Jumat, Juli 17, 2009

Marxisme dan Rooney

Surat itu ditulis dari pusat penjara Naini, 26 September 1933. Penulisnya Jawaharlal Nehru, Perdana Menteri India yang pertama. Sebelum India merdeka, 15 Agustus 1947, Nehru sang "Resolusi Avadi" sempat mendekam di bui lantaran sikap kritisnya terhadap Inggris.

Surat itu dia tujukan buat putrinya, Indira Priyadarshini yang masih berusia 16 tahun - Indira lahir 19 November 1917 dan mangkat 31 Oktober 1984.

Lewat surat berjudul Datangnja Mesin Besar, Nehru menulis:

Tetapi mesin besar dan segala perserikatannja tidaklah semuanja melimpahkan karunia. Kalau mesin telah mendorong tumbuhnja peradaban, mesin djuga telah mendorong timbulnja kebiadaban oleh karena dihasilkannja djuga sendjata2 dahsjat peperangan dan pembinasaan. Demikian djuga kalau mesin telah menghasilkan limpahan karunia, maka karunia ini semata2 teruntuk bagi beberapa orang sadja, dan bukan untuk chalajak ramai. Mesin telah mengadakan perbedaan antara kerojalan golongan kaja dan penderitaan kaum miskin, bahkan lebis besar lagi dari zaman silam. (Teks ini sesuai dengan yang termaktub di buku LINTASAN SEDJARAH DUNIA II - Kumpulan Surat-surat Kepada Anaknja Jang Perempuan. Ditulis Dalam Pendjara. Balai Pustaka Djakarta 1951)

Nehru bicara ihwal Revolusi industri yang melanda Inggris, 1760-1830. John Kay, James Hargreaves, Richard Arkwright, Edmund Cartwright, dan James Watt membuat segalanya menjadi lebih praktis. Mesin-mesin bergerak, ribuan orang di PHK. Kapitalisme muncul, berkembang, lalu menjadi "hantu" yang menakutkan. Adam Smith - ekonom - menawarkan ekonomi liberal. Kesenjangan sosial terjadi, melahirkan komunisme sosialisme. Kemapanan digugat, dihujat.

Kapitalisme terus berkembang, meski Francois Noel Babeuf (1760-1797), seorang radikal dalam Revolusi Prancis berteriak lantang:

Kami akan membuktikan bahwa tanah dan bumi bukan milik pribadi melainkan milik semua. Kami akan membuktikan bahwa apa yang diambil darinya oleh seseorang melebihi kebutuhan makanannya merupakan pencurian terhadap masyarakat.

Babeuf ditangkap. Kepalanya dipenggal.

Selanjutnya Karl Marx. Bersama Friedrich Engels, mereka menerbitkan Manifesto Komunis, 21 Februari 1848. Setelah itu, Marx datang dengan kitab tebal nan rumit: Das Kapital. Buku ini merupakan suatu analisis kritis terhadap kapitalisme. Jilid pertamanya terbit 1867. Tiga tahun sebelumnya, di London, wakil buruh Prancis dan Inggris memproklamirkan Asosisiasi Buruh Internasional yang keren dengan nama Internasionale. Marx didaulat untuk menulis anggaran dasarnya.

Marx - yang mati dalam kemiskinan dan kesepian tahun 1883 - memikat Vladimir Ilyich Ulyanov. Revolusi Bolshevik pecah di Rusia, Oktober 1917. Lenin menggerakkan massa. Rezim Tsar terguling. Nicholas II dimakzulkan lalu dieksekusi. Uni Soviet berdiri. Lenin menerapkan Marxisme. Roda kehidupan berjalan kaku, di bawah tatapan polisi-polisi rahasia. 1991 Uni Soviet runtuh, terkoyak.

Marx dan Lenin mati, kapitalisme terus menggurita. Bahkan, masyarakat tanpa kelas yang diimpikan Marx dituding hanya sebatas utopia.

...

