Sabtu, April 11, 2009

Menyoal Kumbakarna

Kita wajar mangkal terhadap sikap Kumbakarna, tapi juga tak harus mati konyol seperti dia. Kita tak tahu persis kenapa Kumbakarna seperti itu. Tapi, demikianlah adanya, seperti yang termaktub dalam wiracarita Ramayana. Satu tempo - saat Kerajaan Alengka belum jatuh ke tangan Rama - Kumbakarna dan kakaknya, Rahwana, melakukan tapa. Doa-doa dipanjatkan, berharap Dewa Brahma segera hadir.

Syahdan, Brahma muncul. "Apa yang kau minta, Rahwana?" Rahwana menjawab," Hamba ingin hidup abadi". Brahma menampik. "Jangan minta itu. Karena keabadian hanya milik para dewa". Sebagai gantinya, Brahma menjadikan Rahwana super sakti dari semua yang ada di surga. Juga terhadap naga, danawa, dan makhluk buas lainnya. Rahwana - si Dasamuka itu - punya resistansi terhadap gempuran musuh. Raja tiga dunia, langit, bumi, dan bawah tanah. Hanya saja dia menganggap remeh manusia dan tak memperhitungkannya sama sekali. Dan kita tahu, Rahwana tewas di tangan Rama, anak sulung Dasarata, Raja Kosala.

Kemudian Brahma melirik Kumbakarna lalu berkata, "Kau Kumbakarna, apa yang kau minta?" Saat hendak berkata, lidahnya dibelokkan oleh Dewi Saraswati -Dewi pengetahuan, kesenian, kebijaksanaan, dan inspirasi. "Hamba minta Nindrasan. Tidur abadi". Brahma tergelak. Permintaan Kumbakarna diluluskan.

Tidur abadi? Ya, tidur abadi. Permintaan Kumbakarna bukan tanpa sebab, tentu saja. Kumbakarna mahfum betul siapa Rahwana, Raja Alengka yang rakus kekuasaan, bengis, dan keras kepala. Memang, sejak merampas Alengka dari tangan Raja Kubera, penduduk tak ada yang kelaparan. Sandang pangan tercukupi. Bahkan, konon, orang yang paling miskin pun punya kendaraan dari emas. Buat Kumbakarna, semua itu tak ada artinya, jika Rahwana tak punya batasan puas. Kumbakarna sebenarnya sudah berkali-kali menasihati kakaknya itu. Tapi, anjing menggonggong kafilah tetap cuek. Dari pada pusing, mending tidur sekalian.

Mendengar permintaan Kumbakarna, Rahwana kontan bereaksi. Biar bagaimana pun, dia perlu bantuan Kumbakarna. Maka dia bujuk adiknya itu, supaya mengurungkan niatnya. Jengkel, Kumbakarna mencabut permohonannya. Brahma tak sudi. Rahwana dan Kumbakarna memohon. Brahma luluh juga, akhirnya. Namun, Brahma tak mungkin membatalkan anugrah yang sudah diberikan. Sebab dewa tak mungkin inkompatibilitas. Tidur baki dicabut. Gantinya, Kumbakarna tidur selama enam bulan, tak bangun-bangun. Enam bulan selanjutnya bangun, tak tidur-tidur. Terus begitu. Capek juga hidup seperti ini. Tidur, bangun. Begitu bangun dihadapkan dengan sosok yang tak disukai, yang hanya mau menang sendiri. Anti kritik, raja tengik.

Toh Kumbakarna tak bisa berbuat apa-apa. Dari luar dia kelihatan sangat digdaya. Pun begitu, dia kurang tegas terhadap kesemena-menaan kakaknya. Dia dituding sebagai tokoh kontroversial dalam ukuran moral. Dia sebenarnya bisa tegas terhadap Rahwana. Namun, dia tak melakukan itu. Dia patuh terhadap perintah Rahwana, kendati hatinya menjerit pilu. Itulah sebabnya, waktu hendak maju bertempur melawan Rama, ada dialog sedih antara Kumbakarna dan Wibisana. Wibisana merupakan adik Rahwana dan Kumbakarna yang memilih membelot kepada Rama.

"Maafkan aku kakanda, sebab adinda berpihak kepada musuh. Adinda melakukan ini lantaran kakanda Rahwana tak lagi mau mendengarkan nasihat kita. Kakanda Rahwana asyik masyuk dengan dirinya. Ampunilah aku kakanda. Bila kakanda ingin membunuhku, bunuhlah".

Kumbakarna terhenyak. Dadanya bergetar. Dia terharu. "Kau tidak salah, adinda. Kau benar, kebenaran harus ditegakkan, walau itu harus meninggalkan negara. Tapi aku tidak seperti kau adinda. Sepertimu, aku juga menasihati Kakanda Rahwana agar mengembalikan Sita kepada Rama , sebab tidak mungkin kita mengalahkan titisan Brahma, pembela kebenaran".

Jika kakanda sadar bahwa Rama tak mungkin kalah, kenapa kau tetap maju ke medan perang, Kumbakarna? "Asal kau tahu, Wibisana, aku maju melawan Rama bukan lantaran keinginan hati, tapi kewajibanku sebagai pahlawan Alengka".

Kita tahu, Kumbakarna maju tanpa takut. Dia membunuh banyak hanara, manusia berekor monyet dan melukai pahlawan pilihan Rama, Anggada, Sugriwa, Hanoman, serta Nila. Dia terus merangsek maju, sebelum akhirnya tewas di tangan Rama.

Wibisana menangis...

Indonesia dipenuhi "Rahwana", menohok di semua sisi. Para penguasa menari-nari di atas penderitaan rakyat. Obral janji. Berbuat sesuatu tanpa hati, yang ujung-ujungnya meninggikan diri. Tak tulus, bulus!

Lalu rakyat menatap "Kumbakarna", berharap melakukan sesuatu. Kumbakarna tak punya sikap, diam, membiarkan. Malah memilih tidur, acuh. Saat bangun, tetap diam, menyumbat nurani. Ironis, dia lebih memilih mati bersama gunjingan orang.

Tak ada yang menangis...

(Lembaga-lembaga di negara kita adalah "Kumbakarna" bertopeng. Jangan berharap banyak kepadanya)

Tidak ada komentar: