Minggu, Oktober 26, 2008

If

Penyesalan memang selalu datang terlambat. Dan ketika tim nasional Indonesia dinyatakan menang WO (3-1) atas Libya di ajang Piala Kemerdekaan 2008 beberapa waktu lalu, tak banyak yang bertepuk tangan untuk Charis Yulianto dkk. Libya, yang lebih dulu unggul 0-1 lewat gol Abdalla Mohamed dimenit 14, memutuskan emoh melanjutkan pertandingan babak kedua setelah Gamal Adeen M Nowara, pelatih Libya, mengaku dipukul salah seorang ofisial Indonesia. Insiden dipicu dari persoalan sepele: Nowara merasa keberatan atas kepemimpinan wasit Shahabuddin Moh Hamiddin, asal Brunai Darussalam, yang ditudingnya memihak Indonesia.

Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Demikian pepatah lawas. Protes Nowara malah memantik emosi salah seorang ofisial Indonesia. Singkat kata, tindakan tak terpuji itu pun terjadi. Citra Indonesia sebagai tuan rumah tercoreng, meninggalkan catatan yang tak sedap untuk dikenang. “Kita menang hambar,” kata Benny Dollo, pelatih Indonesia.

Jamak, kalau pelatih yang akrab disapa Bendol ini sedih. Sebagai coach, Bendol ingin seperti Bertje Matulapelwa, atawa Nandar Iskandar. Bertje sukses membawa skuad Merah Putih juara Piala Kemerdekaan 1987. Tim besutan Bertje menggebuk Aljazair, 2-1. Kedua gol Indonesia dicetak Ricky Yakob serta Ribut Waidi. Gol tunggal Aljazair diceploskan Kabrane Amar. Tahun 2000, giliran Nandar. Kala itu, Indonesia melumat Irak dengan skor 3-1. Ketiga gol disarangkan Aji Santoso, Bima Sakti, dan Gendut Doni.

Piala Kemerdekaan pertama kali digelar tahun 1985. Cili mengukuhkan diri sebagai juara. Kemudian tahun 1986. Aljazair mengukuhkan diri sebagai yang terbaik. Setahun kemudian Indonesia. 1988 China. 1990 Australia. Selanjutnya tahun 1992 Malaysia, tahun 1994 Thailand, dan terakhir tahun 2000.

Tadinya, pecinta sepak bola di Tanah Air berharap, Bendol dapat mengulangi pencapaian Bertje maupun Nandar. Di tengah kemelut demi kemelut yang terjadi di tubuh PSSI era Nurdin Halid kini serta prestasi timnas yang jeblok, Piala Kemerdekaan diharapkan semacam oase di padang pasir. Selain itu, Piala Kemerdekaan merupakan 'candradimuka' pra Piala AFF, Desember 2008. Tapi apa mau dikata. Nasi sudah menjadi bubur. Seperti Bendol, jutaan pendukung Merah Putih pun berkata sama: “Kita menang hambar”.

Jika saja insiden pemukulan itu tak terjadi, kita tak mungkin menanggung malu seperti ini. Katakanlah kita kalah, namun kalah secara terhormat. Demikan halnya kalau menang. Karena kalah atawa menang dalam palagan olahraga merupakan hal yang lumrah. Itulah sebabnya, waktu Charis Yulianto dkk mengangkat piala tinggi-tinggi, tak semua kita bangga. Soalnya, proses menuju kepada kemenangan tersebut abnormal.

Penyesalan memang selalu datang terlambat. Kita ingat Henry Tandey, dalam konteks yang lain, tentu saja. Tandey adalah anggota Resimen Duke Wellington Angkatan Darat Inggris. Perang Dunia I berkecamuk. Tandey berangkat ke sebuh negara yang jauh, Marcoing, Prancis, di suatu hari di bulan September 1918. Beban yang dipikul Resimen Duke Wellington tak main-main: Merebut desa Marcoing dari cengkraman Jerman.

Tentara Inggris terhadang jembatan yang rusak. Jembatan ini harus diperbaiki. Tapi siapa yang berani? “Aku”, kata Tandey. Tandey segera berlari di antara desingan pelor musuh. Dengan gerakan terlatih juga cepat, Tandey menaruh kayu-kayu di atas jembatan. Pasukan Inggris berhasil masuk. Pertempuran jarak dekat terjadi. Pasukan Jerman terdesak. Kocar-kacir. Dari sini kemudian sejarah itu terjadi. Sejarah yang tak pernah dilupakan Tandey, sampai dia meninggal tahun 1977 dalam usia 86.

Tandey membidikkan senapannya kepada seorang tentara Jerman. Tentara itu terluka, berjalan tertatih-tatih, menatap moncong senjata Tandey dengan pasrah. Tandey tak tega. Tentara Jerman itu mengangguk tanda terima kasih lalu berlalu dari hadapan Tandey.

Atas jasanya tersebut, 17 Desemeber 1919, bertempat di Istana Buckingham, Raja George V menganugrahi Tandey medali Victoria Cross. Harian London, Gazette, menurunkan laporan perihal penyematan medali itu disertai lukisan yang menampilkan Tandey memapah rekannya yang terluka pascapertempuran di Ypres. Sebuah lukisan yang dramatis hasil karya seniman Italia, Fortunino Matania.

Tentara Jerman yang beruntung itu tak lain adalah Adolf Hitler. Ia sendiri tak pernah melupakan peristiwa itu. Setelah menjadi Kanselir Jerman pada tahun 1933, ia memerintahkan stafnya mendapatkan copy lukisan Fortunino Matania dan memajangnya di rumah peristirahatannya di puncak gunung Berchtesgaden.

Kepada semua tamunya, termasuk Perdana Menteri Inggris Neville Chamberlain yang berkunjung ke Jerman tahun 1938 guna merundingkan persoalan Ceko-Slovakia, Hitler mengatakan,” Orang ini bisa menewaskan saya dan saya sudah berpikir tidak bisa melihat Jerman lagi. Kehendak mulia telah menyelamatkan jiwa saya dari tembakan akurat sewaktu pemuda Inggris itu membidik”. Melalui Chamberlain, Hitler menitipkan salam buat Tandey.

Dan kita tahu, sejak saat itu, Hitler mengamuk, meluluh-lantakkan Eropa. Jutaaan orang mati atau dimatikan. “Saya minta ampun kepada Tuhan karena telah membiarkan dia hidup,” sungut Tandey.

Yang Asing

26 Juli 1953. Serangan ke Moncada Barrack, Santiago, Cuba, itu gagal total. Tadinya, serangan tersebut diharapkan dapat menyulut pemberontakan terhadap sang penguasa, Jenderal Fulgencio Batista. Batista dianggap telah melanggar UU 1970 dan menobatkan dirinya sebagai tiran, setelah berhasil mendongkel kekuasaan Presiden Carlos Prio Socarras.

Syahdan, Fidel Castro, aktor intelektual di balik serangan Moncada Barrack, ditangkap. Dia - melalui pengadilan yang berpihak kepada penguasa, tentu saja - dijatuhi hukuman 15 tahun penjara. Tentang ini, Castro berkata,”La historia meabsolvera”. Sejarah akan membebaskan aku!

Castro tak asal ucap. Benar saja. Tahun 1955 dia dibebaskan, berdasarkan amnesti. Penjara tak membuat nyali Castro ciut. Dia galang kebencian anti Batista. Dan berhasil. Desember 1958, El Commandante berhasil menggebug tentara Batista, lewat perjuangan berselimut elan yang tak putus-putus serta yel-yel patriotisme: Patri O Muerte Venceremos. Tanah Air atau Mati, Kita Pasti Menang.

Batista terjungkal, hengkang ke Dominika. Castro, ditemani Ernesto Che Guevara - sahabat seperjuangannya – masuk Havana dengan langkah kemenangan. Cuba, negara penghasil tebu, mendeklarasikan diri sebagai negara sosialis. Cuba berbenah. Pemerintahan revolusioner menasionalisasikan bank-bank swasta asing dan dalam negeri, termasuk 382 perusahaan industri raksasa dalam negeri.

Sesuatu yang asing tak melulu menggairahkan, memang. Dengan kata lain, dia dapat melemahkan. Bahkan menggerogoti. Tak hanya Castro yang alergi. Soekarno pun melakukan kebijakan itu. Soekarno pernah mengeluarkan UU Nomor 86/1958 tentang Nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing, termasuk di sektor pertambangan. Lalu UU No 44/1960 yang mempertegas pengelolaan minyak dalam kontrol negara, menyerahkan skema profit-sharing agreement (PSA) 60:40.

Haruskan yang asing dijauhi? Bisa ya, bisa bisa tidak. Tergantung untung rugi dan sikap pemerintah yang tengah berkuasa. Tatkala Malaysia mengeluarklan maklumat, bahwa pemain asing tak lagi diperbolehkan bermain di liga sepak bola domestik mulai musim mendatang, kita, di sini, tersentak. Negara serumpun itu, tak hanya mengagetkan kita ihwal Tenaga Kerja Indonesia (TKI) atawa klaim mereka tentang reog dan rendang, pun perairan Ambalat, tapi juga soal pemain sepak bola asing.

Berkatalah Khairy Jamaluddin, Wakil Feferasi Sepak Bola Malaysia,”Kehadiran pemain asing mematikan bakat pemain lokal. Pemain lokal jadi tak berkembang. Sebelum kian terpuruk, ini harus segera dihentikan”. Alasan lain, kata Jamaluddin, di samping untuk menyelamatkan keuangan negara, pemain asing menyusahkan klub-klub dalam segi finansial.

Indonesia, bagaimana? Sepak bola Indonesia merupakan ladang rezeki bagi puluhan pemain asing, sejak Liga Indonesia digelindingkan tahun 1994. Boleh dibilang, hampir semua klub Divisi Utama memiliki legiun asing. Beberapa di antara mereka mengantongi gaji lebih besar dari pemain lokal. Perlakuan klub terhadap mereka juga lebih mencolok. Soal kualitas, pemain lokal tak kalah, sebenarnya. Tapi apa mau dikata. Kita toh telah terlena dengan sesuatu yang import.