Sepakbola kini menjadi industri, terlebih di Eropa. Kementerengan dipertontonkan secara blak-blakan. Kita, di sini, terkesiap dengan semua yang menyangkut Cristiano Ronaldo, Ricardo Kaka, Zlatan Ibrahimovic, Lionel Messi, Adebayor, John Terry, dan Wayne Rooney. Di sini tak ada istilah "sama rasa sama rata". Benar-benar glamor, juga eksklusif.

Makanya, kita tak perlu kaget dengan kemewahan yang disuguhkan buat seorang Rooney selama di Jakarta. Striker Manchester United dan timnas Inggris itu menginap di Presidential Suite di Hotel Ritz Charlton, Mega Kuningan, Jakarta. Per malam, harganya 5.800 dollar AS atau sekitar Rp 60 juta. Ini belum termasuk fasilitas maupun akomodasi yang tentu saja membuat sebagian besar masyarakat Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan menggeleng-gelengkan kepala.

Kehadiran Rooney dan kawan-kawannya itu tak hanya membuat kita heboh, tapi juga bersusah hati. Mereka hadir saat kita masygul dengan kompetisi sepakbola nasional: Stadion-stadion yang runyam, gaji telat, tawuran, kepemimpinan wasit yang amburadul, krisis kepercayaan, dll. Sepakbola kita, yang sebagian besar dibiayai dari APBD belum menjadi industri dalam arti yang sesungguhnya.

Semoga kedatangan Rooney dkk yang menghabiskan biaya miliaran rupiah memantik kesadaran kita, terlebih pelaku-pelaku sepakbola nasional - tanpa kecuali - untuk segera berbenah.

...

Tak ada yang salah dalam revolusi industri. Nehru melanjutkan suratnya:

Kesalahan sebenarnya disebabkan oleh manusia sendiri, jang salah menggunakannja.

.......................

(Awalnya, tulisan ini berjudul Marxisme dan Rooney. Namun lantaran Rooney dan kawan-kawan urung datang ke Jakarta lantaran bom di kawasan Kuningan Jakarta Selatan, saya mengubah menjadi Tak Ada Judul)

Rabu, Juli 01, 2009

Stadion Gelora Sriwijaya Palembang, 28 Juni 2009

Seorang teman memberitakan dari Stadion Gelora Sriwijaya Palembang: Persipura Jayapura emoh meneruskan pertandingan. Sriwijaya FC dinobatkan sebagai juara Copa Dji Sam Soe untuk yang kedua kalinya.

Saya tak kaget dan melanjutkan membaca buku The Mafia's Greatest Hits karya David H Jacobs yang saya beli di Pesta Buku Jakarta 2009 di Istora Senayan Jakarta, sehari sebelumnya.

......

Pembunuhan itu berlangsung apik dan tanpa jejak. Tak seorangpun yang mengetahui siapa pelakunya, bahkan polisi. Yang tinggal hanya tanda tanya, juga purbasangka yang tak berujung. Semua berlangsung sangat cepat, di sore hari 11 Mei 1920. Jim Colosimo mafia kelas kakap asal Calabria, Italia, yang mengendalikan prostitusi di Chicago, AS, melangkah enteng ke Colosimo's Cafe di South Wabash Avenue. Di tempat favoritnya itu, seseorang ingin bertemu dengannya. Colosimo - yang beken dengan nama Big Jim - yang mengawali karier dunia hitamnya sebagai penyapu jalanan mengiyakan dan menanti dengan setia. Dia sama sekali tak menyimpan kecurigaan. Ini adalah istananya, dimana pengawal bersenjata api wara wiri di setiap pojok.

Tamu tak jua datang. Sementara jarum jam di tangan terus berdetak, bergerak. Kepada pengawal dia tak menyebutkan siapa tamunya. Yang pasti, ada seseorang yang ingin menemuinya sore itu. Baru selangkah dia melangkah ke pintu luar, seseorang melepaskan tembakan: DOR-DOR-DOR. Sebutir peluru menembus kepalanya, peluru lain meleset. Big Jim tersungkur, terkapar, lalu meregang nyawa. Darah mafianya mengalir, membasahi ubin. Para pengawal berhamburan, panik. Sementara si pembunuh hilang bak angin. Kapan datang, kapan perginya, tak satupun yang tahu.

