Jumat, November 28, 2008

Kita: AFF Suzuki Cup 2008

Saya ingin juara, walaupun persiapan tidak sesempurna seperti tim-tim lain. Kita tidak bisa pelatnas jangka panjang mengingat ada kompetisi dalam negeri. - Benny Dollo -


Dia lahir, hidup, mati, kemudian jadi legenda. Melintasi sungai, laut, gunung, lembah, juga pulau-pulau. Tentangnya kemudian, ada sesuatu yang kita petik, yakni, kesuksesan sonder kerja keras dan keyakinan adalah nonsen! Jenghis Khan, tentu saja.

Jenghis Khan, seperti yang ditulis John Man dalam bukunya berjudul Jenghis Khan, Legenda Seorang Penakluk Dari Mongolia, menggambarkan buat kita: Jenghis Ditakdirkan Langit untuk Meraih Kebesaran.

Meski begitu, KEBESARAN Jenghis tidaklah datang begitu saja dari langit, melainkan melalui pergumulan yang panjang. Man - sejarawan Inggris yang menaruh perhatian khusus terhadap Mongolia - menuliskan, saat berusia delapan tahun, Temujin - demikian nama masa kecil Jenghis Khan - dijodohkan oleh ayahnya, Yesugei, dengan Borte, anak pasangan suami istri dari klan Hoelun. Borte setahun lebih tua dari Temujin.

Untuk mengesahkan hubungan itu, Yesugei meninggalkan Temujin bersama calon mertua. Yusugei lalu pulang ke kampungnya, melewati padang rumput yang luas. Di tengah jalan, dia berpapasan dengan sekelompok orang Tatar yang tengah berpesta. Yesugei ditawari makan dan minum. Yesugei tak menampik, mengingat ini adalah keramahtamahan 'ala' padang rumput.

Setiba di rumah, tiga hari berselang, dia jatuh sakit. Tak lama, Yesugei mangkat. Kecurigaan mengarah kepada orang-orang Tatar. Sebelum bersua ajal, Yesugei menyuruh orang memanggil Temujin.

Dari sinilah sejarah itu bergulir...

Hoelun, istri Yesugei, hidup tanpa seorang pelindung, di tengah alam bebas serta ancaman suku-suku lain. Namun, Hoelun seorang perempuan yang penuh elan. Dia menghidupi anaknya dengan buah maupun umbi dari lereng Burkhan Khaldun di sepanjang tepi sungai Onon. Temujin tumbuh di antara perang antar suku. Situasi menempanya menjadi laki-laki pemberani yang mahir memanah, menunggang kuda, berkelahi. Bakat kepemimpinannya, seiring dengan perjalanan waktu, kian kentara.

Suatu hari, saat Temujin berada di perkemahan Borte, suku Taychiut tiba-tiba menyerang. Penyebabnya, Temujin dianggap ancaman di masa datang. Temujin tertangkap, walau sempat menghirup udara bebas selama sembilan hari. Agar tak kabur, orang yang kelak menjadi penguasa seluruh Eurasia ini dipaksa memakai belenggu kayu berat yang dipasang di leher dan pergelangan tangannya. Temujin berhasil kabur, setelah terlebih dulu memperdaya penjaga. Dia berlari sekuat tenaga, masih dengan belunggu yeng menggandul. Dia kemudian membangun pasukan tempurnya. Memenangi banyak peperangan selanjutnya menjadi pemimpin Mongol: Jenghis Khan. Dia pun menikahi Borte, gadis kecilnya.

Saat kematiannya, 1227, Jenghis menguasai Samudera Pasifik hingga Laut Kaspia. Ini, menurut Man, empat kali lebih besar dari imperium Alexander Yang Agun dan dua kali lebih besar dari wilayah taklukan Kekaisaran Romawi. Penerusnya melanjutkan penaklukan, sampai akhirnya kejayaan Mongol berakhir tahun 1337.