Padahal, kalau mau jujur, made in lokal tak kalah hebat. Castro pernah menelepon seorang perempuan Cuba yang telah menjadi warga negara Prancis. “Apa komentar Anda tentang camembert (keju model Prancis) yang dibuat di Cuba?”. Si perempuan menjawab sumir,”Terlalu asin”. Dua bulan kemudian, El Commandante kembali menelepon si perempuan. “Wah, Anda salah. Saya sudah mendatangkan keju buatan Prancis. Ternyata lebih asin dari keju buatan Cuba”.

Bagaimana, Pak Nurdin Halid?

PSSI dan Sophia Loren

Siapa yang ingin menjadi Ketua Umum PSSI baiklah dia mampu mengendalikan diri. Dan orang yang mampu mengendalikan diri cenderung mengedepankan kepentingan orang banyak ketimbang kepentingan diri sendiri. Seorang pemimpin juga harus imun godaan. Dengan kata lain, pengendalian diri adalah harga mati.

Ihwal godaan ini, kita ingat sebuah anekdot yang diceritakan Bung Karno kepada Cindy Adams dalam Otobiografi Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia Edisi Revisi 2007: Pada suatu hari, Sophia Loren, bintang film kesayanganku mengetuk pintu sorga sambil merayu St. Petrus. "Aku Sophia Loren. Dapatkah Anda mengizinkan aku masuk sorga?

Sambil mengerutkan alis matanya penuh teka-teki, St. Petrus menjawab,"Tunggu sebentar. Aku akan periksa dulu daftarnya". Kemudian St. Petrus memeriksa dengan teliti gulungan daftar, sambil mulutnya komat-kamit. Dia lalu berkata,"Loren...Loren... S-O-P.... Tidak ada. Aku tidak melihat namamu di dalam catatan. Maaf, engkau tidak bisa masuk".
Dengan sedih, Sophia Loren memohon,"Tolonglah St. Petrus yang baik hati. Izinkanlah aku masuk".

Lalu St. Petrus menghibur. "Ya, aku orang yang bersifat adil. Aku kasih tahu yang harus kau lakukan. Kalau engkau bisa lulus ujian, kami akan memperbolehkanmu masuk. Nah, di sana ada danau dengan sebuah titian yang sangat kecil terentang di atasnya. Kalau engkau bisa selamat meniti ke seberang, aku jamin engkau diterima".
Tanya Sophia,"Tetapi apa kesulitannya untuk menyeberang?" St. Petrus berbisik,"Bagaimanapun, orang-orang yang punya dosa tak akan berhasil. Mereka selalu jatuh ke dalam air".
Maka keduanya berjalan meniti jembatan itu, yang seperti dikatakan St. Petrus, sangat sempit. Mereka harus meniti pelan-pelan dan beriringan. St. Petrus berjalan di belakang tamunya. Sophia yang memiliki bentuk tubuh menggairahkan itu mengenakan baju yang sangat ketat dan diwaktu dia berjalan, dia menggoyang-goyangkan pantatnya hingga menimbulkan rasa birahi. St. Petrus memperhatikannya dari belakang dan tiba-tiba disaat Sophia selamat sampai di seberang terdengar bunyi debur yang keras di belakangnya. St. Petrus tercebur.

Cerita di atas memang hanya anekdot semata. Namun, pesan yang disampaikannya teramat dalam. Kita tahu siapa St. Petrus. Dia – seperti yang termaktub dalam Injil – merupakan satu dari 12 murid Yesus. Pascapenyaliban Yesus, St. Petrus ini, yang dulunya hanya seorang penjala ikan dan kemudian diubahkan menjadi penjala manusia tampil sebagai yang terdepan dalam meneruskan ajaran gurunya. Dan dia sukses luar biasa, kendati bersua ajal di Italia dengan cara disalibkan terbalik : kaki di atas, kepala di bawah.

Dalam penangkapan saya, St. Petrus yang dimaksud Bung Karno semacam kiasan bahwa ‘orang suci’ sekali pun – jika tak dapat mengendalikan diri – bisa tergelincir.

Gonjang-ganjing sepak bola Indonesia, sampai tulisan ini saya turunkan, tak jua selesai. Nurdin Halid, Ketua Umum PSSI, yang kini meringkuk di dalam penjara emoh meletakkan jabatan. Tak hanya sebagian besar pecinta sepak bola nasional, juga otorita sepak bola dunia, FIFA, pun mendesak agar Nurdin legowo mundur.

Yang menggelitik hati saya, desakan mundur yang dialamatkan kepada Nurdin begitu teramat masif. Sayang, hal tersebut tak sepadan dengan calon-calon yang ingin menggantikan posisi Nurdin. Artinya, semua calon saling menunggu guna tampil ke permukaan.

Siapa pun yang jadi orang No.1 di PSSI, saya tak peduli. Seperti yang lain, saya ingin ketua baru kelak adalah seorang yang mampu bertarak dari godaan dan tak menjadikan sepak bola nasional sebagai kendaraan politik.

Tragedi Gibran

Aku ini May, sebuah gunung berapi kecil yang kawahnya sudah tertutup. Andaikan aku mampu menulis sesuatu yang indah dan hebat, aku akan sembuh sama sekali. Andaikan aku bisa menjerit, kesehatanku akan pulih kembali.

Tapi apa boleh buat, Kahlil Gibran tak jua sembuh. Penyair cemerlang kelahiran Bisharri, Libanon, 6 Januari 1883 itu akhirnya menghembuskan napas terakhirnya pada suatu hari di tahun 1931 di kota New York, AS, dalam usia 48 tahun.

Seniman bohemian itu, seperti ditulis dalam biografinya berjudul Man and Poet oleh Suheil Bushrui dan Joe Jenkis, Gibran terkena penyakit sirosis hati dan tuberkulosisi di sebelah paru-parunya.

Kematian Gibran adalah sebuah keironisan, jika ditilik dari perspektif percintaan. Tulisan-tulisan Gibran menjadi inspirasi jutaan orang tentang cinta.

Hubungan asmaranya dengan May Ziadah - seorang sastrawati terkemuka Arab yang tinggal di Mesir – terjalin hanya lewat surat menyurat tanpa pernah bertemu muka sekali pun. Dan itu berlangsung selama 20 tahun!

Berjam-jam lamanya aku memikirkanmu, berbicara denganmu, berusaha menemukan rahasiamu, mencoba menguraikan rahasaia.

Dua puluha tahun bukanlah waktu yang singkat, tentu saja. Terlebih bagi mereka yang dibekap cinta. Kegetiran cinta Gibran – maaf kalau saya agak berlebihan – seumpama nasib sepak bola kita kini: amburadul. Kita tak lagi disegani, jangankan di level Asia , di Asia Tenggara saja kita sudah tak dipandang. Prestasi terbaik kita di Asia Tenggara tertoreh tahun 1991 dengan merebut medali emas. Sedangkan di Asia, tahun 1987. Saat itu, Ricky Yacobi dan kawan-kawan bertenger di peringkat empat Asian Games. Pascaitu, prestasi Indonesia terjun bebas.

Ini adalah sebuah keironisan, mengingat kita memiliki segalanya. Kita punya sumber daya manusia, dari Sabang hingga Merauke. Stadion-stadion yang cukup bagus yang terdapat di hampir seluruh provinsi. Dana yang melimpah. Sayang, semua ini tak didukung dengan kinerja baik pengurus-pengurus PSSI. Boro-boro mau meningkatkan prestasi, Nurdin Halid, Ketua Umum PSSI malah meringkuk di bui. Eksistensi PSSI era Nurdin Halid benar-benar minus, tak hanya di mata pecinta sepak bola nasional, tapi juga badan tertinggi sepak bola dunia, FIFA.

Apa sebenarnya yang kau cari, Nurdin? “Mimpi saya adalah membuat pemain-pemain muda Indonesia bisa bermain di klub eropa, sehingga Indonesia bisa maju ke pentas dunia 2014,” kata Nurdin Halid, dalam buku panduan Piala Asia 2007.

Mimpi memang mengasyikkan, tapi sekaligus menggelisahkan. Dengan kata lain, bila mimpi itu berbuah kenyataan tentulah mendatangkan kegirangan dan damai sejahtera yang meluap-luap. Akan tetapi, kalau gagal, betapa menyakitkan. Belum lagi mimpi terealisasi, Nurdin Halid malah masuk penjara. Bahkan, kursi yang ditinggalkannya jadi rebutan.

Mau ke mana sebenarnya sepak bola nasional kita? Pertanyaan sederhana namun butuh kontemplasi panjang guna menjawabnya. Semua pecinta sepak bola di Republik ini tentu ingin kedigdayaan tim Merah Putih beberapa tahun lalu kembali tercipta, bahkah mentas di Piala Dunia. Tapi, dengan kondisi seperti sekarang, dapatkah itu terwujud? Jawabnya tentu tidak. Kita harus realistis.

Dan ketika kenyataan menjelma menjadi jarak yang terbantahkan, May Ziadah pun melayangkan sepucuk surut buat Gibran: Surya tenggelam di bawah cakrawala nun jauh di sana, dan di sela awan-awan senja yang aneh bentuknya dan mempesona, muncullah sekunar bintang, Bintang Johar, Dewi Cinta. Dalam hati aku bertanya, apakah bintang ini juga dihuni oleh insane seperti kita yang saling mencinta dan memendam rindu…?

