimbledon. Empat orang sampai semifinal. Dua orang berlaga di final. Dan ketika aku keluar sebagai juara dan mengangkat trofi Wibledon, aku tak pernah bertanya kepada Tuhan, “Mengapa saya?”.

Paradoks, memang. Namun, adakalanya hambatan atawa persoalan membuat seseorang kian arif merespon hidup. Hidup toh tak melulu linear. Artinya, hidup, dengan segala ritme yang disuguhkannya semacam solusi jitu guna menyadarkan hati yang angkuh. Keangkuhan tak hanya mendekatkan seseorang ke tubir kemalangan, tapi juga pengucilan.

Berkaca kepada Ashe, lamunan saya sontak menuju kepada pengurus-pengurus PSSI. Bagaimana tidak. Beberapa waktu lalu, PSSI menunda pertemuan dengan badan sepak bola dunia, FIFA, di Zurich, Swiss. Seyogyanya, pertemuan berlangsung 18 Agustus 2008, sesuai permintaan PSSI. Agendanya, terkait draf revisi pedoman dasar yang diminta FIFA. Persoalan internal PSSI yang tak kunjung padam memantik perhatian FIFA, setelah Nurdin Halid masuk bui lantaran korupsi. Tak ada kepastian, kapan PSSI akan berangkat ke Zurich. Terbetik kabar, pengurus berangkat 25 Agustus.

PSSI, seiring berjalannya waktu, kian kehilangan wibawa. Tak punya kerendahan hati. Tak menjadikan persoalan, seperti kata Mao Tse Tung,” sebagai batu loncatan ke depan”. Lemah diperencanaan. Padahal, di awal-awal PSSI terbentuk, Soeratin - founding father yang juga Ketua Umum I PSSI - dalam Kongres Sewindu PSSI di Solo, 3 Juni 1938 meminta agar PSSI menjadikan pengalaman - apa pun bentuknya - sebagai pelajaran berharga.

“Kalau kami menengok ke belakang,” kata Soeratin,”Bolehlah kami mengucapkan syukur. Sebab dari semua kejadian, baik yang pahit, pedas dan getir maupun yang manis, sedap dan nyaman, kami dapat menarik pelajaran yang amat berharga”.

Apa mau dikata. Waktu terus bergerak, membentuk zaman. Dan tatkala zaman berganti, motivasi pun menjadi pertanyaan.

Kita ingat sepenggal tembang lawas Jawa, Dhandanggula:

Sepi sepen pamrihing diri

Suka paring pepadang

Mring petenge kalbu

Lumuh gawe kapitunan

Wani nglah minangka tebusaneki

Gubuying kang bebrayan