Siapa yang membunuh Big Jim? Siapa pula yang memerintahkannya? Tak ada jawaban. Polisi kehilangan jejak. Yang mereka tahu pembunuhan itu berlangsung mulus, begitu elementer. Pelaku tak hanya menguasai situasi dan kondisi, tapi juga medan.

Dalam dunia mafia, segala sesuatu bisa terjadi. Seperti politik, semua berjalan tanpa kepastian. Dengan kata lain, tak ada kawan atawa lawan abadi. Yang ada hanya kepentingan. Dan untuk menggaet kepentingan, segala sesuatu tak lagi tabu. Semua dikorbankan, juga nurani.

Tahukan Anda cerita tentang pembunuhan Yohanes Pembabtis? Herodes Antipas, kaki tangan Kekaisaran Romawi di Galilea dan Perea, Israel, beberapa abad silam memenggal kepala Yohanes dan menaruhnya di atas talam. Penyebabnya, Yohanes menegur Herodes lantaran mengawini Herodias, istri Filipus yang masih saudara dekat dengan Herodes. "Tak halal engkau mengambil Herodias!," kata Yohanes. Herodes geram. Dia ingin membunuh Yohanes, tapi takut karena di mata orang Yahudi Yohanes adalah seorang nabi.

Pucuk dinanti ulam tiba. Herodes ulang tahun. Anak perempuan Herodias menari, meliuk-liuk, berputar-putar bak ular. Herodes senang dan berjanji akan memberikan apa saja yang diminta sang penari. Setelah dihasut Herodias, berkatalah anak perempuan itu: "Berikanlah kepadaku kepala Yohanes dan taruh di atas talam ini".

Herodes kaget.

Dia memang ingin membunuh Yohanes, namun bukan dengan cara seperti itu. Tapi apa boleh buat, nurani tersumbat. Herodes - yang dijuluki Yesus "si serigala itu" - kemudian memerintahkan algojonya untuk segera melakukan eksekusi. Tak lama, kepala Yohanes putus. Kepala yang berlumuran darah itu, yang berada di atas talam, diberikan kepada Herodias. Herodias senang, Herodes tenang.

Ketika Big Jim mangkat, mafia tetap hidup. Johny Torrio naik takhta. Bersama Al Capone, tangan kanannya, mereka menguasai apa yang ingin mereka kuasai. Torrio mati, Al Capone juga. Generasi yang satu pergi, generasi baru menggantikan. Tak ada yang berubah. Mafia tetap jaya, bahkan lebih halus, lebih santun. Kita dikepung, benar-benar dikepung. Terjepit!

Setamsil film, kita terus berharap sang mesias segera datang dan menyudahi keangkaramurkaan. Apa daya, hidup toh bukan film, dimana kekejian selalu kalah di akhir cerita - meski sang jagoan harus berdarah-darah terlebih dahulu.

Tak ada yang perlu ditunggu, sebenarnya.

Dalam novel KEBANGKITAN karya Leo Tolstoi - sastrawan cemerlang Rusia yang mangkat tahun 1910 - tokoh Nekhlyudov coba menawarkan solusi. Nekhlyudov menyimpulkan bahwa ketertiban pada umumnya bukan disebabkan oleh adanya penjahat-penjahat yang sah menurut hukum dan kerjanya mengadili dan menghukum orang lain, melainkan karena manusia pada dasarnya saling mengasihi dan mencintai, sekalipun jiwa mereka sudah rusak.

Ketika nurani nyaris dilumat kemunafikan, Nekhlyudov sontak insyaf. Berkatalah dia," Akan kurobek-robek kebohongan yang menjerat diriku betapapun susahnya. Dan kepada semua orang kunyatakan kebenaran".

......

(Menangiskah kita untuk final Copa Dji Sam Soe itu?)