Senandung Tagore

RABINDRANATH Tagore, penyair cemerlang India itu lahir di Calcutta 1861 dan mangkat 1941. Tagore, jika ditilik dari kesehariannya, tak hanya seorang penyendiri, tapi juga anti kekerasan. Pada 1919, ia mengembalikan gelar bangsawan "Sir" kepada Kerajaan Inggris sebagai protes terhadap kekejaman imperial Inggris dalam memadamkan pemberontakan di Amritsar, India.Tentang ini, Tagore - Orang pertama Asia yang meraih Nobel 1913 lewat Gitanjali – mengatakan lewat sepenggal pusi:

Hati manusia cemas oleh bara kegelisahan,

Oleh racun kepentingan diri,

Oleh dahaga tak kenal akhir

Tagore tak sampai di situ. Seperti air, dia terus bergerak, menjadi makna, sekaligus inspirasi. Di Indonesia, Tagore memikat Ki Hadjar Dewantara. Ki Hadjar, yang juga kita kenal lewat karya apiknya berjudul Als ik eens Nederlander was kemudian mendirikan Taman Siswa karena terpengaruh perguruan Santi Niketan yang didirikan Tagore pada 1901, yang, pada tahun 1922 berkembang menjadi Universitas Visva-Bharati. Visva-Bharati mengedepankan pembangunan pedesaan dengan menghidupkan kebudayaan dan pertukangan kerajinan India.

Tagore tak punya afiliasi dengan sepak bola. Dia, dengan kata lain, tak seheboh legenda sepak bola dunia, katakanlah seperti Pele atawa Maradona. Kendati begitu, Tagore mengajarkan kita tentang substansi dari sepak bola itu sendiri, yakni legowo menerima kegagalan.

Janjikanlah padaku agar aku tidak menjadi seorang pengecut: Tidak hanya sanggup

merasakan keagunganMu dalam keberhasilanku tetapi juga dapat merasakan

genggamanMu di dalam kegagalanku

KEGAGALAN! Sebuah kata yang menyesakkan. Namun, jika kita mau sedikit arif, kegagalan adalah password menuju gemilang. Dalam makna lain, seperti yang acapkali kita dengar dari generasi ke generasi, kegagalan adalah sukses yang tertunda. Dan menggapai keberhasilan, tentu saja tak mudah. Butuh kerja keras, pun totalitas. “Revolusi bukanlah sebuah jamuan pesta makan”, kata Mao Tse Tung. Revolusi Mao mendorong gerakan rektifikasi yang menjungkirbalikkan supremasi yang sebelumnya tidak bisa diganggu-gugat. 1 Oktober 1949 Negara komunis China berdiri, setelah bertempur habis-habisan dalam long march yang berliku-liku dengan tentara Chiang Kai Sek.

Kegagalan juga mengajarkan kita untuk menentukan arah. Kalau Anda bertanya soal arah pembinaan sepak bola nasional kepada pengurus PSSI kini, saya yakin seyakin-yakinnya, mereka pasti gagap. Tak punya jawaban. Lumrah jika sepak bola nasional jadi wadah untuk hal-hal yang tidak-tidak yang ujung-ujungnya mencederai hati pecinta sepak bola nasional.

Apa yang harus kita perbuat? Kita ingat Wiji Thukul. Ketika keangkaramurkaan merajela dan hati nurani dibekap, Thukul berteriak lantang : Lawan. Aktivis asal Solo, Jawa Tengah itu, yang tahun 2002 dianugrahi Yap Thiam Hien Award, memang mati atau dimatikan oleh rezim Orde Baru, 1998. Thukul – kendati tak banyak yang tafakur untuknya - mengajarkan kita bahwa kesemena-menaan harus dilawan. Bukankah, Vox Populi Vox Dei?

Vox Populi Vox Dei

Intifadah


Anak-anak muda itu berdiri di depan Sekretariat PSSI Senayan, Jakarta , beberapa saat sebelum duel Bayern Munchenversus tim nasional Indonesia dihelat. Mereka mengacungkan jari tengah lalu berdendang:

…memang aneh sepak bola Indonesia

banyak orang-orang bilang

tak punya uang tak menang…

Mereka terus bernyanyi, tak henti. Wajah-wajah yang merah. Urat-urat leher yang tegang mengeras, melingkar-lingkar, bagai akar.

…suporter bersatu tak bisa dikalahkan

suporter bersatu tak bisa dikalahkan

suporter bersatu tak bisa dikalahkan…

Paduan suara keprihatinan, di tengah ingar-bingar sepak bola Eropa dan Amerika Latin. Hujan prestasi, bertabur bintang. Sementara, di sini, di Republik ini, kita masih berkutat dengan persoalan yang tak kunjung finish. Sepak bola nasional yang runyam. Sepak bola tipu-tipu. Sepak bola, yang -menurut seorang teman- lebih mengedepankan kepentingan politik ketimbang prestasi.

Haruskah diri berdiam? Tidak. Suporter-suporter itu, anak-anak muda yang berdiri itu tak akan berdiam. Mereka terus bergerak, seperti hari-hari kemarin. Terus dan terus, merangsek ke depan. Kesemena-menaan harus segera disudahi. Sampai kapan? Entahlah. Perjuangan toh tak cuma membutuhkan elan yang berapi-api, tapi juga totalitas. Kita ingat anak-anak muda Palestina dan sebuah kata yang mengetarkan: Intifadah.

Intifadah lahir tatkala jalur-jalur diplomasi mandek, juga kesuksesan Revolusi Islam Iran mendongkel kekuasaan Syah Reza Pahlevi, 1979. Dengan kata lain, intifadah, -yang berasal dari bahasa Arab yang berarti menggetarkan atawa mengguncang- merupakan reaksi atas kegagalan metode perjuangan yang dilakukan oleh negara-negara Arab terhadap Israel . Intifadah menyulut nasionalisme, meski peluru tajam dihadapi dengan batu. Anak-anak muda itu tetap berdiri, dengan gigi yang berkertak, di hadapan tank dan panser.

Semangat Revolusi Islam di bawah komando ulama gaek, Ayatullah al Uzhma Ruhullah al Musawi Khomeini, memikat hati pemuda Palestina. Di mata mereka, Khomeini merupakan inspirasi. “Kemenangan Revolusi Islam di Iran,” kata Dr. Fahmi Syaqaqi, Sekretaris Jenderal Organisasi Jihad Islam Palestina, ”mengembalikan keyakinan semua muslim di dunia akan ideologi dan agama, dan membuktikan bahwa Islam adalah kekuatan yang tak terkalahkan. Revolusi Islam telah menghidupkan kekuatan pemberontakan rakyat Palestina”.

Revolusi Islam tak lahir begitu saja. 17 Januari 1978, Reza Pahlevi, lewat sebuah artikel di koran Ittila’at mendiskreditkan Khomeini. Fakta diputarbalikkan. Ribuan pendukung Khomeini marah. Emosi di ubun-ubun. Jalan-jalan protokol di Iran dijejali demonstran. Pahlevi marah. Peluru pun menyalak. Mayat-mayat bergelimpangan. Kematian para syuhada berbuntut demonstrasi lanjutan. Rakyat -tanpa memandang golongan- bersatu, bergandengan tangan. Sejarah lalu mencatat, Pahlevi tumbang, tergusur dari singgasana Tahta Merak-nya yang telah berusia 2.500 tahun.

Anak-anak muda yang marah, yang berdiri di depan Sekretariat PSSI Senayan sana , bagi saya, adalah intifadah dalam ‘ medan pertempuran' lain. Mereka mengingatkan kita bahwa sepak bola nasional harus segera dibenahi. Dan itu membutuhkan komitmen, terlebih keyakinan.


Bercokolnya Israel di Palestina memantik emosi Khomeini. Dalam pertemuan dengan sejumlah perwakilan Arab di Iran, 13 Juni 1982, berkatalah Khomeini:

Apakah jumlah kalian kecil?

Apakah kekayaan kalian sedikit?
Apakah minyak kalian remeh?

Apakah wilayah kalian sempit?

Tidakkah kalian mempunyai pusat-pusat penting yang strategis?

Semua perangkat ada. Hanya satu yang hilang, yaitu keyakinan.

Saya dan seluruh pecinta sepak bola di negara ini berharap, anak-anak muda yang berdiri di Sekretariat PSSI Senayan sana tak akan kehilangan keyakinan. Seperti lagu mereka:

suporter bersatu tak bisa dikalahkan


Ashe dan Soeratin

Arthur Ashe bukan pemain sepak bola. Tapi, jika Anda ingin menghayati makna kerendahan hati, baiklah menjadikannya sebagai referensi. Ashe - laki-laki berkulit gelap itu – merupakan petenis cemerlang Amerika. Dia menyabet tiga gelar bergengsi, Grand Slam, yakni Amerika Open (1968), Australia Open (1970), juga Wimbledon (1975).

1979, dia terkena serangan jantung dan mengharuskannya menjalani operasi jantung, by pass. Ashe pasrah, tergolek di atas kasur. Dia tak berontak, bersungut-sungut apalagi. Operasi pertama bergulir sonder hasil. Demikian pula operasi kedua. Bahkan, Ashe kudu menerima kenyataan pahit: terinfeksi virus HIV melalui transfusi darah yang dia terima.

Seorang penggemarnya tak bisa terima, lalu melayangkan sepucuk surat. “Mengapa Tuhan memilihmu untuk menderita penyakit itu?” Ashe menjawab. “Di dunia ini” tulisnya, ”Ada 50 juta anak yang ingin bermain tenis. Lima juta di antaranya bisa belajar bermain tenis. Lima ratus ribu belajar menjadi pemain tenis profesional. Lima puluh ribu datang ke arena untuk bertanding. Lima ribu mencapai turnamen Grand Slam. Lima puluh orang berhasil sampai ke Wimbledon. Empat orang sampai semifinal. Dua orang berlaga di final. Dan ketika aku keluar sebagai juara dan mengangkat trofi Wibledon, aku tak pernah bertanya kepada Tuhan, “Mengapa saya?”.

Paradoks, memang. Namun, adakalanya hambatan atawa persoalan membuat seseorang kian arif merespon hidup. Hidup toh tak melulu linear. Artinya, hidup, dengan segala ritme yang disuguhkannya semacam solusi jitu guna menyadarkan hati yang angkuh. Keangkuhan tak hanya mendekatkan seseorang ke tubir kemalangan, tapi juga pengucilan.