Jenghis adalah tipikal pemimpin yang, selain pekerja keras, jago strategi dan tegas, dia - dengan segala keterbatasan, pun tantangan - tak pernah merasa minder. Dengan kata lain, dia yakin mampu melakukan perkara besar, seperti katanya:

Di Khaldun Keramat
Aku adalah seekor kutu
Tapi aku berhasil lolos
Dan nyawaku terselamatkan

Dengan satu kuda
Mengikuti jejak rusa
Membuat tenda dari kulit kayu
Aku mendaki Khaldun

Di Khaldun keramat
Aku adalah seekor burung layang-layang
Tapi aku dilindungi


(Ayo Tim Merah Putih, bangkit dan jadilah pemenang. Bahkan lebih dari pemenang)

Sabtu, November 08, 2008

Copa Bergulir Sudah

Copa Dji Sam Soe 2008 digulirkan di tengah keprihatinan, juga segepok harapan. Lebih kurang 52 klub di seluruh Tanah Air bertarung, berikhtiar menjadi yang terbaik. Tema yang diusung tak main-main: Indonesia Satu. Tentang ini, berkatalah Stephanus Kurniadi, Brand Manager Dji Sam Soe," Copa Dji Sam Soe sebagai salah satu upaya pemersatu bangsa".

Tak ada yang salah dengan kalimat Stephanus Kurniadi. Tapi bisakah? Kita toh jago dalam menghapal, namun jeblok dalam tindakan. Kita ingat kerusahan demi kerusuhan yang terjadi, sambung menyambung tak kunjung usai. Caci maki antar suporter: Kebencian disemai sedemikan rupa. Darah tumpah, nyawa melayang.

Indonesia Satu, jika kita mengedepankan semangat egaliter, adalah suatu kesatuan yang utuh. Tak melihat suku, ras, terlebih keyakinanan. Kita ingat anak-anak muda tahun 1920-an. Jong Java, Jong Sumatera, Jong Bataks, Perkumpulan Kaoem Betawi, Sekar Roekoen Sunda, Jong Jelebes, dan Jong Ambon melebur dan kemudian memproklamirkan Sumpah Pemuda yang menggetarkan itu, 28 Oktober 1928.

Tak hanya sekadar jargon. Bung Hatta, di depan hakim-hakim pengadilan Den Haag 1928, dalam pledoi berjudul Indonesia Vrij mengutip pujangga Belgia Rene de Clercq:

Er is maar een land
dat mijn land kan zijn,
Het groeit met de daad,
En die daad is mijn.

Hanya ada satu negara,
yang menjadi negaraku
Ia tumbuh dengan perbuatan,
dan perbuatan itu perbuatanku.


Dari waktu ke waktu, makna persatuan kian hambar. Yang ada hanyalah komunitas-komunitas dengan uniform yang melahirkan sekat. Kita pun telah terbiasa dengan kata 'kami' atawa 'kalian'. Dari sini lalu muncul keakuan, fanatisme, serta reaksi yang cenderung negatif yang emoh menerima kenyataan. Dengan kata lain, kita kian alergi terhadap persatuan, di mana semua kepentingan kelompok serta pribadi disalibkan.

Copa Dji Sam Soe, jelas, bukan sekadar pesta sepak bola terakbar di Indonesia. Ini juga bukan soal uang Rp 7,67 miliar, Bung! Ini tentang nation yang kehilangan 'roh' nasionalismenya. "Manusia tak hanya hidup dari roti saja," bentak Yesus kepada kaum hipokrit Jahudi, beratus-ratus abad lampau. Uang dan roti merupakan perkara sekunder. Yang terpenting, bagaimana Indonesia Satu dapat segera terwujud. Bukanlah suatu kebetulan jika tema Copa kali ini bertajuk Indonesia Satu. Ini mengingatkan kita semua bahwa ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang hilang itu yakni suara hati. Suara hati sebagai satu bangsa.

Tatkala suara hati hilang, kita tak cuma berbenturan dengan konfikl, melainkan juga susah untuk berpikir cerdas. Syahdan, kita ingat Buddha Gotama. Kata Gotama, sengketa dan konflik timbul dari pandangan yang sempit. "Terikat pada pandangan sempit, orang jadi begitu kusut sehingga tak lagi mengijinkan terbukanya pintu kebenaran".

Bagaimana caranya menjadi satu? Kita mungkin bisa memetik elan kerinduan pemuda-pemuda Indonesia tahun 1920-an tentang Indonesia Satu yang terekam dalam puisi Sanusi Pane:

O, balam tawanan, lihat burung di puncak kayu
Bunyinya riang, berlompat-lompat bersuka diri
Kebebasan jiwa, kelepasan badan, itulah cita