Berkaca kepada Ashe, lamunan saya sontak menuju kepada pengurus-pengurus PSSI. Bagaimana tidak. Beberapa waktu lalu, PSSI menunda pertemuan dengan badan sepak bola dunia, FIFA, di Zurich, Swiss. Seyogyanya, pertemuan berlangsung 18 Agustus 2008, sesuai permintaan PSSI. Agendanya, terkait draf revisi pedoman dasar yang diminta FIFA. Persoalan internal PSSI yang tak kunjung padam memantik perhatian FIFA, setelah Nurdin Halid masuk bui lantaran korupsi. Tak ada kepastian, kapan PSSI akan berangkat ke Zurich. Terbetik kabar, pengurus berangkat 25 Agustus.

PSSI, seiring berjalannya waktu, kian kehilangan wibawa. Tak punya kerendahan hati. Tak menjadikan persoalan, seperti kata Mao Tse Tung,” sebagai batu loncatan ke depan”. Lemah diperencanaan. Padahal, di awal-awal PSSI terbentuk, Soeratin - founding father yang juga Ketua Umum I PSSI - dalam Kongres Sewindu PSSI di Solo, 3 Juni 1938 meminta agar PSSI menjadikan pengalaman - apa pun bentuknya - sebagai pelajaran berharga.

“Kalau kami menengok ke belakang,” kata Soeratin,”Bolehlah kami mengucapkan syukur. Sebab dari semua kejadian, baik yang pahit, pedas dan getir maupun yang manis, sedap dan nyaman, kami dapat menarik pelajaran yang amat berharga”.

Apa mau dikata. Waktu terus bergerak, membentuk zaman. Dan tatkala zaman berganti, motivasi pun menjadi pertanyaan.

Kita ingat sepenggal tembang lawas Jawa, Dhandanggula:

Sepi sepen pamrihing diri

Suka paring pepadang

Mring petenge kalbu

Lumuh gawe kapitunan

Wani nglah minangka tebusaneki

Gubuying kang bebrayan


Elegi PSSI

Chairil Anwar menciptakan sajak dan ia berkata,”Aku ingin hidup seribu tahun lagi”. Tapi siapa yang ingin hidup selama itu di I ndonesia kini? Kita lalu ingat Ranggawarsita lewat Serat Kalidata, dari satu masa nun jauh di belakang:

Mangkya darajating praja

Kawuryan wus sunyaruri

Rurah pangrehing ukara

Karana tanpa palupi

Atilar silastuti

Sujana sarja kelu

Kalulum kalatida

Tidhem tandhaning dumadi

Ardayengrat dene karoban rubeda

Dunia tak semakin baik, juga Indonesia . Dekadensi moral. Ketidakpastian. Aksi tipu-tipu yang melembaga. Hipokrisi. Kemapanan yang goyah. “Aku tak ingin hidup di atas usia 27 tahun,” kata Kurt Cobain. Dan kita pun tahu, vokalis Nirvana itu meregang nyawa di rumahnya, 171 Lake Washington Boulevard , 5 April 1994. Charles R Cross, penulis biografi Kurt Cobain, Heavier Than Heaven, menuliskan, kepala Cobain hancur berantakan dihantam beberapa timah panas yang ditembakkannya sendiri. Tragedi Cobain membawa pikiran kita terbang kepada tragedi sebelumnya. Janis Joplin, Jimi Hendrix, Jim Morrison.

Hidup, dengan segala variabelnya, memang acapkali menggelisahkan. Kita tahu siapa Cobain. Dia punya segalanya: nama tenar dan harta yang melimpah.

Kematian Cobain mengingatkan kita, nama beken dan harta yang melimpah tak menjamin kualitas hidup seseorang cemerlang dan selalu tanpa aral. Itulah sebabnya, Yesus pernah berkata,” Buat apa seseorang memiliki dunia dengan segala isinya tapi kehilangan nyawanya?”

Siapa yang ingin menyikapi hidup dengan arif, baiklah dia bercermin kepada Cobain, juga Margaux, cucu Hemingway, sastrawan paling ternama di abad 20. 28 Juli 1996, Margaux bunuh diri dengan cara menenggak pil tidur secara berlebihan. Usianya 41 tahun. Sebagai model papan atas, tubuh dan wajahnya mulai peot digerus waktu. Secara finansial dia juga bangkrut. Margaux depresi. Dia kemudian lari dari kenyataan.

Tatkala memulai kariernya di pentas modeling, Margaux panen puja-puji. Juga materi. Majalah Matra, lewat suplemen BONUS tahun 1997 yang bertajuk Bunuh Diri, Kegilaan dan Proses Kreatif Seniman menurunkan intro tentang Margaux: Ia setinggi enam kaki (sekitar 183 sentimeter) jika berdiri di atas kaki telanjang. Wajahnya begitu memukau. Kehadirannya amat menggetarkan hati. Namanya sangat memikat. Jika dia masuk ke sebuah ruangan, semua percakapan terhenti. Bila dia menjabat tanganmu, kau akan merasa pergelangan tanganmu seakan menciut.

Cobain, juga Margaux, adalah gambaran sepakbola kita yang runyam. Menggelinding tanpa arah. Seribu wajah. Seribu topeng.

Berkatalah Pangeran Jayabaya:

Kukum lan yuda nagara

Pan nora na kang nglabeti

Aretu patraping adil

Kang bener-bener kontit

Kang bandhol-bandhol pan tulus

Kang lurus-lurus rampas

Setan mindha wahyu sami

Akeh lali mring Gusti miwah wong tuwa


Pesan Singkat untuk Tuan-tuan PSSI

Kebusukan itu setamsil bangkai : tak bisa disembunyikan.

Sejarah itu bergulir pada 1 Juli 1948 dari kawasan gersang bernama Bei Je’ez yang terletak di antara Tel Aviv dan kota suci Jerusalem. Be’eri, sang komandan regu tembak yang tak berpiran jernih, berdiri pongah di hadapan Meir Tobianski. Mereka siap mengirim Tobianski ke alam baka.

Sebelum senjata menyalak, Tobianski masih sempat membeberkan riwayat hidupnya, dengan harapan mendapat iba. “Saya telah bekerja kepada Haganah selama dua puluh dua tahun. Paling tidak, perkenankanlah saya mengirimkan pesan kepada putra saya”. Suara letusan menjawap permohonan Tobianski. Tubuhnya bolong-bolong. Darah zionisnya, pelan namun pasti, mengalir membasahi tanah. Sedetik kemudian dia mangkat.

Apa salah Tobianski?

Mahkamah militer Israel yang diketuai Be’eri menuding Tobianski berkhianat kepada negara : membocorkan letak-letak kekuatan militer kepada musuh. Menjaga rahasia negara memang menjadi prioritas utama yang harus dipegang teguh seluruh anggota Haganah, tentara bawah tanah Israel. Dan Tobianski dianggap indisipliner.

Kematian Tobianski menyulut kecurigaan, setidaknya buat Lena, istri Tobianski. Lena mengendus ada sesuatu yang tidak beres. Dia menilai, eksekusi terhadap suaminya merupakan despotis. Dia lalu menghadap Ben Gurion, Perdana Menteri Israel. Kepada Gurion, Lena meminta agar keputusan mahkamah militer dikaji ulang. Gurion mengangguk setuju.

Penyelidikan berakhir setelah Be’eri dinyatakan bersalah. Para penyidik menyimpulkan, Tobianski merupakan korban purbasangka dan sama sekali tak diberi kesempatan untuk menggunak hak jawabnya. Dengan kata lain, hak jawab dianggap sesuatu yang najis, diharamkan.

“Tobianski tidak diberi hak dasar seorang pengacara guna membelanya. Eksekusi dianggap tak sah,” kata Gurion. Be’eri, perwira menengah berpangkat letnan kolonel itu pun dipecat, ditahan.Gurion melakukan reorganisasi badan intelijennya dan tak lama berselang, Mossad terbentuk.

Nasib Tobianski tak jauh beda dengan nasib pesepakbola, klub, maupun suporter di Indonesia. Selalu jadi kambing hitam, di tengah ketak becusan PSSI. Tapi, seperti akhir cerita Tobianski, kebenaran pasti berpihak kepada kebenaran itu sendiri. Berkacalah, PSSI. Berkacalah...

Revolusi Mao

Revolusi, kata Mao Tse Tung, bukanlah sebuah pesta makan. Syahdan, puluhan tahun lalu di China, Mao menggerakkan ribuan orang lewat long march 10.000 km, bertempur melawan tentara Chiang Kai Shek. Demi terwujudnya impian, Mao dan pengikutnya menguyah sepatu, minum air kencing, tenggelam di rawa, salju, gurun, seraya bertempur, siang malam, belasan tahun. Mereka menang dan Republik Komunis China – kita tahu – hingga kini masih eksis.

China terbentang jauh dari Indonesia . Namun, revolusi Mao dapat dijadikan sebagai ‘pembakar’ semangat oleh pengurus-pengurus PSSI yang akan datang guna membenahi sepakbola Indonesia . Dengan kata lain, semangat dan totalitas serta mau berkorban sangat dibutuhkan demi masa depan sepakbola Indonesia .

Kisruh yang terjadi di tubuh PSSI belakangan sungguh memprihatinkan. Desakan badan tertinggi sepakbola dunia, FIFA, terhadap PSSI mengindikasikan betapa seriusnya permasalahan yang kita hadapi. Kita juga bisa melihat dengan jelas bahwa segelintir pengurus masih tetap ingin mempertahankan kekuasaannya. Ada yang terang-terangan mengatakannya, tak sedikit yang berpura-pura diam namun tengah mempersiapkan aneka manuver.

Ada sindirian tentang orang-orang yang rakus kekuasaan. Dan Brian Cavanaugh, lewat bukunya RANGKAIAN KISAH BERMAKNA, 100 CERITA BIJAK, membeberkannya secara fabel. Ceritanya jenaka namun berakhir tragis. Di situ, di buku yang dicetak Penerbit OBOR tahun 1995 itu, diceritakan cara orang India menangkap monyet.

Sang pemburu membuat sebuah lubang di kotak kayu yang cukup kuat. Kacang kemudian diserak. Lubang itu, tulis Cavanaugh, cukup lebar untuk tangan monyet, tapi begitu tangannya menggenggam kacang maka sangat sulit untuk ditarik ke luar. Monyet punya dua pilihan. Pertama, dia bisa lolos dari perangkap asalkan melepaskan kacang yang ada di tangannya. Kedua, dia pasti tertangkap jika tetap ‘ngotot’ dan enggan merelakan kacang lepas dari tangan.

Sulitkah memajukan sepakbola Indonesia ? Tidak, kata saya. Kita punya banyak talenta-talenta muda serta romantisme masa lalu yang cemerlang sekaligus menggetarkan. Ini hanya persoalan mau atau tidak. Kalau kita mau dan serius, pasti ada jalan. Singkirkan kepentingan pribadi, pun golongan. Jangan jadikan sepakbola sebagai kendaraan politik. Enyahkan semua yang tak perlu. Satu tekad, satu hati. Bukankah tak ada yang mustahil bagi orang yang percaya? Lihat Korea , tengok negara-negara jiran. Dua dasawarsa silam, mereka tak ada apa-apanya. Kini, setelah belajar dari kesalahan dan bahu membahu sepakbola mereka, pelan namun pasti, mengalami kemajuan pesat. Sementera kita terus terpuruk.

Soe Hok Gie, aktivis mahasiswa rezim Orde Lama, sebelum meregang nyawa di Gunung Semeru mengatakan… “Buat apa menghindar? Cepat atau lambat, suka atau tidak, perubahan hanya soal waktu. Semua boleh berubah, semua boleh baru, tapi satu yang harus dipegang: Kepercayaan.

Jika konteksnya sepakbola nasional, Gie, saya tak setuju. Setidaknya sampai tulisan ini saya turunkan. Prestasi terbaik Indonesia di SEA Games tertoreh tahun 1991 di Manila . Kita, waktu itu, menyabet medali emas sepakbola. Tahun 1986, peringkat empat Asian Games. Habis itu mati suri. Perubahan sih ada, tapi perubahan yang kian buruk. Pentas sepakbola nasional berjalan sonder arah.

Kepercayaan, Gie? Siapa yang bisa dipercaya kini? PSSI mengalami krisis kepercayaan, bukan cuma dari dalam tapi juga dari luar. Tak punya wibawa. Bahkan, saking jengkelnya, saya pernah melihat salah satu kelompok suporter menghina PSSI dengan kata-kata sarkasme di kaus oblongya bahkan sampai membakar simbol-simbol PSSI. Ironisnya – seperti kata pepatah – anjing menggonggong kafilah tetap berlalu.

Tak ada pilihan lain, kita harus segera berbenah. Kita harus melakukan revolusi dalam arti positif. Sepakbola nasional harus bangkit, menuju pentas dunia. Untuk tujuan adiluhung itulah, PSSI harus diisi oleh orang-orang yang punya elan baja. Bravo sepakbola nasional!

Bukan Saya, Tapi Cavanaugh dan Iwan Fals

Ada sindirian tentang orang-orang yang rakus kekuasaan. Dan Brian Cavanaugh, lewat bukunya RANGKAIAN KISAH BERMAKNA, 100 CERITA BIJAK, membeberkan sifat manusia secara fabel. Ceritanya jenaka namun berakhir tragis. Di situ, di buku yang dicetak Penerbit OBOR tahun 1995 itu, diceritakan cara orang India menangkap monyet.

Sang pemburu membuat sebuah lubang di kotak kayu yang cukup kuat. Kacang kemudian diserak. Lubang itu, tulis Cavanaugh, cukup lebar untuk tangan monyet, tapi begitu tangannya menggenggam kacang maka sangat sulit untuk ditarik ke luar. Monyet punya dua pilihan. Pertama, dia bisa lolos dari perangkap asalkan melepaskan kacang yang ada di tangannya. Kedua, dia pasti tertangkap jika tetap ‘ngotot’ dan enggan merelakan kacang lepas dari tangan. Monyet memilih yang kedua. Dasar monyet!

Usai melahap cerita Cavanaugh, imajinasi saya melayang liar dan mencoba mengkorelasikannya dengan sikap Nurdin Halid yang emoh meletakkan jabatannya sebagai Ketua Umum PSSI. Harian Kompas, edisi 23 Februari 2008 menyimpulkan bahwa Nurdin, laki-laki kelahiran Watompe, Sulawesi Selatan, 50 tahun lalu yang kini meringkuk di dalam lembaga pemasyarakatan itu sama sekali tak punya itikad baik untuk mundur. Padahal, FIFA, otorita tertinggi sepakbola dunia secara eksplisit mendesak agar PSSI merevisi pedoman dasar PSSI dan melakukan pemilihan ulang. Usul FIFA direspon positif Nugraha Besoes, Sekretaris Jenderal PSSI.

Besoes sadar. Tekanan begitu kuat, betul-betul masif. Posisi Besoes tak jauh beda dengan Harmoko tahun 1998. Kala itu, Soeharto dituntut mundur. Ekonomi morat-marit. Awalnya tuntutan dianggap sepi. Mahasiswa dan rakyat marah. Jalan-jalan Jakarta diwarnai demo, dari waktu ke waktu. Aksi damai berujung amuk massa . Jakarta terbakar, membara. Mahasiswa menduduki gedung DPR, merangsek ke ruangan Harmoko, Ketua MPR/DPR. Harmoko yang dikenal merupakan salah satu loyalis sejati Orde Baru selanjutnya meminta Soeharto mundur. Soeharto akhirnya memang mundur, lengser ke prabon. Kendati begitu, rasa jengkelnya kepada Harmoko tetap bersemi. Terbukti, tatkala Soeharto dirawat di RSPP Jakarta , Harmoko dilarang masuk.

FIFA bukannya pertama kali melayangkan teguran dan Besoes mahfum itu. Oleh sebab itulah, Sabtu pekan silam, Besoes setuju dengan FIFA. Itu berarti, PSSI bakal melakukan reformasi total, termasuk posisi ketua umum. Sayang, hanya berselang satu hari, keputusan Besoes dimentahkan Nurdin. Nurdin tak setuju. Dengan kata lain, dia tetap bertahan sampai 2011. Dan kitapun bertanya dalam hati: bagaimana masa depan sepakbola Indonesia ke depan?

Dalam buku panduan Piala Asia 2007, Nurdin mengatakan tentang mimpinya. “Mimpi saya adalah membuat pemain-pemain muda Indonesia bisa bermain di klub Eropa. Sehingga Indonesia bisa maju ke pentas dunia 2014”.

Ini tentu menjadi dilema, tak hanya buat politisi dari Partai Golongan Karya itu tapi juga bagi jutaan masyarakat Indonesia , teristimewa pecinta sepakbola nasional. Jika Nurdin mengedepankan egonya, otomatis eksistensinya tak diakui FIFA. Ini berarti, timnas kita tak boleh mengikuti event internasional. Sebaliknya, apabila Nurdin rendah hati mau mundur dan PSSI diisi oleh pengurus-pengurus baru yang punya keterbebanan memajukan sepakbola Indonesia , bukan tidak mungkin mimpi Nurdin - yang juga merupakan mimpi kita bersama - dapat terwujud.

Sulitkah memajukan sepakbola Indonesia ? Tidak, kata saya. Kita punya banyak talenta-talenta muda serta romantisme masa lalu yang cemerlang sekaligus menggetarkan. Ini hanya persoalan mau atau tidak. Kalau kita mau dan serius, pasti ada jalan. Singkirkan kepentingan pribadi, pun golongan. Jangan jadikan sepakbola sebagai kendaraan politik. Enyahkan semua yang tak perlu. Satu tekad, satu hati. Bukankah tak ada yang mustahil bagi orang yang percaya? Lihat Korea , tengok negara-negara jiran. Dua dasawarsa silam, mereka tak ada apa-apanya. Kini, setelah belajar dari kesalahan dan bahu membahu sepakbola mereka, pelan namun pasti, mengalami kemajuan pesat. Sementera kita terus terpuruk.

Soe Hok Gie, aktivis mahasiswa rezim Orde Lama, sebelum meregang nyawa di Gunung Semeru mengatakan… “Buat apa menghindar? Cepat atau lambat, suka atau tidak, perubahan hanya soal waktu. Semua boleh berubah, semua boleh baru, tapi satu yang harus dipegang: Kepercayaan.

Jika konteksnya sepakbola nasional, Gie, saya tak setuju. Setidaknya sampai tulisan ini saya turunkan. Prestasi terbaik Indonesia di SEA Games tertoreh tahun 1991 di Manila . Kita, waktu itu, menyabet medali emas sepakbola. Tahun 1986, peringkat empat Asia Games. Habis itu mati suri. Perubahan sih ada, tapi perubahan yang kian buruk. Pentas sepakbola nasional berjalan sonder arah.

Kepercayaan, Gie? Siapa yang bisa dipercaya kini? PSSI mengalami krisis kepercayaan, bukan cuma dari dalam tapi juga dari luar . Tak punya wibawa. Bahkan, saking jengkelnya, saya pernah melihat salah satu kelompok suporter menghina PSSI dengan kata-kata sarkasme di kaus oblongya bahkan sampai membakar simbol-simbol PSSI. Ironisnya – seperti kata pepatah – anjing menggonggong kafilah tetap berlalu.

Manusia memang bukan monyet, kendati Descartes mendefinisikan manusia adalah binatang yang berpikir. Namun, dalam hal meraih atau mempertahankan kekuasaan, jika kita mengacu kepada buku Cavanaugh, manusia terkadang -maaf- seperti monyet. Itulah mungkin, beberapa tahun yang lalu Iwan Fals pernah berdendang begini, ”…Manusia sama saja dengan binatang selalu perlu makan. Namun caranya berbeda dalam memperoleh makanan. Binatang tak mempunyai akal dan pikiran. Segala cara halalkan demi perut kenyang. Binatang tak pernah tahu rasa belas kasihan. Padahal semua tahu dia serba berkecupan…”

Sifat rakus memang menggelisahkan!

Surat untuk Nurdin Halid

Tatkala saya menulis surat ini Pak Nurdin, gerimis merinjis di Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Lewat loud speaker komputerku, Ebit G Ade berdendang: ... engkau tahu, aku mulai bosan bercumbu dengan bayang-bayang. Bantulah aku temukan diri, menyambut pagi membuang sepi..

Jujur, sore ini saya dilumat kemasygulan yang amat sangat. Bukan lantaran PSMS Medan, klub asal daerahku gagal sebagai yang terbaik di Liga Indonesia 2007 setelah dikalahkan Sriwijaya FC Palembang 3-1 di Stadion Jalak Harupat, Bandung, beberapa waktu lalu. Bukan pula lantaran harga tempe di warung di ujung gang kontrakanku yang mahal, pun bukan lantaran harga minyak tanah yang lebih mahal dari premium sepeda motor bebek bututku.

Pak Nurdin, di balik sukses Sriwijaya FC yang berhasil menoreh sejarah di blantika sepakbola nasional kita dengan menyabet dua gelar bergengsi sekaligus, yakni juara copa dan liga, aku justru melihat betapa kurang paripurnanya kebahagiaan itu karena Sriwijaya FC - klub yang memulai debutnya di Divisi Utama tahun 2005 - tersebut tak dapat tampil di Piala Champion Asia 2008 lantaran persoalan demi persoalan yang terjadi di PSSI - lembaga yang Anda pimpin - tak sejalan dengan kebijakan federasi sepakbola Asia, AFC.

Final kemarin pun tak disaksikan kedua suporter. Ini buntut dari tewasnya Fathul Mulyadin, supoter Persija Jakarta yang dianiaya sekelompok pemuda yang marah yang memakai kostum Persipura Jayapura di Pintu I Senayan, Jakarta Pusat, 6 Februari silam. Kematian Fathul, Pak Nurdin, kian mempertegas wajah sepakbola kita yang amburadul.

Final juga meninggalkan kesedihan di hati saya, entah bagi Anda. Pertama, empat gol yang tercipta tak satupun dilesakkan pemain lokal. Satu James Koko dan Keith Kayamba Gums serta dua gol Zah Rahan. Kedua, striker import Persik Kediri, Christian Gonzales terpilih sebagai topskor, menyingkirkan pemain lokal. Dan ketiga, Zah Rahan dinobatkan sebagai pemain terbaik. Menurut Herdimen Koto - wartawan sekaligus komentator sepakbola nasional - Rahan merupakan pemain asing pertama yang mendapat penghargaan bergengsi itu sejak Liga Indonesia digelendingkan tahun 1994. Artinya, sebelum Rahan, pemain terbaik selalu disabet pemain lokal.

Ihwal sepakbola nasional kini, apa sebenarnya yang pantas kita banggakan, Pak Nurdin? Tak ada. Apa sebenarnya yang kita cari? Tak ada. Kalaupun ada, itu semua semu. Ibarat orang bercinta, kita dapat tubuhnya tapi hatinya tidak.

Pak Nurdin, juara copa dan liga kita (maaf, kalau saya agak berlebihan), tak jauh beda dengan cerita film Born on the Fourth of July. Di film ini – film yang diproduksi tahun 1989 – tersebutlah seorang pemuda bernama Ron Kovic. Kovic, yang diperankan oleh Tom Cruise, berasal dari udik yang jauh dari ingar bingar kota , Massapequa, Long Island . Saat itu, di tahun 1960-an hingga 1970-an, Amerika Serikat tengah berperang dengan dirinya sendiri: Vietnam . Ribuan orang Amerika mati atau dimatikan.

Kovic, dengan semangat nasionalisme tinggi tentu saja, berangkat ke kancah perang. Dia bangga. Di sana , di negara yang jauh itu – yang sangat asing baginya -, Kovic terlibat perang terbuka dengan tentara Vietnam Utara, Vietkong. Kakinya tertembak. Dia lumpuh. Dan yang paling menyakitkan alat kelaminnya tak lagi berfungsi dan Kovic - pemuda nan gagah perkasa yang digandrungi banyak kembang desa itu - menjadi ‘penghuni’ kursi roda selamanya. Dia lalu dipulangkan ke kampungnya dan disambut dingin di sana sini. Demonstrasi anti perang berkecamuk. Kovic gelisah. Terpinggirkan. Dia marah, benar-benar marah.

Tapi Kovic toh harus realistis. Ketika Richard Nixon kembali mencalonkan diri sebagai Presiden AS , pada kampanye disuatu hari di tahun 1972, Kovic spontan bergabung dengan para demonstran, suatu sikap yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya. Kovic dengan kursi roda, ditemani beberapa veteran korban perang Vietnam yang juga cacat serta ratusan aktivis merangsek ke depan, menembus pagar betis Secret Service, tameng hidup Nixon yang berwajah kaku. Kovic dihadang. “Saya veteran perang vietnam ,” katanya seraya memegang medali tanda jasa. Namun dia tak digubris, diusir. Cekcok mulut pecah. Kovic murka, merasa dikhianati negaranya, negara yang pernah dia bela eksistensinya. “Pemerintahan ini merupakan sekumpulan orang-orang yang korupsi. Hentikan perang,” teriaknya, berkali-kali.

Film ini, Pak Nurdin, memang tak melulu soal Kovic yang frustasi. Di akhir cerita, sutradara Oliver Stone – seperti kebanyakan film Hollywood lainnya – berpihak kepada Kovic : Dia kemudian menjadi penulis buku dan orator ulung anti perang. Namun, dia kehilangan segalanya.

Kovic tak sendiri. Steven Spielberg lewat film Memoirs of Geisha juga menyuguhkan kegelisahan yang sama. Chiyo - gadis kecil dari tepi pantai - yang diperankan dengan apik oleh Suzuka Ohgo dipaksa berangkat ke sebuah wilayah yang jauh, di mana identitas menjadi persoalan yang tak berujung jawab : Geisha. Sebab, Geisha, bukanlah seorang pelacur bukan pula seorang istri.

Berkatalah Chiyo

...Ibu mengatakan aku seperti air. Air bisa mengukir jalannya, bahkan menembus batu. Dan ketika air terjebak, air membuat jalan baru...

Adakah jalan baru itu? Ada , walau tak menentramkan. Chiyo kecil tumbuh menjadi remaja ranum : Nitta Sayuri. Sayuri yang juga diperankan dengan ciamik oleh Ziyi Zhang akhirnya menemui takdirnya, menjadi seorang Geisha, lewat sebuah proses yang ‘berdarah-darah’. Dia bangga sekaligus gelisah. Dia tersenyum sekaligus getir.

Pak Nurdin, apa yang terjadi di sepakbola kita setamsil bencana alam yang datang bertubi-tubi. Ironisnya, kita tak pernah kontemplasi bahwa benca itu merupakan isyarat kalau kita sebenarnya telah jauh melangkah dari rel. Sayang, kita tak peka. Sayang, kita tak berkaca.

FIFA, badan tertinggi sepakbola sejagad itu, terang-terangan meminta agar konco-konco Anda di Kantor PSSI di Senayan sana melakukan pemilahan ulang ketua umum PSSI. Dalam tempo tiga bulan, PSSI diminta menyusun statuta baru.

Disaat negara-negara jiran merapatkan barisan guna menghadapi event di Asia Tenggara atawa Asia , bahkan dunia kita masih saja berkutat dengan persoalan demi persoalan yang tak kunjung bertepi.

Ah, Pak Nurdin. Kapan kegelisahan ini tuntas...?

Belajarlah Kepada Sun Tzu

Ini cerita tentang ketegasan. Dahulu kala, di China, pada masa Confucius, di zaman dinasti Raja He Lu hiduplah seorang laki-laki bernama Sun Tzu. Dia ini bukan seperti orang kebanyakan, melainkan ahli strategi jempolan pertama dalam sejarah China . Sun Tzu bukan cuma tegas, tapi juga menjunjung tinggi integritas. Dan demikianlah cerita itu bergulir, menembus waktu, dan menjadi referensi kita dalam bersikap.

Pada suatu hari Sun Tzu dipanggil Raja He Lu.

“Aku telah membaca dengan saksama buku seni berperang karanganmu itu.Bisakah kau melatih beberapa prajurit sebagai uji coba?” kata Lu.

“Tentu saja, tuanku,” jawab Tzu.

“Bisakah dicoba pada kaum wanita?” Tanya Lu.

“Jika itu yang tuan inginkan,” jawab Tzu

Syahdan, raja memanggil 180 orang dayang istana dan Sun Tzu membaginya menjadi dua kelompok. Masing-masing kelompok dipimpin oleh seorang selir kesayangan raja. Sun Tzu meminta agar kedua kelompok para dayang itu dipersenjatai tombak dan perisai. Setelah itu ia berkata, “Apakah kalian telah memahami bedanya depan dan belakang, kiri dan kanan?”

“Ya,” jawab kedua kelompok itu bersamaan.

“Jika kukatakan ‘maju’, maka kalian harus melangkah maju. Jika kukatakan ‘kiri’, maka kalian harus menghadap kiri. Jika kukatakan ‘kanan’, maka kalian harus menghadap ke kanan, atau jika kukatakan ‘mundur’, maka kalian harus berbalik arah”.

“Mengerti,” jawab mereka serempak.

Setelah memberikan petunjuk tersebut, ia meminta pedang dan kampak algojo disiapkan, lalu mengulanginya hingga empat kali. Dengan iringan bunyi genderang Sun Tzu mulai memberi perintah, “Hadap kanan!” Serempak kedua kelompok dayang itu tertawa tanpa bergerak mengikuti perintah. Sun Tzu berkata, “Jika peraturan kurang jelas atau perintah yang disampaikan tidak dipahami berarti panglimalah yang salah”. Sun Tzu kembali menjelaskan petunjuknya hingga empat kali kemudian membunyikan genderang sambil memberi perintah untuk menghadap ke kiri. Lagi-lagi para dayang itu hanya tertawa.

Lalu Sun Tzu pun berkata, “Jika peraturan kurang jelas dan perintah tak dapat dimengerti, panglimalah yang salah. Tapi jika perintah sudah jelas dan tetap tidak dipatuhi, itu adalah kesalahan perwira pemimpin pasukan”. Ia bersiap-siap untuk menghukum mati kedua pemimpin pasukan itu.

Raja He Lu yang sedang memperhatikan latihan tersebut sangat terkejut melihat kedua selir kesayangannya akan dihukum mati. “Aku sudah dapat melihat kemampuanmu dalam memimpin. Tapi jika aku kehilangan kedua selirku itu aku akan kehilangan selera makan dan minum. Aku mohon mereka dibebaskan,” pinta raja. Sun Tzu menjawab, “Aku telah ditunjuk sebagai panglima pasukan dan seorang panglima di medan perang tidak dibatasi oleh perintah dari penguasa pemerintahan”. Maka Sun Tzu memerintahkan agar kedua selir raja dihukum mati.

Ingat Sun Tzu, saya jadi ingat PSSI. Salah satu ‘penyakit’ akut PSSI adalah soal ketegasan. Lembaga ini dinilai mandul dalam bersikap. Komisi Disiplin (Komdis) PSSI yang dibentuk untuk menegakkan disiplin disetiap kompetisi bak ayam jantan kehilangan jalu. Lumrah, jika banyak penggemar sepakbola nasional menganggap Nurdin Halid dkk tak punya wibawa. Menyedihkan, memang. Tapi apa daya. Sepakbola kita adalah sepakbola yang amburadul tanpa rambu-rambu yang jelas. Pemukulan terhadap wasit, perkelahian sesama pemain, serta bentrok antar suporter masih saja terus terjadi.

Jadi, selama PSSI tak punya ketegasan, jangan harap sepakbola nasional kita maju.

Risalah Gandhi (Dan Stadion Brawijaya pun Terbakar)

Bagaimanakah caranya menyikapi kebencian dengan arif? Mungkin kita butuh Gandhi, lewat sebuah risalah lawas yang tak lekang dimakan waktu. “Kebencian,” kata Gandhi,” hanya bisa diselesaikan dengan cinta”. Gandhi – yang oleh penyair India terkenal Rabindranath Tagore diberi gelar Mahatma (jiwa besar di rumah petani) – bersama cinta yang dia yakini kebenarannya maju ke depan, mengusung gerakan Ahimsa: menantang, berhadap-hadapan dengan tirani. Dan kita tahu, Gandhi menang, meski ribuan orang meregang nyawa.
Gandhi adalah buah bibir ketika kita menjadikan kebencian sebagai kebenaran yang absolut. Apa yang kita peroleh dari kebencian? “Tidak ada”, kata Gandhi. Satu tindakan buruk dari satu pihak, menurut Gandhi, tidak merupakan justifikasi bagi tindakan serupa dari pihak lawannya. Itulah sebabnya, ketika Inggris mengirimkan keangkaramurkaan ke India, Gandhi - yang mati ditembak Nathuram Vinayak Godse, seorang ekstrimis Hindu – tak membalas kebencian dengan kebencian. Sikap diam yang dipertontonkan Gandhi malah menjadi semacam satir buat pemerintah Inggris untuk kembali merenungkan ajaran Yesus yang sering mereka dengar di gedung-gedung gereja: kasihilah musuhmu sama seperti dirimu sendiri.
Namun, apa boleh buat memang. Semua orang toh tak lahir seperti Gandhi. Seorang yang welas asih. Seorang yang mengedepankan cinta. Seorang yang mampu mendiamkan nyalak dan keangkeran seribu bedil. Atau, sudah hilangkah makna cinta kini? Kalau iya, maka apa yang terjadi di Stadion Brawijaya, Kediri, beberapa waktu lalu merupakan ‘teguran’ buat kita, betapa lamanya kita tertidur.
Amuk massa di Stadion Brawijaya tersebut bukanlah yang pertama dalam kancah persepakbolaan nasional kita. Apa yang terjadi di sana tak hanya menambah daftar catatan kelam bagi Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) melainkan juga mencoreng citra Aremania sebagai salah satu komunitas suporter terbaik di Indonesia.
Suporter dan kesebelasan sepakbola ibarat gula dengan semut. Keduanya tak dapat dipisahkan, saling membutuhkan, pun saling melengkapi. Dari sini kemudian timbul rasa memiliki yang amat sangat. Lalu muncul idiom: Suporter, roh ke-12 suatu kesebelasan. Membanggakan memang, tapi sekaligus menggelisahkan. Di saat timnya merasa dicurangi, tak pelak kemarahan pun menjadi legitimasi. Akhir dari semua itu: Bakar...bakar...bakar...
Ketika kemarahan menyeruak ke seantero Stadion Brawijaya, saya tertawa miris. Saya tak berada di sana. Saya melihatnya dari televisi, berulang-ulang. Heran juga, tiga gol Arema ke gawang Persiwa Wamena dianulir wasit. Gol dianggap tak wajar lantaran off side. Jajat Sudrajat, wasit yang memimpin pertandingan, dalam perspektif PSSI,dalam hal ini Badan Liga Indonesia (BLI) selaku penyelenggara sepakbola nonamatir di Tanah Air bersikukuh bahwa mereka telah menugaskan seorang wasit terbaiknya.
Saya jadi ingat kericuhan pada pembukaan Liga Indonesia 2006. Persipura Jayapura, selaku kampiun liga 2005 menjamu tamunya Persela Lamongan. Stadion Mandala Papua dijejali ribuan penonton, yang tentu saja berdiri di belakang tuan rumah. Saya lupa siapa wasitnya. Yang pasti, namanya tak sementereng Jimmy Napitupulu atawa Purwanto. Dia dituding tak becus (dan memang demikianlah kebenarannya). Keputusan-keputusannya acapkali beraroma kontroversi. Tuan rumah protes, merasa dizalimi. Suasana panas. Emosi penonton sampai ke ubun-ubun. Batu-batu, atau apa saja yang bisa dilempar berterbangan, mendarat ke lapangan. Di bawah teror penonton yang marah, pertandingan tetap dilanjutkan, walau sempat beberapa kali dihentikan. Saya tak ingat berapa skor akhirnya. Yang saya ingat, Persipura kecewa. Mereka protes atas kepemimpinan wasit.
Saat meninggalkan stadion, saya menghampiri Direktur BLI, Andi Darussalam Tabusala dan mengatakan kenapa BLI tak menugaskan wasit sarat pengalaman dan tegas serta berwibawa. Andi Darussalam waktu itu mengatakan bahwa pihaknya telah melakukan yang terbaik, termasuk menunjuk wasit yang memimpin pertandingan.
Tapi apakah gerangan yang ‘baik’ itu? Makna ‘baik’ bagi Nurdin Halid dan kroni-kroninya termasuk Andi Darussalam bisa berbeda dengan orang kebanyakan. Dengan kata lain, ‘baik’ menurut PSSI apakah baik juga bagi kesebelasan, suporter, terlebih jutaan pecinta sepakbola nasional di Tanah Air?
Jadi, bila Stadion Brawijaya terbakar, baiklah kita kontemplasi sejenak: ada sesuatu yang harus kita bereskan sesegera mungkin. Biar bagaimanapun – atas nama sepakbola nasional – kita harus berbenah, bangkit menjadi pemenang, baik di dalam maupun di luar lapangan. Risalah Gandhi tentang hanya cinta yang bisa melumat kebencian adalah harga mati yang tak dapat ditawar. Tak mudah tentu saja. Banyak aral yang kan menghadang. Soal ini kemudian kita ingat kata-kata Bapak Komunis Vietnam, Ho Chi Minh,”Kita harus menghadapi banyak kesulitan untuk mencapai kemenangan akhir”.

Dari Hati Turun ke Kaki

Armand Maulana, vokalis band GIGI berjingkrak-jingkrak di atas panggung mengikuti irama yang menghentak. “...ini hanya mimpi”, teriaknya melantunkan sepenggal lagu yang dia nyanyikan. Tapi, bagi Ricardo Salampessy dan kawan-kawan apa yang terjadi malam itu, 13 Januari 2007, bukanlah mimpi. Tim mereka, Persipura Jayapura, baru saja dikalahkan Sriwjaya FC Palembang lewat drama adu penalti 0-3 setelah bermain imbang 1-1 dalam partai final yang berlangsung seru di Gelora Bung Karno Jakarta diajang Copa Dji Sam Soe.

Tak ada yang bermimpi malam itu. Tak ada. Bisa jadi, di sebuah kamar berjeruji besi nun jauh di sana, orang No. 1 di PSSI, Nurdin Halid, tengah bermimpi tentang kebebasannya kembali, laiknya hari-hari kemarin. Atau banyak orang berharap ada keajaiban bagi Soeharto, jenderal bintang lima yang memerintah Indonesia selama 32 tahun yang tengah berjuang antara hidup dan mati di RS Pusat Pertamina Jakarta .

Lupakan sejenak Nurdin Halid. Sepakbola adalah kenyataan. Dia setamsil medan perang: ada yang menang, ada yang kalah. Rinus Michels, arsitek tim Belanda era 1970-an sangat menggandrungi istilah tersebut. Itulah sebabnya, setiap kali akan berjibaku di lapangan hijau, dia selalu mengatakan kepada anak-anak asuhnya dengan sederet kalimat bersayap: jangan pernah melumpuhkan lawan dengan pedang, jika kamu dapat menggilasnya dengan tank. Dari sini lalu muncul istilah total-football yang kesohor itu.

Saya tak tahu persis apakah Michels seorang Machiavellisme. Niccolo’ Machiavelli – ahli teori politik abad pertengahan yang juga sastrawan cemerlang Italia – memegang teguh prinsip perang, berikut kelicikan-kelicikannya. Lewat buku The Art of War yang belakangan dijadikan Napoleon Bonaparte sebagai ‘kitab suci’ dalam menaklukkan Eropa, Machiavelli memproklamirkan bahwa perang adalah perang. Dan kemenangan menjadi tujuan utama yang menundukkan segala pertimbangan.

Tapi benarkah Machivelli? Tidak! Setidaknya buat seorang Rahmad Darmawan, pun Raja Isa. Pelatih Sriwijaya dan Persipura ini, sepanjang pertandingan tak menginstruksikan pemainnya agar melakukan segala cara demi menggapai kemenangan. Pertandingan memang berjalan keras namun masih dalam koridor fair play. Partai final ini tak hanya mengajarkan kita etika kesantunan dalam bersaing, melainkan juga mematahkan pandangan sebagaian besar masyarakat Indonesia yang terlanjur sinis kalau fair play hanya sebatas jargon.

Bagaiama caranya mengejawantahkan fair play? “Bermainlah dengan hati. Inilah yang selalu saya instruksikan kepada anak-anak, dimanapun saya melatih,” kata Rahmad Darmawan. Saya menangkap definisi bermain dengan hati yang dimaksud Rahmad berarti bermain lepas, bebas. Lihat saja hasilnya. Ferry Rotinsulu dkk mampu bermain stabil, kendati sempat tertinggal 0-1, menyamakan kedudukan sampai akhirnya keluar sebagai juara. Semangat juang punggawa-punggawa Wong Kito setebal beton jembatan Ampera di atas sungai Musi.

“Kekalahan adalah sebuah hal yang biasa dalam sepakbola. Saya bangga, anak-anak bermain maksimal,” kata Raja Isa.

Air mata setiap insan asin rasanya. Ini kata Siddhatta Gotama, beratus-ratus abad yang lampau, setelah dia mendapatkan pencerahan pascapertapaan yang panjang. Seperti halnya usia, air mata tak dapat disembunyikan. Air mata tak mengenal kasta. Tak mengenal tempat. Tak mengenal warna kulit. Tak mengenal keyakinan. Air mata merupakan ‘buah-buah’ perasaan, baik suka atau duka. Eduard Ivakdalam, Kapten Persipura tak kuasa menahan kesedihannya. Memang, pada tahun 2005, pemain yang akrab disapa Edu ini ikut mengantarkan Mutiara Hitam menjadi kampiun liga. Sayang, setahun kemudian, Persipura gagal menjinakkan Singo Edan Arema Malang di partai final Copa. Dan kini, kendati awalnya diunggulkan, toh Edu harus berbesar hati lantaran masih jauh panggang dari api.

Jadi, kalau anak-anak Palembang menangis bahagia, biarlah begitu, jangan diganggu. Biarlah mereka berpesta. Pesta kemenangan, kemenangan dari sebuah penantian yang panjang.


Tatkala Kata Kehilangan Makna

Siapa yang ingin menjadi pemimpin, baiklah dia mafhum bahwa kekuasaan bukanlah sesuatu yang permanen. Kepemimpinan berarti bhakti yang harus dipertanggungjawabkan, dimana orang yang dipimpin merupakan hakim yang sesungguhnya. Jadi, seorang despot, cepat atawa lambat, akan terjungkal oleh waktu.

Kita ingat Mohammad Reza Pahlevi. 26 Oktober 1976, setelah memerintah selama 26 tahun di atas Takhta Merak, pemimpin berjuluk Syah ini – dengan suatu upacara gemerlapan, tentu saja – memahkotai dirinya sendiri dan istrinya menjadi raja dan ratu di atas singgasana Persia yang telah berusia 2.500 tahun.

Dalam satu wawancara dengan wartawan US News and World Report pada bulan Juni 1978, Syah berkata,”Tak ada orang yang dapat menggulingkan aku. Aku didukung oleh 70.000 pasukan. Semuanya pekerja dan kebanyakan dari rakyat”.

Waktu terus bergerak, berpacu. Hanya berselang enam bulan, Syah Reza digulingkan ulama gaek yang selama 15 tahun hidup dalam pengasingan di Prancis, Ayatullah Khomeini. Khomeini, - demikianlah sejarah mencatat - kemudian mendirikan Republik Islam Iran . Khomeini tak didukung oleh berlaksa-laksa tentara bersenjata pleno, seperti halnya Syah, melainkan sebuah elan membara : pengabdian kepada Islam.

PENGABDIAN. Sebuah kata yang kehilangan makna kini. Tatkala pengabdian kehilangan makna, kita tak lagi punya pedoman guna melakukan sesuatu sebagai wujud tanggungjawab. Pengabdian, dengan kata lain, kita lakoni secara serampangan. Itulah sebabnya, kita tak perlu heran jika ketidakpastian menjadi identitas kita di sini, di Indonesia ini. Kasus demi kasus tak tertuntaskan, menggantung. Lembaga peradilan sebagai benteng terakhir kepastian hukum, mandul. Hukum hanya milik orang-orang berduit. Bagi yang tak punya duit, terus diinjak dan kian ternafikan.

Di bidang olahraga, khususnya sepabola, sami mawon. Sebagai contoh, seorang teman pernah berkata kepada saya, pada sebuah malam yang basah di Jakarta : Menurut bung, kapan kira-kira Timnas Sepakbola kita berlaga di pentas dunia? Saya tak punya jawaban yang bagus untuk pertanyaannya. Makanya saya lebih memilih diam seraya menghela napas panjang. Karena diam, menurut saya, lebih arif daripada seribu kata sonder kepastian.

Boro-boro Piala Dunia, di pentas Asia Tenggara saja, prestasi terbaik kita tertoreh di SEA Games Manila , Filipina, 17 tahun lampau. Saat itu, Maman Suryaman dan kawan-kawan dengan langkah tegap menerima kalungan medali emas. Indonesia Raya berkumandang, menggelegar. Prestasi terbaik di Asia , yakni Asian Games 1986. Ricky Yacobi dkk menempatkan Indonesia bertenger di peringkat empat. Prestasi cemerlang lain, timnas besutan Sinyo Aliandoe membawa Herry Kiswanto dkk menjuarai Sub-Grup IIIB Pra Piala Dunia 1986. Setelah itu, prestasi timnas terjun bebas.

Gelontoran dana yang melimpah tak jua mampu mengembalikan kedigdayaan Indonesia di level Asia . Pelatih-pelatih asing diimpor. Hasilnya , Indonesia tetap saja jadi bulan-bulanan. “ Dulu , Thailand , Singapura , Vietnam , dan Malaysia bukan lawan sepadan kita. Kita terlalu kuat bagi mereka. Di kawasan Asia Indonesia begitu disegani,” kata Sinyo Aliandoe kepada saya, dalam sebuah pembicaraan santai di kawasan Senayan, Jakarta .

Kenapa itu bisa terjadi? Mungkin kita lupa wejangan Bung Karno: Jangan sekali-sekali melupakan sejarah. Sejarah menjadi semacam acuan buat kita untuk melangkah ke depan. Artinya, yang jelek diperbaiki. Yang bagus dipertahankan dan alangkah bahagianya kalau itu dapat ditingkatkan.

Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) selaku badan otorita tertinggi sepakbola di Tanah Air – ya ampun – juga tak maksimal dan kalau ditilik dari prestasi timnas malah boleh dibilang mengalami kemunduran. Bagaimana tidak. Sejak berdiri 19 April 1930, baru kali inilah Ketua Umum PSSI dipenjara. Nurdin Halid, politisi Partai Golongan Karya itu terpaksa mendekam di balik jeruji besi lantaran korupsi.

Saya menghormati pernyataan Nurdin Halid yang mengatakan bahwa ini tak ada hubungannya dengan sepakbola. Tapi, faktanya, eksistensinya di dalam bui berdampak kepada citra PSSI.

Tak sedikit yang mendesak agar Nurdin Halid legowo melepaskan jabatannya. Putra Makassar itu dinilai gagal menjalankan tugas. Bagi saya, persoalannya bukan diganti atau tidak. Sejak reformasi menggelinding hampir satu dasawarsa lalu, Indonesia sudah dipimpin empat presiden. Namun, situasi dan kondisi dihampir semua lini tak berubah ke arah yang lebih signifikan. Jika dipikir-pikir, di Indonesia ini banyak orang yang pintar. Dari profesor, jenderal, sampai paranormal berderet bak antrean kendaraan bermotor di SPBU. Toh tak membawa efek positif. Tak ada kerjasama. Tak ada unity. Tak ada kerendah hatian. Saling jegal. Saling kritik. Saling menjatuhkan. Semua ingin menjadi pahlawan.
Ada
kata-kata sarkastis yang dikatakan artoo-detoo yang tak rancak untuk didengar : Berbahagialah orang-orang yang mengkritik bukan untuk jadi pahlawan. Karena jadi pahlawan adalah naik takhta. Dan naik takhta cenderung korup.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Departemen Pendidikan Nasional, pahlawan adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran. Persoalannya sekarang, masih adakah pemimpin atau pahlawan saat ini benar-benar membela kebenaran? Saya skeptis. Soalnya, kalimat sindiran seperti maju tak gentar membela yang bayarlah yang acapkali kita dengar. Dan kalau mau jujur memang demikianlah adanya. Kita butuh seorang pemimpin berjiwa pahlawan yang punya semangat pengabdian yang tulus.